Langkah pemerintah memberikan asimilasi dan hak integrasi berupa pembebasan bersyarat bagi lebih dari 30.000 narapidana melalui Peraturan Menteri Kementerian Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 menuai sorotan. Masyarakat menilai langkah pemerintah kurang tepat, dan berpendapat narapidana lebih baik berada di dalam lembaga pemasyarakatan guna menjalani physical distancing dengan pengawasan dibandingkan berada di luar yang malah berpotensi terkena virus.
Keresahan masyarakat nyatanya tidak sampai di situ. Kebijakan tersebut dianggap sebagian kalangan dapat meningkatkan angka kriminalitas karena tidak adanya jaminan dari pemerintah bahwa mereka yang diberikan hak integrasi dan asimilasi tidak akan mengulangi kejahatannya, mengingat kehidupan masyarakat di tengah pandemi ini semakin sulit.
Pegiat antikorupsi juga tampak kritis menyikapi peraturan tersebut, karena dikhawatirkan Permenkumham tersebut mutatis mutandis dengan kebijakan terhadap narapidana koruptor. Arus penolakan sangat deras, karena dinilai, selama ini dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) yang diperuntukkan untuk narapidana korupsi tidaklah over capacity seperti lapas-lapas untuk narapidana tindak pidana umum. Presiden Joko Widodo telah mengkonfirmasi bahwa tidak pernah ada wacana untuk pemberian asimilasi dan hak integrasi terhadap narapidana korupsi selama masa pandemi ini.
Tak Hanya Indonesia
Hak integrasi merupakan hak narapidana mendapatkan program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Hak integrasi merupakan salah satu hak yang telah diatur oleh Undang-Undang Pemasyarakatan. Hak integrasi berupa pemberian pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.
Integrasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Hak integrasi dalam pemasyarakatan juga memiliki arti yang sama, yaitu pemberian hak ini nantinya adalah untuk membaurkan kembali narapidana ke dalam kehidupan masyarakat. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 telah mengatur syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi saat Covid-19 ini, yaitu bagi narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidananya dan anak 1/2 masa pidananya sampai dengan 31 Desember 2020.
Indonesia memiliki setidaknya 524 unit pelaksana Rutan dan Lapas. Data dari Sistem Database Pemasyarakatan memperlihatkan hampir sebagian besar lapas dan rutan mengalami over capacity, yang beberapa bahkan sampai di atas 300 persen kelebihannya dari daya tampung sebenarnya. Dapat dibayangkan, jangankan untuk menerapkan physical distancing, para narapidana dan tahanan bahkan berebut napas di dalam rutan dan lapas. Sistem pemasyarakatan mensyaratkan, hilangnya kebebasan merupakan satu-satunya hak yang dirampas dari narapidana. Di luar itu, narapidana tetap dapat menikmati hak-hak lainnya tanpa diskriminatif.
Kebijakan pembebasan narapidana di tengah pandemi seperti sekarang ini merupakan salah satu pemberian hak narapidana dalam bentuk kemanusiaan --sebagaimana instruksi Dewan HAM PBB,Michelle Bachelet dalam keterangan tertulisnya di Genewa (25/3), yang mendesak negara-negara untuk melonggarkan populasi di penjara. Hal itu dilakukan untuk melindungi orang-orang yang ditahan dalam fasilitas tertutup seperti penjara yang terlalu penuh dan sesak. Risiko penyebaran Covid-19 akan lebih rentan dalam lembaga pemasyarakatan.
Tidak hanya Indonesia, negara-negara terdampak Covid-19 sudah lebih dulu mengambil langkah pemberian hak integrasi saat pandemi ini. Sebut saja, Amerika Serikat yang membebaskan hampir 2000 narapidana dari penjara Federal untuk mengurangi penularan wabah Covid-19. Ada juga Iran yang membebaskan 95 ribu tahanan, Brazil sebanyak 34 ribu tahanan, dan banyak negara lainnya.
Bukan Asal Membebaskan
Kekhawatiran masyarakat terhadap pemberian asimilasi dan hak integrasi kepada narapidana saat masa pandemi ini dapat dimengerti. Tetapi, masyarakat juga harus percaya bahwa pemerintah sudah memperhitungkan sedemikian matang agar mencapai keadilan yang proporsional, baik untuk segi narapidana maupun dari segi masyarakat itu sendiri.
Pemberian asimilasi dan hak integrasi merupakan wujud jaminan hak asasi manusia terhadap para narapidana. Karena, pemerintah menjamin keselamatan para narapidana dari potensi terkena wabah Covid-19 yang bisa saja menginfeksi lapas, dan jika itu terjadi makanya kerusakan yang ditimbulkan akan lebih besar, mengingat over crowded di lapas tidak memungkinkan para narapidana menerapkan physical distancing sebagaimana anjuran pemerintah.
Pemberian asimilasi dan hak integritas ini juga secara tegas dinyatakan oleh pemerintah diusulkan kepada narapidana, khususnya yang masa 2/3 masa pidananya jatuh tanggal 1 April 2020 hingga 31 Desember 2020 serta tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dan bukan warga negara asing. Artinya, narapidana yang mendapatkan hak-hak tersebut memang mereka yang sudah memenuhi kualifikasi. Bukan asal membebaskan narapidana.
Narapidana koruptor yang juga menjadi perhatian masyarakat, tidak diberikan hak asimilasi dan hak integritas dikarenakan pengaturan pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak termasuk dalam jangkauan pengaturan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020, yang berkaitan dengan pemberian asimilasi dan hak integrasi selama masa Covid-19 ini.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga menegaskan bagi narapidana yang telah dibebaskan berdasarkan Peraturan Menteri ini, jika berbuat tindak pidana lagi, akan dimasukkan ke dalam straft cell (sel pengasingan) dan diproses kembali dengan tindak pidana baru yang ia lakukan.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tetap memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap para narapidana yang bebas melalui asimilasi dan hak integrasi. Pengawasan dan pembimbingan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan, dengan tujuan agar narapidana yang sudah bebas tidak lagi melakukan tindak pidana.
Masyarakat tentu juga memiliki andil yang besar dalam pengawasan narapidana yang telah dibebaskan. Masyarakat dapat membuat laporan ke unit kepolisian setempat apabila menemukan mantan narapidana yang dibebaskan selama masa Covid-19 melakukan kembali tindak pidana dan meresahkan warga sekitar. Sikap pengawasan aktif dari masyarakat juga menjadi indikator keberhasilan dari kebijakan pemerintah ini.
Di tengah pandemi seperti sekarang ini, alangkah baiknya jika kita saling menjaga dan mendukung satu sama lain. Jaga kesehatan diri sendiri dan keluarga serta awasi lingkungan sekitar, dan tetap patuhi kebijakan-kebijakan physical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang dianjurkan pemerintah. Semoga dengan kedisiplinan masyarakat, wabah ini segera hilang dari bumi pertiwi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dinda Balqis ASN Kementerian Hukum dan HAM
(mmu/mmu)