Tak pernah terbayangkan dalam laku hidup, kita akan mengalami fase pengasingan secara massal seperti sekarang. Terlebih mengucilkan diri saat bulan suci Ramadhan, ketika segenap aktivitas bernilai ibadah dilipatgandakan.
Pendulum zaman telah berubah. Upaya memutar mundur jarum jam tentu sesuatu yang mustahil. Kita semua seperti mengalami mimpi buruk secara masif. Bagaimana bisa terbayang Ramadhan dijalani tanpa sahur on the road, ngabuburit, buka bersama, serta jamaah Tarawih di masjid?
Korona hadir menggilas rantai globalisasi di tengah laju revolusi industri 4.0. Di saat batas dan jarak telah dirampungkan lewat teknologi, namun oleh jasad renik ini dibongkar ulang, hingga mengharuskan adanya keterjarakan. Imbasnya, tragedi ini mengakibatkan terjadinya devaluasi nilai-nilai kemanusiaan.
Namun denyut kehidupan tak boleh berhenti. Hidup adalah rentetan kontinum dari kenyataan legit dan pahit yang silih berganti dalam panggung sejarah. Kita wajib memetik hikmah di balik tiap kelokan peristiwa demi menyalakan bara optimisme. Tiap lekukan diartikan sebagai lecutan agar tak terjungkal dari tangga kehidupan.
Sekian lama rutinitas hidup membuat manusia menggelegak tanpa henti mengejar duniawi dan kemewahan. Tumpukan harta dan empuknya tahta saling mengadu rayu bilik-bilik hasrat yang menganga. Tendensi materialistis yang membuncah pun turut berinvestasi dalam kendornya spirit religiositas.
Hingga kapasitas kemanusiaan kita bagai software yang tersistem, hanyut dalam rutinitas sehari-hari. Efeknya hidup pun bagai jasad tanpa jiwa.
Tapi di satu sisi, pandemi ini menyediakan ruang sunyi penuh keintiman antara diri dengan Tuhan. Kesenyapan ini menawarkan perjumpaan dinamis dengan Tuhan. Bukankah agama pun berawal dari peristiwa keheningan-kontemplatif yang sarat makna? Muhammad SAW di Gua Hira, Musa di puncak Sinai, Budha di bawah pohon di Bodh Gaya. Kesakralan akan hadir dalam momen kontemplatif dalam asuhan keheningan.
Biarkan Ramadhan hadir meluruskan kekusutan pikiran dan membersihkan partikel-partikel hati. Ciri khasnya, ia selalu hadir di saat yang tepat guna menyeimbangkan ritme kehidupan kita yang timpang dan cenderung menyimpang. Sekaranglah saatnya kita membersihkan diri dari pamrih, motivasi, dan keinginan duniawi yang tak ada hentinya demi meningkatkan imunitas keimanan kita masing-masing.
Puasa menyediakan detoksifikasi pikiran agar terhindar dari gravitasi syahwat. Selain sebagai media untuk menutrisi jiwa, ia juga mampu meluruhkan pemberhalaan diri. Melampaui jerat pikiran-pikiran sesaat dan kebutuhan sukma. Etosnya menghindarkan nalar ego dari preskripsi kesadaran subjektif, tetapi berusaha memendarkan rasio diri menjadi kesadaran reflektif.
Aktivitas berpuasa mendorong kinerja batin (inwardness) berupa mekanisme refleksi diri memampatkan hasrat seminimal mungkin dalam bentuk apapun. Puasa kali ini laksana drama antiklimaks dari riuh keseharian. Kehadirannya menyediakan momen pendedahan bagi kanker rutinitas kita. Dalam sebulan penuh, aras mobilitas dikekang dengan keterampilan memenjarakan diri.
Sepinya rutinitas buka bersama kali ini menyadarkan kita bahwa terkadang syiar agama dibajak oleh logika komoditas yang dibangun di atas fundamen diferensiasi sosial. Perlu upaya normalisasi, yang disebut Mary Aiken (2016) sebagai normalization of fetish, menormalkan yang tak normal.
Disebabkan logika konsumsi pun mulai kehilangan fungsi utilitasnya atas kebutuhan dasar manusia, sebaliknya, justru berubah menjadi penanda kelas, bahkan status sosial tertentu. Aktivitas buka bersama yang semula dimuati nilai tanda (sign value) diubah haluannya menjadi pemenuhan nilai fungsi puasa (use value), yaitu restrukturisasi konsumsi.
Melalui puasa, muncul pendisiplinan hasrat konsumsi hingga lakunya hanya sewajarnya sesuai kebutuhan. Hal ini dikarenakan bila konsumsi dibiarkan liar, menurut Deleuze dan Guattari (1972), merupakan deru mesin hasrat (desiring machine). Sebab pada prinsipnya, konsumerisme adalah nomadisme, pengembaraan hasrat menikmati tanpa sungguh-sungguh menikmati.
Memang, biasanya Ramadhan dijejali dengan bumbu-bumbu festival yang berkedok syiar. Mulai dari umbul-umbul ucapan "selamat berpuasa" hingga tradisi ngangklang guna membangunkan orang sahur. Di mana pun, festival dikatakan sukses bila dilakukan secara ekstravagan hingga menyedot animo masyarakat. Semakin ramai maka bisa dibilang makin moncer. Tanpa kehadiran seremonial ini, puasa terasa hambar. Inilah logika Islam seremonial.
Tak berlebihan bila di kalangan antropolog, manusia dikenal gemar dengan deretan seremonial (homo festivus). Tak hanya dalam Islam, semua agama dikenal memiliki tradisi festival. Namun ironisnya, nuansa festival seringkali lebih kental ketimbang nilai esensial dari ritual itu sendiri. Agama diekspresikan dalam hingar-bingar dalam kerumunan, namun minus penghayatan. Kekhusyukan menjadi faktor pertimbangan kesekian kali.
Padahal akan berbuah sia-sia bila aspek perayaan saja yang ditonjolkan, namun hampa nilai refleksi dan kontemplasi diri. Pemujaan berlebihan terhadap eksterioritas mengakibatkan keberagamaan menjadi mandul dan kering. Kesalehan yang terpaku pada simbol-simbol formal tanpa mengecap makna hakiki hanya akan melahirkan kesalehan formal, suatu wujud kesalehan yang mengecoh.
Namun, kali ini kita tak boleh terjebak pada glorifikasi eksterioritas. Modus keberagamaan kita perlu dikalibrasi ulang. Bila di masa pendemi ini kita masih berkeinginan jamaah Tarawih di masjid, berbuka bersama dan sahur on the road dengan mengatasnamakan syiar agama, jangan-jangan itu adalah jeratan hasrat yang membajak logika ibadah. Bila demikian, sebenarnya kita beribadah untuk siapa?
Saat ini, demi menjaga jiwa (hifdzun nafs), kekang diri kita agar tak ke masjid. Tarawih pun bisa digelar dengan khidmat di rumah masing-masing secara berjamaah. Disebabkan, sesuai skala prioritas maqashid syari'ah ala Imam al-Qarafi (w. 694 H), menjaga jiwa (hifdzun nafs) lebih diutamakan daripada menjaga agama (hifdzud din). Percayalah, agama tak akan kehilangan daya pikatnya apalagi mati gaya akibat terhentinya ibadah kolektif Ramadhan.
Hal ini penting ditekankan agar dalam beragama kita tak hanya berhenti pada tataran prosedural, namun naik kelas menjadi beragama secara substansial. Selain itu, agama selalu menawarkan dua sisi sekaligus. Di satu sisi berwajah ketuhanan, sementara di sisi lain berparas kemanusiaan.
Dengan berpuasa, kita melakukan spiritual exercise guna menegaskan kembali perlunya meneguhkan solidaritas kemanusiaan. Kita dituntut memiliki spirit berbela rasa (compassion), bahwa penderitaanmu berarti deritaku pula. Oleh sebab itu, bagi yang masih punya kelebihan rezeki, dengan panggilan nurani bergerak menolong tetangga terdekatnya yang terkena imbas bencana non-alam ini.
Di bulan Ramadhan ini, kita harus menyatukan hati bersama guna saling menguatkan di tengah deraan wabah. Tak cukup hanya bualan retorika, namun bantulah mereka yang sangat membutuhkan. Tirulah jihad para tenaga kesehatan yang tak kenal lelah menolong para penderita Covid-19. Dikarenakan hakikat puasa bukanlah menemukan kembali kefitrian "aku" yang hilang, namun menemukan kembali makna "kami" yang hilang. Marhaban ya Ramadhan 1441 H.
Mohammad Farid Fad dosen FITK UIN Walisongo Semarang, pengasuh Ponpes Raudlatul Muta'allimin Kendal
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini