Tampaknya kekesalan warganet ditumpahkan kepada Presiden Joko Widodo kala membedakan "mudik" dengan "pulang kampung". Presiden Jokowi bilang, mudik dilakukan menjelang Hari Raya Lebaran Idul Fitri, sedangkan pulang kampung dilakukan jauh hari sebelum memasuki bulan puasa Ramadhan. Pernyataan ini kontan menyulut kegaduhan di media sosial. Jiwa-jiwa yang letih atau psikologi massa yang sehari-hari terganggu oleh pagebluk korona seperti menemukan sasaran tembak.
Mudik maupun kampung kampung mempunyai makna yang sama, yakni pergerakan manusia dari kota atau tanah perantauan menuju ke desa atau kampung halaman. Hanya saja, ada konteks yang mengikat. Orang Jawa bilang: ana tembung, ana dunung. Setiap kata ada penjelasan sesuai lokalitasnya. Mudik terikat pada konteks waktu perayaan Lebaran, sementara pulang kampung bisa dilakukan saban hari, tanpa harus menunggu bulan Ramadhan selesai dan ditutup dengan Idul Fitri.
Catatan sejarah merekam, mudik atau pulang kampung bertemali dengan aktivitas menjenguk tanah asal untuk beberapa jenak selepas pergi mencari sesuap nasi ke wilayah lain dalam waktu lama. Bukan sekadar dilambari semangat mangan ora mangan asal kumpul, namun wong Jawa lebih diingatkan oleh petuah arif: kebo ora lali kandhange. Melalui mudik atau pulang kampung, manusia yang dipersonifikasikan kerbau itu diharapkan tidak melupakan tempat ia memulai hidup (lahir) dan dibesarkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibu kota Jakarta adalah tempat tujuan nglembara dan "sarang" pemudik. Sebagai zona merah, Presiden Jokowi dan masyarakat kampung tentunya khawatir penyebaran virus Korona dari Jakarta ke daerah semakin sulit tertanggulangi. Maklum, jika mudik (dan harusnya juga pulang kampung) memang dilarang. Di sini, mudik maupun pulang kampung lumrah diartikan "mulih saka bebara".
Merujuk kamus Bausastra Jawa yang disusun Poerwadarminta (1939) bahwa terminologi mbΓͺbara mengandung arti "lunga mΓͺnyang ing liyan nΓͺgara pΓͺrlu golΓ¨k pangupa-jiwa" (pergi ke negara/daerah lain untuk mencari penghidupan). Terngiang pula istilah nglΓͺmbara, yang artinya lunga mrana-mrana (pergi kemana-mana).
Terlihat Pak Jokowi kurang siap dengan pemahaman terminologi, selain kebingungan dengan deraan pandemi korona yang menghantam Indonesia. Tokoh intelektual terkemuka di Tanah Air yang sering bicara soal mudik atau pulang kampung adalah Umar Kayam. Dialah sedikit dari ilmuwan dan sastrawan yang banyak menetaskan tulisan tentang fenomena mudik kala Idul Fitri.
Saya kemarin mencoba membuka kembali beberapa pustaka anggitan lelaki yang dijuluki "si lidah cerdas" itu. Ditemukan lebih dari selusin kolom maupun cerpen bertema mudik yang disangkutpautkan dengan Lebaran. Saya deretkan contoh beberapa buah karyanya: Mudik 1991, Pulang Mudik Lebaran, Mudik Lebaran dan Rigenomics, Pembantu Pulang Mudik, dan Tradisi Mudik Lebaran.
Pria yang lahir tahun 1932 itu gandrung mengamati budaya mudik lantaran punya ikatan historis dengan lingkungan Surakarta dan Yogyakarta, dua kota kerajaan yang menjadi tujuan pemudik mengais nasi di era kolonial. Ia semasa kecil hingga remaja menghabiskan waktunya di Kota Bengawan, sedangkan Yogyakarta menjadi tempat makarya sampai ujung senja.
Wong ndesa yang nglembara di dua kota itu tidak sedikit yang berprofesi sebagai batur alias pembantu rumah tangga di keluarga berada atau priayi seperti Umar Kayam. Barisan batur tanpa putus melaksanakan tradisi mudik manakala Lebaran, sekaligus memeluk ungkapan kebo ora lali kandhange. Selain uang dan pakaian yang bagus, mereka ke desa membawa oleh-oleh cara ngadi sasira (berdandan) ala kelompok priayi.
Seumpama masih sugeng, Umar Kayam tentu ikut judeg bercampur gelisah merasakan pandemi korona yang mengobrak-abrik tatanan kehidupan. Juga tak luput merusak budaya mudik yang sudah menasional itu.
Sebetulnya, dua dekade sebelum penulis novel Para Priyayi itu mbrojol di dunia, tradisi mudik pernah dirusak oleh pagebluk pes. Bukan hanya menyasar penduduk yang tinggal di perkotaan, mereka yang hidup kawasan pedesaan turut terkena wabah penyakit yang dibawa binatang tikus tersebut.
Kala itu, menurut laporan residen yang tertuang dalam memorie van overgave, korban yang terkena penyakit tersebut mencapai 245.375 orang, sebuah angka yang tidak kecil untuk ukuran waktu itu. Pemerintah kolonial dan penguasa tradisional mencatat, angka kematian tertinggi sebanyak 23.275 orang terjadi pada tahun 1934.
Penderita pes merasa sakit akibat pembengkakan kelenjar limpa yang bisa pecah dan mengeluarkan nanah, kepala pusing, demam tinggi, mata memerah, serta bicaranya ngawur. Juga mengalami sesak napas dan batuk diikuti keluarnya darah. Dokter memastikan penderita ini akan tutup buku kehidupan. Penduduk kota, tanpa kecuali para perantau, harus diselamatkan. Mereka ikut dikarantina atau isolasi dalam barak, meski tidak bisa menampung seluruhnya.
Dari kilas balik itu, kita menyadari bahwa sangat besar potensi penularan penyakit dengan aktivitas mudik. Virus korona makin sulit dicegah akibat pergerakan manusia besar-besaran. Ajakan pemerintah supaya tidak mudik atau pulang kampung memang ada benarnya. Hanya saja, perlu ada jaminan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka selama tidak mudik. Mudik virtual adalah jalan terbaik, sekalipun kurang nendang seperti yang ditulis dan dihayati Umar Kayam puluhan tahun silam.
Rindu yang menindih hati sementara waktu bisa diobati dengan bercakap lewat media sosial dan video call; tak mudik demi kebaikan bersama. Puncak kata, izinkan saya mencomot sepenggal lirik lagu terbaru Didi Kempot berjudul Ora Iso Mulih:
Mak bapak aku ora biso mulih/ Bakdo iki atiku sedih/ Mak bapak aku ora teko/ Neng kene aku isih kerjo/ Mung donga lan pujimu/ Sing tak suwun jroning uripku.
Heri Priyatmoko dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, founder Solo Societeit