Anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun lari terbirit-birit dari arah barat, sementara dari arah timur sekitar sepuluh orang sedang menunggui kehadirannya. Tampak sedikit aneh sepuluh orang yang berada hampir di ujung jalan itu. Hanya ada dua perempuan dan sisanya beberapa pemuda dan laki-laki dewasa. Dua perempuan itu tampak memasang raut muka cemas, dan para lelaki itu juga sama menakutkannya. Seorang lelaki dewasa sedang memegang stik baseball, seorang lagi lebih tua dengan senapan laras panjang yang dipegangnya menggantung, dan seorang pemuda tampak dengan tongkat sepanjang dua kali dari tinggi badannya.
Sekitar tujuh puluh meter jarak antara anak laki-laki itu dan mereka masih dalam posisi yang sama di sebelah timur. Tiba-tiba suara tangisan terpecah dari anak laki-laki itu, lalu mereka membalasnya serentak dengan teriakan panik, terdengar berisik seperti ketika pembalap idola memimpin pada putaran terakhir MotoGp. Entah apa yang sedang terjadi. Ketika anak laki-laki itu lebih dekat dengan mereka, satu dari dua perempuan itu berlari dan menjemputnya. Hingga akhirnya anak laki-laki itu sampai di pelukannya. Ia memeluk dengan erat tubuhnya, anak itu juga tak kalah membalasnya dengan pelukan erat, tampak ia sangat ingin melindunginya.
Mississauga masih mencekam. Selepas kejadian World Trade Center (WTC) pada 2001 banyak masyarakat muslim di Amerika semakin was-was. Meski kejadian di New York jauh dari Mississauga, dampak yang ditimbulkan terasa sampai sana, bahkan seluruh masyarakat muslim di dunia menaruh simpati yang amat mendalam atas kejadian itu. Dampak itu sangat terasa di beberapa titik kota di Mississauga, beberapa dari mereka bahkan tak mau keluar rumah, dan seorang suami hendak mencari bahan makan di celananya selalu tergantung revolver.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa kejadian di depan Hotel Monte Carlo semakin menambah ketakutan masyarakat muslim di Mississauga. Perempuan berhijab ditanggalkan hijabnya secara paksa oleh sekelompok orang, dan beberapa masjid juga diblokade oleh mereka. Bahkan mobil Fort Crown Victoria yang bertuliskan 'POLICE' tak henti-hentinya berlalu-lalang di jalanan Mississauga saat itu. Namun kejadian itu tak berlangsung lama, setelah Syafiq Qaadri sebagai perwakilan muslim di Mississauga meminta pengamanan kepada pemerintah Toronto.
Pada 2019 saya mendapat panggilan untuk bekerja di sebuah perusahaan di Toronto, atau lebih tepatnya tempat tinggal saya sekarang adalah di Mississauga. Saya turut membawa anak dan istri tinggal di sana.
Saat pertama kali mendengar panggilan pekerjaan itu tentu saya merasa khawatir. Setelah mendengar beberapa kejadian dampak dari WTC, bahkan saya hampir mengurungkan niat untuk menerima panggilan itu. Namun setelah saya ketahui dari seorang teman yang sudah lebih dahulu singgah di Toronto, membesarkan hati saya untuk tetap berangkat ke sana. Dia menceritakan kondisi sekarang ini di sana, dan saya menambah informasi tersebut dari beberapa artikel yang di-share di blog pribadi atau media massa Toronto.
Banyak sekali yang saya dapat dari penelusuran saya di internet, salah satunya adalah informasi bahwa banyak warga asli Kanada yang menjadi muhtadin dan singgah di Toronto, dan Islam di Toronto kini sudah semakin berkembang pesat. Demikian semakin membuat saya dan keluarga menjadi lebih tenang.
Seorang lelaki mendatangi saya ketika saya sedang mengunjungi salah satu rumah di perumahan Victoria Street di Mississauga. Ia menyodorkan tangan dan menyebutkan namanya.
"Sadie Samant."
Kemudian saya sambut tangannya, "Jusuf, dari Indonesia." Tampak ia tersenyum. Kemudian saya balik bertanya kepadanya, "Dari namamu sepertinya Anda seorang muslim?"
"Ya. Saya satu-satunya keluarga muslim di sini. Senang jika Anda mengambil rumah ini dari Pak Bourassa, dan menjadi tetangga saya."
Perbincangan kami berlanjut lama. Sadie menceritakan asalnya dari negara bagian Italia dan singgah di Mississauga sebagai pendatang pada 2015. Pada awalnya ia juga sangat ketakutan untuk memutuskan pergi ke Toronto. Pada saat itu berita tentang hilangnya beberapa laki-laki Toronto menjadi perbincangan hangat masyarakat dunia. Bahkan beberapa kejadian pembunuhan dilakukan di gereja, dan ketika kukaitkan dengan kejadian di WTC, Sadie menyahut dengan pemikiran yang sama, beranggapan bahwa pelakunya adalah seorang muslim.
Namun setelah penangkapan Bruce McArthur sebagai pelaku pembunuhan itu pada 2017, Sadie menjadi lebih lega singgah di Mississauga, sebab si pelaku bukan dari kalangan muslim. Kemudian kami tertawa setelah saya katakan kepadanya bahwa Bruce McArthur adalah seorang gay, bukan teroris atau semacam anggota kelompok ekstremisme. Tawa itu mengakhiri perjumpaan kami, dan pula sebagai awal persahabatan kami. Tentu pada akhirnya saya mengambil rumah milik seorang pengusaha di Mississauga yang bernama Bourassa itu.
Setelah satu minggu tinggal di Perumahan Victoria Street, saya dan keluarga berangsur-angsur merasa lebih betah tinggal di sini. Beberapa tetangga juga menerima kami dengan baik. Begitu memang cerita dari Sadie kala itu, seluruh warga di Victoria Street adalah non-muslim selain dirinya, dan benar saja tetangga saya ada yang Kristen dan juga Yahudi.
Abhishek, tetangga saya yang berusia sekitar dua puluh lima tahun, sering berkunjung ke rumah saya pada malam hari. Berbeda dengan Sadie, saya mungkin hanya menemuinya beberapa kali pada pagi hari, atau pada akhir pekan jika saya sedang ingin berkunjung ke rumahnya. Abhishek menjadi orang Perumahan Victoria Street yang saya kenal lebih dekat selanjutnya. Meski dia beragama Kristen, namun tak memandang saya yang muslim sebagai musuh. Saya berteman dengan Abhishek layaknya teman saya yang non-muslim di Indonesia. Mereka tak membeda-bedakan seseorang karena keyakinannya. Termasuk tetangga yang lain, saya merasa mereka tak jauh berbeda dengan tetangga orangtua saya di Indonesia.
Satu tahun kemudian Toronto kembali mencekam, dan bahkan bukan hanya di Toronto, seluruh masyarakat dunia merasakan dampak yang sama. Virus mematikan dari kota Wuhan di Tiongkok itu pertama kali ditemukan di salah satu pasien di Rumah Sakit Pusat Wuhan. Dan kemudian menyebar luas ke seluruh warganya hingga kota tersebut mirip dengan kota yang pernah difilmkan sebagai kota zombie. Seluruh warga kota tak keluar sama sekali, bahkan beberapa warganya ditemukan terkapar di tengah jalanan kota.
Pertengahan Januari 2020 virus tersebut sampai di Amerika. Beberapa orang telah dinyatakan positif terjangkit virus mematikan itu. Sampai akhir Januari sudah sekitar dua ratus orang di Toronto dinyatakan positif terjangkit virus itu.
Salah seorang anggota keluarga Sadie Samant juga terkena virus itu, hingga rumahnya tertutup sangat rapat, bahkan sekalipun saya tak lagi menemui dia dan istrinya keluar dari rumah. Sementara Abhishek masih bisa saya hubungi. Beberapa kali saya mampir ke rumahnya dan memintanya agar menemani saya pergi untuk mencari bahan makanan.
"Kau tak ke masjid hari ini?" tanya Abhishek ketika itu sedang menemani saya ke Pasar Mississauga di hari Jumat. Ia bekerja di sebuah restoran dekat masjid yang biasa saya melakukan ibadah Salat Jumat di sana, maka tak heran jika ia menanyakan demikian itu pada saya.
"Tidak, kemarin kawan saya dari Indonesia mengabarkan untuk meliburkan seluruh kegiatan keagamaan yang menimbulkan banyak kerumunan orang. Imam Masjid Jamia Riyadhul Jannah juga mengumumkan hal yang sama," terang saya kepadanya.
"Bagaimana agamamu memandang kejadian ini?" tanya Abhishek kembali.
"Ada beberapa pendapat. Jika di agama saya seluruh hukum sumbernya ada dua, Quran dan Hadis, dan ada beberapa Hadis yang melarang seseorang beribadah karena sebuah wilayah itu sedang terkena wabah. Bagaimana dengan agamamu?"
"Maka berseru-serulah mereka kepada Tuhan dalam kesesakan mereka, dan di selamatkannya mereka dari kecemasan mereka. Disampaikan firman-Nya dan disembuhkan-Nya mereka. Diluputkan-Nya mereka dari liang kubur. Mazmur 107. Pendetaku hanya membawa ayat demikian, dan semua gereja di Toronto ditutup," jelasnya.
Tiba-tiba anak laki-laki berlari di depan kami dari arah barat. Ia terbirit-birit menuju ke arah timur. Jalanan yang sepi membikin suara langkahnya menggema, seperti seekor kuda sedang menarik kereta di aspal tengah kota. Ia berlari amat tergesa, hingga saya dan Abhishek berhenti berjalan dan menontoni bocah itu. Di ujung jalan sepuluh orang telah menungguinya, dua di antara mereka adalah perempuan.
Sebelumnya saya telah tak sengaja berpapasan dengan sepuluh orang it; mereka beberapa kali tampak mengumpat dan hanya terlihat mata mereka yang saling berbinar. Seluruh dari mereka menggunakan masker, hingga tak saya ketahui persis bagaimana bentuk wajah mereka. Dan benar saja, ketika bocah itu menangis dan berteriak, mereka benar-benar membalasnya dengan teriakan ketakutan. Tanya saya kemudian, apa yang sedang terjadi? Ditambah lagi dengan beberapa senjata yang sedang mereka bawa.
Dua kendaraan berjenis Suburban Chevrolet dari arah barat tampak tergesa-gesa. Kendaraan putih bertuliskan 'POLICE' itu tampak sedang mengejar sesuatu. Saya mencoba untuk tidak mengaitkannya dengan bocah berusia sepuluh tahun itu.
Hingga akhirnya kami berdua sampai di Pasar Mississauga. Di sana tampak banyak orang telah berkerumun dengan muka yang sama-sama cemas. Setelah saya telusuri dan hampir semua orang yang berkerumun itu saya tanyai, mereka tak menjawab apa-apa bahkan sama bingungnya dengan saya dan Abhishek. Lalu saya dan Abhishek masuk ke pasar. Kerumunan orang semakin banyak, dan beberapa orang tampak terluka dan terkucur darah di tubuhnya.
Dua hari kemudian, media massa Toronto mengabarkan telah terjadi sebuah penjarahan di sebuah toko di dalam Pasar Mississauga yang mengakibatkan beberapa orang terluka. Dan setelah ditelusuri secara mendalam oleh pihak kepolisian, penyebabnya adalah kepanikan atas wabah yang sampai kini sedang membikin gopoh dunia.