Aku masih melihat senyumnya yang membuat raut mukanya bercahaya ketika ia berkata, "Ah, ibu, aku mau hidup 100 tahun. Hidup ini terlalu pendek. Pekerjaan banyak sekali menunggu. Dan sekarang aku bahkan belum boleh memulai."
Petikan di atas adalah surat yang ditulis oleh Raden Adjeng Kartini (1879-1904) kepada Nyonya Marie Ovink-Soer yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri. Surat itu merefleksikan banyak hal, tidak hanya tentang dirinya yang harus menerima kenyataan harus dipingit dan menerima titah orangtuanya untuk menikah muda, tetapi juga tentang cita-cita luhur akan kemajuan perempuan Indonesia.
Kartini telah menjadi simbol perjuangan dan perlawanan kaum wanita dalam memerangi kebodohan dan keterbelakangan. Hidup yang sudah sangat mapan sebagai seorang perempuan keturunan ningrat dan istri seorang bupati, tidak membuat Kartini tenang. Ia tidak melawan kehendak orangtua yang memingitnya yang lalu menikahkannya dengan pria yang menjadi pilihan orangtuanya. Sebaliknya, dia terus merenung dan berpikir atas nasib yang dialaminya dan kaum perempuan Indonesia saat itu.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pada 2 Mei 1964, Presiden Soekarno melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 108 menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya. Penganugerahan ini tentunya bukan karena Kartini ikut memanggul senjata melawan penjajah, tetapi karena ide, gagasan, dan cita-cita yang sangat menginspirasi perjuangan.
Perenungan dan gagasan-gagasannya dituangkan dalam surat-surat yang dikirim kepada sahabat-sahabatnya yang umumnya perempuan Belanda. Surat-surat itu kemudian menjadi karya yang luar biasa. Pada titik ini, Kartini tidak lagi hanya menjadi tokoh emansipasi perempuan, tetapi telah menjadi oase ilmu pengetahuan yang tidak pernah kering. Karya-karya Kartini tidak hanya menginspirasi banyak kalangan, tetapi telah melahirkan begitu banyak karya dan kajian akademis.
Surat-suratnya yang kemudian menjadi dokumen penting terbit pertama kali pada 1911 di bawah judul Door Duisternis tot Licht, yang sering diterjemahkan dengan Habis Gelap Terbitlah Terang. Kumpulan surat-surat ini dikumpulkan dan diedit oleh Dr. J.H. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Industri Hindia-Belanda.
Isi surat-surat Kartini telah menginspirasi banyak kalangan. Hal ini terbukti dengan diterjemahkannya surat-surat itu ke dalam Bahasa Inggris oleh Agnes Louise Symmers pada Desember 2010 di bawah judul Letters of a Javanese Princess.
Selepas terjemahan ke dalam Bahasa Inggris, kita masih menjumpai banyak karya-karya akademis dengan subjek Kartini. Dr. Joost CotΓ©, peneliti senior dalam bidang sejarah di Universitas Monash Australia, menulis banyak karya tentangnya. Pada Maret 2016, CotΓ© menerbitkan sebuah tulisan di Dutch Crossing: Journal of Low Country Studies, dengan judul Female Colonial Friendships in Early 20th Century Java: Exploring New Correspondence by Kartini's Sisters.
Dua tahun sebelumnya (2014), CotΓ© telah mengedit, membuat pendahuluan, dan menerjemahkan sebuah buku tentang Kartini yang hampir mencapai seribu halaman dengan judul Kartini: the Complete Writings, 1898-1904. Setahun kemudian, CotΓ© juga menyumbang satu bab tentang Kartini yang berjudul Reversing the lens: RA Kartini and the ethnographic turn' dalam S. Proteschky (ed.), Photography, Modernity and the Governed in Late Colonial Indonesia (University of Amsterdam Press, Amsterdam, 2015).
Selain ditulis oleh penulis-penulis asing, kajian tentang Kartini juga dapat ditemukan dalam bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda. Pada 1922 misalnya, Armijn Pane (salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru) menerjemahkan Door Duisternis tot Licht (Dr. J.H. Abendanon) ke dalam Bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada1938, buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka itu kembali diterbitkan dalam format yang berbeda. Buku itu sangat populer, sehingga harus diterbitkan sebanyak sebelas kali. Pada 2005, Balai Pustaka kembali menerbitkan karya Armijn Pane tersebut.
Satu karya tentang Kartini yang tidak dapat diabaikan adalah Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram menulis buku ini antara tahun 1956-1961 sebanyak 4 jilid. Namun demikian, saat Orde Baru berkuasa buku ini dibakar dan hanya 2 jilid yang berhasil diselamatkan. Buku ini menarik, lantaran tidak hanya menerjemahkan surat-surat Kartini, tetapi menjelaskan --bagaimana dan mengapa-- konteks sejarah, sosial, dan budaya saat itu mempengaruhi Kartini yang kemudian tercermin dari surat-suratnya.
Oleh karena itu, buku tersebut tidak sekedar biografi, tetapi sebuah karya historiografi penting tentang Jawa dan Indonesia pada masa kolonial dengan Kartini dan surat-suratnya sebagai jendela. Dengan kata lain, Pram berhasil menjadikan Kartini dan surat-suratnya sebagai jendela untuk melihat apa sesungguhnya yang terjadi dalam sejarah Indonesia pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Dalam bab pertama misalnya, Pram menulis bagaimana kondisi Jawa yang semakin miskin akibat kolonialisme dan berbagai perubahan yang terjadi saat memasuki periode liberal. Dalam bagian lain, Pram mengetengahkan bagaimana Kartini memandang dunia pribumi. Di rumahnya, Kartini memang hidup berkecukupan tetapi di luar rumahnya Kartini menyaksikan kemiskinan dan kemelaratan.
Berbagai kajian tentang Kartini menunjukkan bahwa ia tidak hanya menjadi tokoh emansipasi wanita (sebagaimana yang sering didengung-dengungkan), tetapi telah menjadi oase ilmu pengetahuan yang tidak pernah kering. Oleh karena itu, agak menyesakkan menyaksikan apa yang dilakukan oleh banyak kalangan saat datangnya Hari Kartini dengan ramai-ramai menukar baju dengan kebaya, sanggul, atau karnaval.
Lebih menyesakkan lagi, kampus-kampus sepi dari kajian tentang sosok perempuan luar biasa ini. Semoga semangat Kartini menyadarkan kita semua akan pentingnya ide, gagasan, pemikiran, dan cita-cita akan kemajuan yang hasilnya mungkin tidak bisa kita nikmati, tetapi akan tercapai puluhan bahkan ratusan tahun kemudian, kecuali kalau kita bisa hidup 1000 tahun lagi seperti yang dikatakan Kartini dalam suratnya.
Sarkawi B. Husain Departemen Ilmu Sejarah FIB Universitas Airlangga
(mmu/mmu)