Covid-19 dan Birokrasi Digital di Taiwan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Covid-19 dan Birokrasi Digital di Taiwan

Kamis, 23 Apr 2020 11:17 WIB
Sudarsono Hardjosoekarto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Taiwan jadi salah satu negara yang melakukan respon terbaik dalammenangani penyebaran COVID-19. Beragam langkah responsif Taiwan itu pun mendapat pujian dunia.
Foto: Paula Bronstein/Getty Images
Jakarta -

Covid-19 telah membuka tabir state of the art reformasi birokrasi di banyak negara, termasuk di Taiwan. Terlepas dari masih adanya sengketa politik antara Tiongkok dan Taiwan, harus diakui banyak lessons learned dari pengendalian wabah, yang secara teknis berada di bawah Centers for Disease Control (CDC), Kementerian Kesehatan dan Sosial (MOHW), Taiwan itu. Sampai dengan 10 April 2020, wabah Covid-19 di Taiwan sangat terkendali, dengan jumlah positif Covid-19 mencapai 382 orang, dengan 91 orang sembuh, dan 6 orang meninggal.

Tantangan dan Rintangan

Kinerja pengendalian Covid-19 di Taiwan tak lain adalah bagian dari hasil reformasi birokrasi yang cukup panjang, bahkan sejak tahun 1949. Analisis historical institutionalism oleh Shih et al (2012) menyebut bahwa reformasi birokrasi di Taiwan, khususnya dari 1996 sampai dengan 2010, masih dikategorikan sebagai New Public Management (NPM). Yakni, reformasi ke arah penerapan prinsip dan teknik manajemen organisasi privat oleh organisasi sektor publik. Prinsip NPM, a leaner and businesslike government, dengan tiga komponen utama disaggregation, competition, dan incentivization dilakukan dari masa ke masa sampai terbentuknya struktur dan kultur organisasi MOHW Taiwan saat ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Shih dkk juga menyebut bahwa reformasi birokrasi di Taiwan bukanlah proses yang mudah, tapi seperti juga di banyak negara, melewati tantangan dan rintangan. Pertama, reformasi birokrasi merupakan proses politik, dan ASN harus menghadapinya, serta mengatasi berbagai konflik nilai. Kedua, profesionalisme dan netralitas politik adalah nilai yang paling penting sebagai acuan proses reformasi. Ketiga, fokus pada personel ASN memang penting, tapi jauh lebih penting lagi adalah fokus pada nilai demokratis dan pelayanan publik.

Walaupun sampai dengan 2010 masih dikategorikan sebagai era NPM, tapi dalam praktik, khususnya manajemen pengendalian Covid-19, birokrasi Taiwan saat ini dapat dikatakan sudah memasuki era post-NPM. Pertama, birokrasi pasca NPM sering diberi label DEG (digital-era governance), dengan ciri reintegration, needs-based holism, dan digitization. Artinya, dalam mewujudkan DEG, perlu reintegrasi penyelenggaraan urusan pemerintahan; susun ulang struktur organisasi publik dengan prinsip holistic and needs-oriented; serta digitalisasi menyeluruh proses administrasi.

ADVERTISEMENT

Kedua, birokrasi pasca NPM juga sering dikategorikan sebagai digital weberianism bureaucracy (DWB), di mana berbagai rupa files, dokumen, dan arsip terkait regulasi dan prosedur administrasi telah menjadi usang, dan diubah ke dalam bentuk digital. Birokrasi digital adalah dunia berbasis data bergerak, dengan arah yang jelas, yang ditentukan berdasar infrastruktur digital yang baru, serta diawaki oleh tipe personel yang juga baru, yakni data scientists. Tiga aspek utama dalam cakupan DWB yaitu intelligent efficiency, sizing up objectivity, dan remotely rational.

Pengalaman Buruk

Birokrasi digital dalam pengendalian wabah Covid-19 di Taiwan tergambar dari sebuah video pendek bertajuk Taiwan's aggresive efforts are paying off in fight against Covid-19. Dr Steve Kuo, mantan Direktur CDC, menjelaskan kesiapsiagaan Taiwan dalam menghadapi wabah Covid-19, yakni dimulai saat pengalaman buruk SARS, yang merenggut korban jiwa 70 orang Taiwan pada 2003. Sejak saat itu, UU baru ditetapkan untuk menyiapkan infrastruktur lengkap pengendalian wabah, termasuk mewajibkan setiap rumah sakit memiliki cadangan semua bentuk medical supplies untuk kebutuhan minimal 30 hari.

Segera setelah mengetahui dari media sosial tentang merebaknya wabah virus di Wuhan pada akhir Desember 2019, CDC mengirim dua orang dokternya ke Wuhan untuk mempelajari secara langsung, dan lebih memahami karakter wabah tersebut. Segera setelah Tim Dokter kembali ke Taiwan pada medio Januari 2020, Pemerintah Taiwan memutuskan menghidupkan Pusat Komando Pengendali Wabah pada 20 Januari 2020, termasuk mengaktifkan seluruh infrastruktur digitalnya.

Mulai saat itu, setiap penduduk Taiwan dapat mengakses informasi detil tentang Covid-19, melalui ponsel masing-masing, termasuk lokasi apotek yang masih menyediakan masker, dan persebaran positif Covid-19, serta informasi penting lainnya.

Taiwan juga termasuk yang paling awal melakukan kontrol ketat seluruh pintu masuk internasionalnya. Setiap pelintas batas dari negara pandemi langsung berstatus ODP, dan harus melalui proses masuk yang ketat. Pada saat tiba di bandara, tahap pertama ODP harus mengisi formulir ceklis kesehatan, termasuk isian cek suhu tubuh untuk 14 hari ke depan, dan melakukan pendaftaran online ke Sistem Informasi Covid-19.

Tahap kedua, pemeriksaan suhu tubuh oleh petugas, dan pencatatan riwayat gejala sakit, dilanjutkan dengan penjelasan peraturan kesehatan yang harus diikuti dalam rangka isolasi mandiri, serta dilakukan swap test di tempat. Data primer kesehatan individual ini di-input langsung oleh petugas ke dalam Sistem Informasi Covid-19.

Segera setelah mendaftar secara online itu, ODP menerima notifikasi berupa SMS. Hanya bila dengan menunjukkan SMS notifikasi inilah seorang pelintas batas ODP baru boleh keluar bandara. Perjalanan dari bandara ke kediaman pun, ODP hanya boleh naik kendaraan khusus yang disediakan pemerintah, dan dilarang naik kendaraan umum. Berbagai notifikasi berupa petunjuk isolasi mandiri terus diterima ODP, termasuk harus mematuhi kewajiban stay at home.

Seorang ODP bercerita bahwa kurang dari satu jam setelah tiba di kediaman, ia memperoleh notifikasi, pertanyaan, dan pemberitahuan dengan dialog kurang lebih seperti ini: Apakah Anda sudah tiba, dan sedang di kediaman? Setelah dijawab: Iya, saya sedang di tempat tinggal, maka: Sekitar lima menit lagi seorang petugas CDC akan datang ke rumah Anda.

Ternyata, hanya dalam waktu 4 menit, seorang petugas CDC sudah tiba di kediaman ODP itu. Kedatangan petugas CDC itu dimaksudkan untuk menyerahkan masker sebanyak 14 lembar sambil memberikan penjelasan tambahan, dan tentu saja di atas semua itu adalah untuk memastikan bahwa ODP mematuhi ketentuan isolasi mandiri, stay at home.

Jalan di Tempat

Berkaca pada proses reformasi birokrasi di Taiwan, juga Jepang dan Selandia Baru, sulit dikatakan kalau kita sudah pada fase akhir era NPM. Atas nama kompromi politik, tata ulang organisasi kabinet berbasis UU 39/2008 berjalan di tempat, dalam arti tak ada kehendak untuk perampingan kementerian/lembaga (K/L), dan tiada tata ulang penempatan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

Proliferasi organisasi K/L, utamanya setelah terbitnya UU 24/2007, UU 6/2014, UU 23/2014, dan terakhir UU 6/2018 justru mengarah pada tumpang tindih penyelenggaraan urusan pemerintahan di pusat, di tingkat Menko, dan K/L yang pada gilirannya membingungkan dan/atau tambahan beban anggaran pada pemda provinsi dan kabupaten/kota. Alih-alih memasuki birokrasi DEG, UU 5/2014 justru cenderung mendorong birokratisasi reformasi birokrasi, dan fokus kesibukan pada panitia seleksi pejabat. Digitalisasi birokrasi kebencanaan dan kekarantinaan kesehatan juga jalan di tempat, kalah jauh dibanding digitalisasi birokrasi perpajakan.

Riset Meilani dan Hardjosoekarto (2020, under review) tentang DWB dan Disaster Risk Reduction pada wilayah bencana tsunami volkanik Selat Sunda menemukan bahwa digitalisasi birokrasi terkait pemasangan early warning system (EWS) misalnya, diketahui masih belum saling terintegrasi antara K/L bidang kebencanaan. Rencana penggunaan teknologi canggih dan digitalisasi birokrasi kebencanaan yang sudah menjadi arus utama K/L, masih belum mendapat tempat pada birokrasi lokal. Daerah masih bekerja secara manual tradisional, termasuk dalam validasi data dan informasi korban bencana terkait skema bantuan.

Digitalisasi Birokrasi

Bila dikonstruksikan penanggulangan wabah sebagai arena organisasional (organizational fields), maka secara sosiologis, trajektori memasuki birokrasi kebencanaan dan kekarantinaan kesehatan pasca NPM, artinya membangun birokrasi DEG atau DWB haruslah ditempuh dengan destabilisasi arena organisasional itu melalui intervensi inter-relasi social macrostructures, yaitu kerangka kognisi dan kultural, institusi dan jaringan sosial.

Digitalisasi birokrasi dimulai dengan upgrading kerangka kognisi dan kultural champions of the top dan jajarannya dengan tema penanggulangan bencana dan wabah adalah kewajiban publik prioritas tinggi sepanjang masa. Tidak boleh ada sikap denial, "cengengesan", menganggap remeh, dan apalagi menyalahkan orang miskin.

Tata ulang kelembagaan kebencanaan dan kekarantinaan kesehatan secara menyeluruh sampai dengan implementasi di akar rumput dilakukan di bawah payung social macrostructures institusi dan jaringan sosial dengan desain baru untuk memastikan digitalisasi birokrasi berbasis pengetahuan. Bukan hal yang tak mungkin untuk segera dilakukan digitalisasi birokrasi, mengingat banyak sekali talenta di bidang infrastruktur digital dan data scientists di berbagai K/L dan perguruan tinggi.

Sudarsono Hardjosoekarto guru besar FISIP UI

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads