Darurat Sektor Informal

Kolom

Darurat Sektor Informal

Abdul Pulungan - detikNews
Selasa, 28 Apr 2020 14:00 WIB
pedagang
Foto: Hanif Hawari
Jakarta -
Stimulus ekonomi akibat dampak pandemi virus corona (Covid-19) jangan hanya terbatas pada sektor-sektor formal. Kita juga perlu fokus pada sektor informal. Bahkan, harus lebih berpihak pada mereka. Alasan utamanya karena ketiadaan penyangga kehidupan pelaku sektor informal. Sementara sektor formal relatif lebih kuat terhadap sengatan Covid-19, karena secara tidak langsung ditopang oleh swasta dan pemerintah.

Sektor informal diisi oleh kegiatan-kegiatan ekonomi yang sepenuhnya belum terjangkau oleh pengawasan maupun regulasi pemerintah. Sehingga, mereka hadir, hilang, dan hadir kembali karena alasan untuk bertahan hidup, bukan karena dukungan pemerintah. Cukup mengkhawatirkan, jika sektor informal tetap tersisih di saat krisis Covid-19 mulai menggerogoti kehidupan pelakunya.

Ada beberapa hal yang mendasari kenapa sektor informal bisa luput dari perhatian perumus kebijakan. Pertama, sektor informal tidak terdata, baik dari jumlah maupun penyebarannya. Hal itu kontras dengan sektor formal. Jika merujuk pada data APBN 2020, belum ada anggaran khusus untuk pemberdayaan sektor informal. Saat Covid-19 muncul, beberapa stimulus pemerintah untuk sektor informal lebih kepada pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Kedua, kontribusi ekonomi sektor informal memang lebih rendah dibandingkan sektor formal, tetapi mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Dari sisi perpajakan, sektor informal tidak berkontribusi sama sekali. Pada ukuran yang lebih luas, peranan sektor informal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) belum dapat menyajikan angka pasti. Asian Development Bank (ADB) dan Badan Pusat Statistik (2010) menghitung peranan sektor informal terhadap PDB lewat kontribusi usaha mikro. Mengingat, sebagian besar pelaku usaha tersebut merupakan pekerja di sektor informal.

Pada 2018, porsi usaha mikro mencapai 38 persen terhadap PDB. Jika usaha kecil dikalkulasi, maka porsinya mencapai 47 persen terhadap PDB. Jumlah unit usaha mikro pada 2018 mencapai 63 juta (98 persen dari total unit usaha UMKM). Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor informal di Indonesia menyerap 70,49 juta, sedangkan tenaga kerja formal mencapai 56,02 juta. Porsi masing-masing terhadap total tenaga kerja Indonesia adalah 55,72 persen dan 44,28 persen.

Tak Dapat Ditawar

Sektor informal sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, kita tidak bisa terlepas dari peranannya. Setiap hari kita berinteraksi dengan pedagang asongan untuk membeli cemilan, air minum kemasan, maupun jenis makanan ringan lainnya. Mereka biasanya mangkal di stasiun kereta api, terminal, maupun pusat-pusat keramaian lainnya.

Pedagang kaki lima pun tidak bisa dikesampingkan. Mereka dapat ditemukan di mana pun, termasuk di sekitar pusat-pusat perbelanjaan mewah di kota-kota besar. Mereka sangat penting bagi pengunjung maupun pegawai di mall-mall besar, yang tidak setiap hari mampu "makan mewah" dengan harga mahal. Pedagang makanan di lokasi tersebut tidak pernah sepi, karena bisa memuaskan lidah tanpa menguras kocek dalam-dalam.

Sektor dan pelaku kegiatan informal biasanya tidak begitu sensitif terhadap goncangan di dalam perekonomian, bahkan saat ekonomi krisis. Mereka tetap tumbuh di tengah berbagai siklus perekonomian. Tetapi, krisis Covid-19 yang bersumber sektor kesehatan tidak dapat ditawar lagi. Jika tidak diintervensi pemerintah, Covid-19 berpotensi mematikan sektor informal dan menekan kehidupan pelakunya.

Berikut ini beberapa alasan penting kenapa pemerintah harus merumuskan kebijakan strategis untuk menjaga sektor informal. Pertama, sektor informal sangat bergantung pada pendapatan harian untuk memenuhi kehidupan keluarganya. Kebijakan pembatasan interaksi sosial warga (local distancing) sangat memukul penjualan mereka. Apalagi kebijakan work from home (WFH) menyebabkan pergerakan pekerja turun hampir 90 persen.

Tidak begitu sulit menghitung dampak WFH bagi sektor informal. Misalnya, WFH akan menekan penjual makanan, warteg, warung pecel lele dan pecel ayam, maupun jenis lainnya yang ramai saat makan siang maupun makan malam.

Kedua, pukulan terhadap penjualan sektor informal merembet pada kemampuan mereka menyicil pinjaman. Akses keuangan pelaku di sektor informal lebih dekat dengan tengkulak, karena mudah cair meski bunganya selangit. Akses mereka ke sektor keuangan formal tersumbat oleh persyaratan-persyaratan rumit, mulai dari masalah jaminan hingga keberlangsungan usaha. Celakanya, tengkulak dapat bertingkah kejam kalau cicilan mandek dan memberlakukan bunga harian. Kondisi tidak jauh berbeda jika mereka mengakses pinjaman online.

Ketiga, keterpurukan sektor informal berpotensi menaikkan angka pengangguran, angka kemiskinan, dan memperburuk ketimpangan pendapatan. Pada dasarnya, pelaku sektor informal didominasi tenaga kerja yang tidak memiliki keahlian (unskilled employments) dan berpendidikan relatif rendah, sehingga mereka relatif sulit berpindah ke pekerjaan lain. Jika pun berpindah, mereka tetap berada di lini yang sama.

Menurut data BPS (2019) tenaga kerja Indonesia berpendidikan rendah (SMP ke bawah) mencapai 72 juta atau sekitar 56 persen dari total tenaga kerja. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja di sektor informal. Dari sisi jam kerja, pekerja informal bekerja dengan jam kerja tidak penuh (1-34 jam). Jumlahnya mencapai 36,54 juta pada Agustus 2019. Pekerja dengan jam kerja tidak penuh dibagi menjadi dua yaitu setengah penganggur sebanyak 8,13 juta dan pekerja paruh waktu 28,4 juta.

Secara total, porsi pekerja tidak penuh mencapai 28 persen dari tenaga kerja yang bekerja, di mana porsi setengah penganggur mencapai 6,43 persen dan porsi pekerja paruh 22,45 persen. Dengan situasi seperti saat ini, lonjakan angka pengangguran dari sektor pekerja informal tidak dapat dihindari dan pada akhirnya menyeret mereka ke garis kemiskinan. Pekerja informal juga akan terus terjebak pada kelompok berpendapatan terendah dalam piramida pendapatan dan memperburuk distribusi pendapatan.

Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menomorduakan sektor informal pada situasi saat ini. Mereka harus segera dibantu lewat berbagai skema, agar kehidupan ekonomi dan sosialnya tidak terhenti. Bagaimanapun, sektor informal berkontribusi yang tidak sedikit bagi ekonomi bangsa. Pada saat ini pulalah pemerintah bisa memperbaiki berbagai hal terkait sektor informal seperti ketersediaan data dan menjadikan mereka bagian penting dari perumusan kebijakan ke depan.

Abdul Manap Pulungan peneliti Center Macroeconomics and Finance (MacFin) INDEF
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads