Kegundahan sebagian warga perihal kebijakan penanganan pandemi Covid-19, barangkali hari ini sudah pada titik letih, gelagap, dan resah. Tidak sebatas aspek penyebaran atau dimensi medisnya, tetapi juga berkaitan dengan dampak ekonomi yang dirasakan langsung secara nyata.
Persoalan ekonomi warga tampak seperti persoalan yang akut dan ruyup, tidak jauh signifikannya dengan persoalan medis itu sendiri. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa meskipun instruksi pemerintah untuk tetap menjaga jarak dan tinggal di rumah getol dilakukan, tak sedikit warga masyarakat yang mengabaikan bahkan mereka tampak silap mata.
Kegundahan ini kemudian menimbulkan reaksi yang beragam. Dari ikut serta menyebarkan pesan-pesan positif atau bahkan bad news. Tak pelak beberapa kampung di beberapa desa --terutama di Yogyakarta-- sudah terang-terangan melakukan "lockdown" sendiri di beberapa pintu masuk kampung meskipun tidak ada instruksi khusus dari pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekspresi ini tentu saja tampak sepihak, karena akan menyulitkan akses mobilitas orang-orang keluar-masuk di perkampungan tersebut. Tetapi di sisi lain, ekspresi ini sejenis situasi sosial "habis akal" mereka di tengah situasi yang tidak pasti.
Secara simbolik, gerakan ini merupakan bentuk lain dari ekspresi kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Sikap-sikap tersebut semacam gerakan reeducation (Cole, 1998), yang konteksnya ingin menunjukkan betapa sikap kebebasan dalam alam demokrasi masih tumbuh subur, yang rupa-rupanya juga menandai bahwa langkah yang dilakukan oleh pemerintah tidak cukup memberikan kepastian rasa aman bagi mereka.
Motif distingtif dari gerakan ini untuk membuat seseorang menerima keputusan yang mereka yakini benar, dan pada saat yang sama menjadi gerakan invitatif bagi siapapun untuk mengambil sikap cepat dalam berbagai bentuk dan cara.
Inilah alasan untuk menjelaskan secara sederhana terkait lambat dan lengainya tabiat pemerintah dalam merespons isu krusial tersebut. Ketika negara tak kunjung cepat memberikan kepastian rasa aman secara serius, maka masyarakat pinggiran hadir dalam spektrum yang lain. Mereka bahkan cenderung "mendahului" peran-peran negara dalam konteks menghadapi masalah krusial dan vital.
Pengambilan "jalan pintas" bukanlah sebuah aksi sosial-politik pembelahan dan arogansi, tetapi ini merupakan ruang-ruang responsif baru untuk menjelaskan satu hal, meminjam istilah Habermas (1990), "suatu tempat pengeraman kegelisahan politis warga".
Ruang-ruang kampung dengan segala polarisasi gerakannya merupakan gerakan komunikasi, tempat warga berperan secara demokratis dalam mengawal jalannya kebijakan gontai pemerintahan di tingkat pusat. Melalui pesan-pesan dalam sebuah spanduk di beberapa ruas jalan kampung, mereka mengekspresikan suara-suara kritis dan reseptif. Semacam kegundahan yang secara paralel digunakan untuk memberikan penekanan agar mereka terlihat serius dan berapi-api.
Sikap ini akan berpretensi menjadi impuls bagi seseorang yang melihatnya untuk juga memberikan penilaian dan justifikasi bahwa segala kebijakan pemerintah sebagai sikap yang straw man, sikap-sikap yang lamban, buruk, bahkan terlalu politis untuk sebuah harga nyawa atas nama kemanusiaan.
Gerakan Amal
Lambatnya pemerintah dalam memberikan kepastian rasa aman telah mengorbitkan unit gerakan sosial elementer. Kekurangan dan kelemahan pemerintah telah menguatkan gerakan kolektif warga. Bahkan gerakan-gerakan kolektif tersebut dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara, seperti gerakan amal berupa bantuan bagi mereka yang terbatas secara ekonomi.
Gerakan sosial melalui sarana bantuan sosial seperti model collective action (Olson, 1965) yang dikoordinasi oleh satu organisasi tertentu yang memiliki hierarki kepemimpinan dan ideologi tertentu seperti partai politik, ormas, dan organisasi yang sejenis cukup masif dan pesat. Bahkan yang menarik, gerakan-gerakan amal ini juga terjadi dalam diaspora connective action (Bennet, 2012), di mana bantuan-bantuan sosial bergerak secara terintegrasi dalam konektivitas ruang virtual dalam berbagai bentuk partisipasi.
Connective action hadir tidak terikat oleh adanya komitmen terhadap kelompok tertentu, tetapi partisipasi dilakukan secara suka rela. Pijakannya adalah kepuasan ketika mengekspresikan bantuan dalam jejaring digital atas dasar preferensi personal. Preferensi personal bersifat luwes dan tidak tergantung pada aliran ideologi maupun preferensi politik apapun, semua saling sambung menyambung menjadi segugus perhatian bersama yang tidak pernah sirna.
Gerakan #SalingJaga menjadi bukti konkret bagaimana gerakan-gerakan itu bekerja secara masif. Melambungnya tagar ini menjadi birai serentak dan beriringan sebagai lonceng penanda sebuah gerakan kemanusiaan yang nyata.
Pandemi tidak membuat warga apolitis, tetapi justru ia telah menjadi arena pertaruhan "politik warga" dalam berbagai pola. Semua gerakan warga baik gerakan "lockdown" di pusat-pusat kampung, gerakan amal melalui partisipasi organisasi, maupun gerakan connective action melalui sarana-sarana digital merupakan sederet gerakan cepat di tengah kebijakan negara yang lambat dan sendat.
Keterbatasan akibat pandemi telah menumbuhkan ruang-ruang aktivisme sosial baru untuk kemudian saling bersimpati, saling murah hati, dan saling menjaga diri.
Fathorrahman Hasbul peneliti media dan komunikasi politik, menempuh Magister Ilmu Komunikasi UGM
(mmu/mmu)