Cara berpikir tekstual berkuasa bukan hanya dalam ranah aktivitas beragama. Sikap demikian ternyata juga menjadi kebiasaan kita dalam memahami peristiwa demi peristiwa.
Salah satu gambaran situasi ini muncul dari kasus Pak Lurah sepekan lalu, yang mengatakan bahwa "mudik" berbeda dengan "pulang kampung". Masyarakat penonton jadi berisik seketika, mungkin Anda di antaranya. Ada yang bilang bahwa telah terjadi pemerkosaan atas makna kata-kata. Yang lain menyebut telah dijalankan satu jurus politik bahasa. Sementara, banyak sekali sisanya lari kepada satu kitab yang tak suci-suci amat namun tiba-tiba diperlakukan hampir setara kitab suci: KBBI.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), memang mudik disetarakan dengan pulang kampung. Itu cukup jelas. Namun, bagaimana dengan konteks utuh maksud pernyataan Pak Lurah itu?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan, kita tahu bahwa yang dimaksud Pak Lurah adalah bahwa "pulang sementara ke kampung halaman saat libur Lebaran" itu berbeda dengan "pulang kampung permanen dan tidak kembali lagi karena PHK dan sebagainya". Itulah poinnya.
Sialnya, bahasa Indonesia memang tidak punya istilah khusus yang membedakan antara dua jenis pulang kampung itu. Pulang kampung temporer dan pulang kampung permanen diistilahkan sama. Pak Lurah pun terpeleset kata, dan jujur saja dia memang bukan jenis orang yang tangkas berkata-kata.
Sayangnya, alih-alih melihat maksud dan konteks, buat kita paling enak memang berpikir eksak untuk memahami ekspresi berbahasa yang sesungguhnya sangat tidak eksak. Hasilnya, "kitab suci" KBBI dibuka, makna letterlijk di sana (yang tentu saja ditulis tanpa tahu-menahu urusan Pak Lurah) dirujuk, lantas vonis atas maksud Pak Lurah itu dijatuhkan. Semuanya cuma dari arti kulit luarnya.
Tahan dulu, tahan dulu. Saya tidak sedang gelap mata membela Pak Lurah. Jadi, tudingan buzzeRp dari jempol Anda jangan dilemparkan dulu. Cerita saya ini baru separuh jalan, dan saya belum menyampaikan pandangan final atas keseluruhan pendapat Pak Lurah.
Ketika sudah sampai pada kesimpulan akhir, saya pun sama dengan Anda, yakni saya tidak setuju dengan Pak Lurah. Pak Lurah berpandangan seolah-olah orang yang mudik permanen itu tidak berbahaya dalam peningkatan potensi persebaran virus Corona. Itu buat saya pun terlalu meremehkan masalah, sekaligus tidak konsisten dengan upaya memutus mata rantai penularan Corona.
Tetapi, hasil sikap yang sama tidak membuat kita bisa mengabaikan proses berpikirnya. Ibaratnya kita bisa sama-sama tiba di depan panggung konser Didi Kempot, tapi saya yang bayar tiket mahal tentu beda dengan Anda yang lompat pagar. Begitu, bukan?
Nah, proses berpikir sebagai cara menuju ke titik akhir (yang wujud hasilnya bisa sama bisa pula beda) itulah yang saya persoalkan. Sebab, jika proses berpikir yang cacat dibenar-benarkan, di lain waktu pola itu akan dilegitimasi untuk mencapai sikap final dalam kasus yang berlainan, yang bisa jadi membawa ketidakmaslahatan.
***
Oke, sudahi dulu obrolan tentang Pak Lurah. Posisi saya sangat tidak strategis secara sosial kalau tidak ikut-ikutan mencela Pak Lurah seutuhnya. Maka, mending kita bergeser ke contoh lainnya.
Begini. Anda ingat tempo hari ketika seorang "filsuf infotainment" mengatakan bahwa kitab suci itu fiksi? Apa yang kemudian terjadi?
Sama persis dengan apa yang menimpa Pak Lurah. Orang beramai-ramai membuka KBBI, dan menemukan bahwa makna 'fiksi' di KBBI adalah rekaan atau khayalan. Artinya, menurut orang-orang, si filsuf infotainment telah mengatakan bahwa isi kitab suci hanyalah imajinasi. Wah, ini penistaan agama! Penjarakan! Penjarakan!
Padahal, kalau menyimak paparan lebih lanjut sang filsuf, dalam pandangan dia fiksi dan fiktif itu beda. Lawan dari fiksi itu bukan fakta, melainkan realitas.
Anda bingung? Sama. Tapi saya tidak serta-merta mengatakan bahwa sang filsuf infotainment sedang ngeles saja, atau mempermainkan istilah, atau menjalankan politik bahasa. Dia sedang melakukan eksplorasi makna atas kata-kata. Dan upaya eksplorasi itu sah, mesti diberi ruang, bahkan meskipun saya pribadi tidak paham atau tidak setuju dengan pandangannya.
Kenapa? Sebab kata-kata dan bahasa sesungguhnya memiliki keterbatasan, tidak bisa menampung keseluruhan maksud yang ada dalam lintasan pikiran manusia. Bahasa memang cara untuk mengekspresikan realitas, tapi jangan percaya kalau dikatakan bahwa segala realitas dalam kehidupan ini sudah berhasil ditampung secara sempurna dalam bahasa.
Contoh yang barusan saya sebut sudah ada, yaitu bahasa Indonesia belum "mampu" membedakan istilah untuk mudik-sementara dengan mudik-permanen. Artinya, bahasa Indonesia memiliki keterbatasan untuk itu.
Mau cari contoh yang lebih sering kita dengar lagi? Bahasa Inggris hanya menyebut rice, atau maksimal paddy, untuk menyebut baik padi, gabah, beras, nasi, maupun sebiji nasi. Dari situ kita sudah melihat keterbatasan bahasa Inggris dalam perkara tersebut.
Adapun bahasa Indonesia punya kata gabah, padi, beras, dan nasi. Namun, tidak ada kata spesifik yang menunjukkan makna "sebiji nasi" dalam bahasa Indonesia, beda dengan bahasa Jawa yang mengenal kata upo. Tampaklah keterbatasan bahasa Indonesia.
Untuk menunjukkan yang sebutir tadi, bahasa Jawa juga hanya mengenal istilah upo untuk sebiji nasi, namun belum punya kata spesifik untuk sebiji beras ataupun sebiji gabah. Di sinilah keterbatasan bahasa Jawa.
Mau yang lebih rumit lagi? Sampai sekarang saya gagal mencari padanan kata sifat Jawa wagu dalam bahasa Indonesia. Dalam KBBI memang ada lema wagu, tapi pemaknaan di sana sangat jauh dari maksud di kepala saya yang berbahasa ibu dan berkesadaran sebagai manusia Jawa. Maka, saat berbahasa Indonesia, saya tidak pernah bisa berekspresi secara pas dan memuaskan ketika ingin mengatakan bahwa sesuatu atau seseorang itu wagu.
Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa bahasa Indonesia dan bahasa mana pun belum bisa menggambarkan keseluruhan realitas. Nah, dengan pemahaman posisi bahasa seperti itu, bagaimana mungkin semesta luas maksud hati dan pikiran manusia disimplifikasi hanya dengan kamus, sedangkan kamus hanyalah produk budaya yang bahkan jauh lebih sempit daripada bahasa yang diwakilinya?
KBBI dan kamus besar bahasa mana pun memang memuat makna-makna yang telah disepakati, yang telah menjadi konsensus masyarakat luas. Tetapi, makna itu bukan makna final yang bersifat harga mati sebagaimana NKRI. Alih-alih, makna tersebut sangat bisa diperluas, termasuk bila publik penutur menitipkan makna-makna baru. Misalnya saat sang filsuf infotainment ingin menitipkan maksud pikirannya pada kata fiksi, atau saat Pak Lurah ingin menitipkan makna baru pada kata mudik.
Saya tahu, bahasa yang benar adalah bahasa yang hidup dan disepakati publik, sedangkan Pak Lurah sendirian serta Mas Filsuf sendirian belum lagi mewakili publik. Namun, fakta itu bukan lantas mengandaikan bahwa dinamika kehidupan bahasa Indonesia telah berhenti, hanya karena kata-kata sudah telanjur terpancang kaku di halaman-halaman KBBI.
***
Kemarin, muncul keributan kecil tiada guna tentang seorang dermawan yang menyumbangkan makanan sembari menuliskan kata-kata "nasi anjing" di bungkus-bungkus nasi sumbangannya. Lagi-lagi masyarakat heboh. Secara umum kita memang bisa merasakan bahwa tulisan itu kurang pantas, kurang peka budaya.
Maka, saya segera tengak-tengok. Ke mana para tekstualis pemuja KBBI? Kenapa mereka tidak lekas-lekas membuka kitab yang disucikan itu?
Saya membayangkan mereka akan lekas-lekas bilang, "Lihat! Di KBBI kata 'anjing' cuma dimaknai sebagai binatang menyusui yang dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya! Tidak ada hal negatif di situ, tidak ada makna umpatan kotor di situ!"
Tapi ternyata mereka tidak muncul. Saya sangat bersyukur. Sepertinya mereka sudah paham bahwa KBBI bukan jawaban final atas segala masalah kehidupan.
Iqbal Aji Daryono penulis buku Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira
(mmu/mmu)