Kartini: Satu Napas dengan Rakyat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kartini: Satu Napas dengan Rakyat

Selasa, 21 Apr 2020 13:00 WIB
Yusril Mahendra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
kartini
Jakarta -
Semenjak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 108 Tahun 1964 oleh Presiden Sukarno pada 2 Mei 1964 yang secara resmi menetapkan R.A Kartini sebagai pahlawan nasional, telah lebih dari 50 kali Hari Kartini diperingati. Namun pertanyaan-pertanyaan yang tak hilang dan terus menggelayuti peringatan tersebut ialah makna apa di baliknya?

Besar kemungkinan peringatan tersebut adalah bentuk penghargaan dan refleksi nilai-nilai perjuangan serta capaian Kartini untuk bangsa Indonesia saat ini. Namun, besar pula kemungkinan bahwa ini hanyalah penurunan pemahaman nilai perjuangan Kartini; bukan soal perjuangan yang telah dilakukan individu Kartini, melainkan lebih kepada distorsi pemahaman masyarakat Indonesia saat ini terkait poin maupun yang melatarbelakangi perjuangan Kartini.

Hemat saya, dugaan kedua tersebut mempunyai dasar-dasar yang lebih kuat. Dalam konteks perjuangan Kartini, terlihat pengerdilan nilai serta lingkup perjuangan Kartini yang hanya sebatas dipahami emansipasi wanita, kebebasan dalam pendidikan, serta kehidupan rumah tangga. Poin-poin tersebut tidaklah salah, namun terlalu banyak lompatan di dalamnya.

Bila kita melihat latar belakang kondisi Jawa pada umumnya maupun lingkungan sekitar Kartini dalam hal ini Jepara saat itu, ketiga poin tersebut tidaklah merepresentasikan kondisi zamannya secara keseluruhan. Bila kita telaah setidaknya sistem yang mengikat pada saat itu ialah feodalisme bangsa penjajah dan hukum adat yang berlaku.

Feodalisme penjajah yang telah menjadi tata hidup pribumi telah menyebabkan penderitaan terhadap petani dan para pekerja. Sebagai sebuah sampel kondisi pribumi terlihat di Demak dan Grobogan saat itu, dari 336.000 penduduk dalam waktu dua tahun tersisa hanya 120.000 orang yang diakibatkan bencana kelaparan. Kondisi tersebut tak lekas berubah bahkan ketika Kartini beranjak dewasa, yang ia gambarkan dalam suratnya:

....malulah aku terhadap keangkaraanku. Aku renungi dan pikirkan keadaanku sendiri, dan diluar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami! Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratapan tangis, erang dan rintih orang-orang di sekelilingku. Dan lebih keras dari erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku: kerja! kerja! kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatkah kau menolong yang lain kerja! kerja! Aku dengar itu begitu jelas, tampak tertulis di depan mataku! (Surat 17 Mei 1902 kepada Estelle Zeehandelaar).

Kondisi itu secara implisit mengabarkan bahwa tidak semua perempuan Jawa terkurung atau hidup dalam dalam pingitan; mereka harus keluar untuk "kerja! kerja! kerja!" Membantu pekerjaan di sawah ladang maupun pasar untuk menyuburkan dan mengisi kas penjajah dengan airmata, keringat, ratap tangis, bahkan darah pribumi.

Bila melihat kondisi tersebut, pendidikan belum menjadi kebutuhan primer pribumi saat itu. Meskipun saat itu dunia sudah memasuki zaman modern dan telah melawati masa Pencerahan pada abad ke-18 yang ditandai kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, namun masih belum sampai kepada penduduk pribumi. Hal ini disebabkan satu-satunya bahasa untuk menerima ilmu pengetahuan di Hindia Belanda adalah Bahasa Belanda.

Selanjutnya, terhadap kondisi hidup dalam pingitan, hal tersebut hanyalah berlaku pada kaum bangsawan yang diatur oleh hukum adat pribumi:

Mengejutkan adat kami orang jawa. Seorang adikku, lelaki maupun wanita, tak boleh jalan melewati aku, atau kalau toh harus melewati, dia mesti merangkak di tanah. Kalau seorang adik duduk di atas kursi dan aku hendak lalu, mestilah ia segera meluncurkan diri ke tanah dan disana duduk menekuri tanah itu sampai aku tak tampak lagi olehnya. Terhadap aku, adik-adikku tak boleh ber-aku-ber-kau, dan pada setiap akhir kalimat yang keluar dari mulutnya harus mereka tutup dengan sembah.

Kalau adik-adikku, tak peduli lelaki atau wanita, berbicara dengan orang lain tentang diriku, mereka harus mempergunakan bahasa tinggi segala apa yang berhubungan dengan diriku, misalnya pakaian, tempat duduk, tangan, kaki, mata, pendeknya apa saja milikku.

Kepalaku yang terhormat ini tidak boleh mereka menyentuhnya tanpa izin istimewa dari aku dan itu pun sesudah diupacarai dengan beberapa kali sembah. Kalau ada panganan di meja, bocah-bocah kecil itu tidak boleh menghampiri, sebelum aku berkenan mengambil barang sedikit.

Duh, Stella, kau harus lihat, bagaimana di kabupaten-kabupaten lain saudari dan sudara itu bergaul! Mereka itu bersaudara, hanya karena mereka anak dari orangtua yang sama; tak ada hubungan lain yang menghubungkan mereka terkecuali darah. Saudara-saudara itu hidup berdampingan seperti orang-orang asing satu terhadap yang lain, Cuma persamaan raut muka, yang kadang-kadang pun tak tampak, yang jadi tanda kesaudaraan mereka. (Surat 18 Agustus 1899 kepada Estella Zeehandelaar)

Melihat akan adanya kejomplangan tersebut, serta guna menghindari berlanjutnya pengerdilan perjuangan dari sosok revolusioner sekaligus keluarga modern yang berasal dari pribumi yang telah mengetahui pentingnya ilmu pengetahuan, maka dirasa perlu untuk menambah pemahaman kita akan poin pokok perjuangannya.

Menentang Diskriminasi

Bila kita tidak alpa dalam mengamati sejarah terkait latar belakang perjuangan Kartini mulai dari Pangeran Ario Tjondronegoro sebagai Bupati Kudus pada umur 25 tahun hingga Kartini purna dalam perjuangannya, akan tampak diskriminasi bahkan sejak awal kelahirannya. Hal tersebut disebabkan oleh latar belakang keturunan sang ibu, Ngasih yang hanya anak seorang mandor pabrik gula.

Beranjak besar tak menjamin diskriminatif tersebut hilang, bahkan tetap dirasakan ketika ia menjadi siswa di sekolah rendahan. Hal ini senada seperti yang dikatakan di dalam buku Menadonesche School (Taman Pengajaran) bahwa anak-anak dibariskan di depan kelasnya menurut warna kulit ataupun kedudukan orangtuanya dalam susunan kepegawaian kemudian berurutan masuk. Tak terlepas akan hal yang sama, diskriminasi terhadap pribumi bahkan diterima Kartini dari guru-gurunya di sekolah:

Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menentang terhadap kami. Aduhai! Betapa banyak duka cita ketika kami dahulu semasa masih kanak-kanak di sekolah; para guru kami dan banyak di antara kawan-kawan sekolah kami mengambil sikap permusuhan terhadap kami.

Tapi memang tidak semua guru dan murid membenci kami. Banyak juga yang mengenal kami dan menyayangi kami, sama halnya terhadap murid-murid lain. Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan angka tertinggi pada anak jawa, sekalipun murid itu berhak menerimanya. (Surat 12 Januari 1990 kepada Estella Zeehandelaar).

Memperbaiki Kehidupan Pribumi


Bagi seorang Kartini, anak dari bangsawan Bupati Jepara, tentu saja mengenai kebutuhan dasar tidak menjadi persoalan. Namun terpenuhinya kebutuhan ini tak serta merta membuatnya puas dan menutup mata akan keadaan lingkungan sekitar. Aktualisasi dirilah yang menjadi kebutuhannya saat itu, yang tak lain upaya memperbaiki kehidupan pribumi. Pun demikian meski hukum adat feodal menjadi sekat pemisah antara dirinya dan rakyat jelata, tak membuat kepeduliannya hilang:

Disebut bersama dengan rakyatku; dengannyalah ia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu napas dengan rakyatku. (Surat 8 April 1902 Kepada Estella Zeehandelaar)

Dengan memperbarui serta menambah perbendaharaan referensi atas Kartini, seorang pemula dari konseptor sejarah modern Indonesia, kita dapat merinci poin-poin perjuangannya yang merupakan hasil dari menggodok aspirasi-aspirasi pribumi saat itu. Hal ini pun sebuah bukti akan kecintaan dan rasa kasih sayang kepada sosok perempuan berbudi luhur yang dapat memahami segala penderitaan rakyatnya.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads