Pandemi dan Pemodelan "Chaos Theory"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pandemi dan Pemodelan "Chaos Theory"

Selasa, 28 Apr 2020 12:30 WIB
Benny Ardiansyah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Berikut grafik data kenaikan kasus Corona (Covid-19) di RI hingga 21 April kemarin
Grafik kenaikan jumlah kasus corona di Indonesia (Tim Infografis)
Jakarta - Setelah berlangsung selama sepuluh pekan, ternyata pandemi Covid-19 yang melanda dunia belum menunjukkan tanda-tanda selesai. Berbagai analisis telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan statistik data kumulatif, yang sebagian besar dilengkapi dengan grafik.

Pandemi dianggap menunjukkan tanda usai dengan turun atau melandainya grafik. Tetapi, pola pergerakan data kumulatif menunjukkan grafik yang akan terus naik dan terdapat kelemahan bahwa titik kulminatif sulit diketahui dan grafiknya tidak akan pernah turun. Akibatnya, kapan pandemi akan berakhir akan sulit diprediksi.

Mengingat sulit untuk melakukan prediksi dan karakter penularan Covid-19 yang sangat acak ini, maka dapat digunakan pendekatan chaos theory yang ditemukan oleh Edward Lorenz untuk menerangkan pola pergerakan tornado di Texas, USA. Chaos theory adalah cabang matematika yang sangat fokus terhadap situasi acak yang terjadi pada suatu sistem dan sangat susah diprediksi karena karakteristiknya sangat tidak teratur.

Pada dasarnya, teori ini bersifat interdisipliner; sistem yang ada menjadi sangat kacau, meskipun sebenarnya masih terdapat pola yang serupa, memiliki keterkaitan, berulang-ulang, dan yang paling menentukan adalah sangat sensitif terhadap kondisi awal. Kondisi awal sangat menentukan pola, sehingga muncul istilah butterfly effect, yaitu hal kecil atau yang paling remeh sekalipun bisa mengakibatkan sesuatu yang sangat dahsyat di masa yang akan datang.

Beberapa negara berhasil meredam dampak meluasnya pandemi Covid-19 dengan menekan kondisi awal untuk mencegah penyebaran. Negara-negara tersebut umumnya negara-negara dengan luas wilayah maupun jumlah penduduk yang terkontrol misalnya Singapura, Hong Kong, Taiwan, Vietnam, Bahrain, Kuwait, Qatar, Islandia, Selandia Baru, dan beberapa negara dengan jumlah korban meninggal tidak lebih dari belasan jiwa.

Negara-negara dengan luas wilayah dan jumlah penduduk besar sangat sulit mengendalikan kondisi awal ini. Indonesia pada awalnya berusaha menekan kondisi awal ketika mengumumkan dua pasien awal pada 2 Maret. Tetapi, skenario awal ini menjadi tidak relevan lagi ketika diketahui bahwa terdapat kluster-kluster lainnya yang sumber penularannya tidak diketahui.

Saat ini, Indonesia bersama dengan sebagian besar negara tengah berada di tengah pandemi, dan pertanyaan yang relevan adalah sampai kapan berakhir. Terdapat titik penentu, bahwa Covid-19 --sebagaimana pandemi lainnya sepanjang catatan sejarah-- memiliki karakter yang sama, yaitu self limiting atau menghilang dengan sendirinya. Hal inilah yang mendasari teori herd immunity, yaitu ketika diasumsikan telah terjadi kekebalan massa maka pandemi ini akan menghilang sendirinya.

Dalam chaos theory, indikator berakhirnya pandemi dapat dijelaskan secara matematis, sebagaimana dijelaskan oleh pola yang dibuat Benoit Mindlebrot dan penghitungannya diprediksi dengan konstanta Feigenbaum. Yakni, dua konstanta matematika yang merupakan angka rasio untuk grafik non-linier.

Dua konstanta tersebut dapat digunakan menentukan kapan suatu negara akan mampu mengatasi pandemi ini, dilihat dari penambahan korban yang terinfeksi positif dan penambahan pasien yang dinyatakan pulih. Indikasi yang dapat dilihat adalah ketika jumlah penambahan pasien Covid-19 yang dinyatakan pulih lebih besar daripada jumlah penambahan korban yang terinfeksi positif.

Dua negara, yaitu Jerman dan Iran tercatat sudah berada pada fase tersebut meskipun kapasitas dan pengalaman yang dilewati cukup berbeda. Sementara itu, dua negara dengan korban meninggal terbanyak, Italia dan Spanyol, sedang menuju tahap ini, meskipun tidak tertutup kemungkinan adanya serangan gelombang kedua seperti yang dialami oleh Prancis.

Tetapi diyakini ketika menghadapi gelombang kedua ini negara-negara yang pernah mengalaminya akan mampu mengatasi sebagaimana dialami oleh Singapura dan Jerman. Konsep learning by doing yang pernah dialami negara-negara tersebut cukup berperan dalam menahan laju keadaan chaos. Catatan mengagumkan ditorehkan oleh Tiongkok yang mampu mencapai fase ini dalam jangka waktu satu bulan, sejak pertengahan Januari sampai pertengahan Februari. Bahkan untuk mengatasi gelombang kedua, pemerintah Tiongkok memperpanjang masa lockdown secara ketat sampai dengan awal April.

Indonesia, bersama dengan sebagian besar negara lainnya seperti India, Brazil, Inggris, Belanda, Irlandia dan Filipina masih berada pada tahap penambahan korban yang terinfeksi positif Covid-19 jauh melebihi penambahan pasien yang dinyatakan pulih. Hal ini berarti Indonesia masih akan menghadapi masa yang akan panjang dalam menghadapi pandemi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun memperpanjang masa darurat Covid-19 sampai dengan akhir Mei.

Kunci keberhasilan pengendalian pandemi ini adalah ketahanan medis, mulai dari infrastruktur dan alat kesehatan hingga yang paling utama tenaga medis. Dalam situasi seperti ini kita tidak bisa berharap bantuan internasional karena setiap negara sedang berjuang mengatasi pandemi dunia. Tidak ada satu negara pun yang terhindar dari pandemi ini.

(mmu/mmu)




Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads