Wabah Corona dan "Leadership" Global
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Wabah Corona dan "Leadership" Global

Senin, 20 Apr 2020 16:30 WIB
Vita Rudiany
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi bendera Korea Selatan
Jakarta -

Narasi tata kelola global muncul karena adanya kebutuhan agar ada sistem yang mampu mengkoordinasikan aksi bersama dari seluruh aktor hubungan internasional untuk memenuhi kebutuhan mendasar bagi manusia. Sejauh ini, PBB dianggap sebagai institusi tata kelola global karena cakupan isunya yang semakin meluas. Salah satu isu yang dikelola adalah kesehatan dan kesejahteraan, tepatnya di bawah Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial.

Isu kesehatan saat ini menjadi trending topic akibat ditetapkannya status pandemi global karena penyebaran Covid-19 di seluruh dunia yang setidaknya telah membunuh lebih dari 120 ribu orang. Fenomena pandemi Covid-19 ini memang menciptakan shocking effect bagi setiap negara. Alih-alih melakukan koordinasi aksi bersama yang bersifat responsif dan tepat sasaran, kepanikan yang terjadi di level global membuat negara-negara cenderung memberikan respons yang berbeda.

WHO sebagai agen khusus PBB di sektor kesehatan sejauh ini hanya bisa merilis imbauan untuk memutus rantai penyebaran virus. Sementara itu, negara-negara yang dianggap memiliki pengaruh besar atas jalannya tata kelola global malah saling tuding. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bersikukuh menyebut Covid-19 sebagai "Wuhan Virus" untuk menuduh Tiongkok. Ini dikecam keras oleh Tiongkok karena dianggap sebagai rekayasa semata untuk mempolitisasi wabah.

Terlihat jelas adanya kelumpuhan Dewan Keamanan (DK) PBB yang pada akhirnya belum juga mampu menelurkan draf resolusi untuk menanggulangi pandemi ini.

Tanpa Leadership

Rasanya hampir mustahil jika mengharapkan adanya tata kelola global tanpa adanya leadership. Selama ini, AS menjadi negara yang biasanya mendorong tergeraknya tindakan kolektif. Contohnya, Duta Besar AS untuk PBB memberikan peringatan awal terkait ancaman HIV pada awal dekade 2000-an. AS juga meyakinkan DK PBB untuk menggelar pertemuan darurat, serta bersepakat untuk mengirim petugas medis dan memasok peralatan kesehatan ke negara-negara kawasan Afrika Barat terdampak Ebola pada 2014.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayangnya, inisiatif semacam itu sama sekali tak nampak dari Washington yang kini berada di bawah pemerintahan Trump. Pidato Trump pada 11 Maret 2020 menyatakan, "Eropa telah gagal dalam membendung perpindahan manusia dari Tiongkok dan sekarang masyarakat Eropa telah membawa virus tersebut ke Amerika. Oleh karenanya, Amerika akan menangguhkan semua perjalanan dari Eropa ke Amerika."

Kalimat tersebut menyiratkan sikap hipernasionalis "America First" dari seorang pemimpin negara super-power. Pandemi Covid-19 dianggap seakan-akan sebagai serangan luar negeri bagi Amerika, sehingga ia juga adalah korban yang seharusnya ditanggung oleh si penyebar virus. Bahkan pada 15 April 2020, Washington juga menghentikan pendanaan untuk WHO.

Tiongkok sendiri sebenarnya sudah mendeklarasikan diri sebagai pemimpin global untuk memerangi pandemi. Ia juga menunjukkan manuver untuk melancarkan kebijakan luar negerinya dalam mempengaruhi tata kelola global. Dikutip dari Foreign Affairs, Tiongkok memberikan bantuan peralatan medis dalam jumlah masif seperti dua juta masker, 20 ribu APD, dan 50 ribu alat tes Covid ke Italia saat Uni Eropa sendiri kewalahan.

Untuk menggalang legitimasi sebagai pemimpin global, Tiongkok terlihat percaya diri dalam membentuk citra diri. Klaimnya, penyebaran Covid-19 di Wuhan telah menurun drastis berkat adanya kontrol pusat dan pendisiplinan nasional. Tiongkok lalu melakukan diplomasi kepada negara-negara Eropa Tengah dan Timur, anggota Organisasi Kerja Sama Shanghai dan negara-negara Pasifik untuk menyebarkan pengalaman best practice-nya untuk menekan jumlah penyebaran virus.

ADVERTISEMENT

Namun, kepemimpinan Tiongkok direspons dengan munculnya ketidakpercayaan dari masyarakat dunia. Penyebaran Covid-19 yang tak terkendali sekarang dianggap justru bermula dari kesalahan Tiongkok sendiri. Pemerintahan Xi Jinping tidak menerapkan peringatan dini dan transparansi terkait kemunculan virus. Tiongkok bahkan menghukum whistle blower yang mengabarkan adanya suspected Covid-19 ini.

Beijing juga membatasi akses WHO untuk secara langsung meninjau jumlah pasien terinfeksi dan kematian yang ada. Di masa mendatang bisa jadi muncul sentimen akibat adanya stereotip, mengingat Covid-19 juga bukan satu-satunya virus yang pertama kali muncul di Tiongkok. Masyarakat internasional tentu masih ingat dengan kemunculan SARS pada 2003.

Pemimpin Baru?

Tata kelola global membutuhkan otoritas dan juga power untuk menjamin keberlanjutannya. Power untuk menggerakkan koordinasi di level global memang tidak hanya dimunculkan oleh aktor negara, tetapi juga bisa dilakukan oleh aktor non-negara. Dalam menghadapi Covid-19, masyarakat sipil global telah berusaha bahu membahu melalui kerja sama antarorganisasi non-pemerintah hingga sektor bisnis.

Seperti misalnya Palang Merah Internasional yang mendapatkan dukungan untuk menghimpun dan menyebarkan tenaga medis di berbagai negara terdampak, salah satunya Italia. Namun, tetap saja dibutuhkan suatu otoritas terhadap sebuah sistem koordinasi yang terlegitimasi.

Tidak dipungkiri bahwa perhatian dunia saat ini mengarah pada Korea Selatan. Negeri Gingseng ini menunjukkan determinasi yang luar biasa dalam menyikapi penyebaran Covid-19. Koordinasi yang rapi disertai dengan transparansi nyatanya mampu menciptakan sinkronisasi yang bersifat vertikal. Pemberlakuan tes terhadap 270 ribu orang per satu juta penduduk menunjukkan kesigapan pemerintah. Hasilnya, Korea Selatan mampu memperlambat epidemi dan sama sekali tidak memberlakukan lockdown.

Sistem ini kemudian diakui efektif dan dipandang sebagai harapan serta role model di level internasional. Tidak heran, beberapa negara juga sudah menjalin komunikasi dengan Korea Selatan untuk bekerja sama mengatasi Covid-19, di antaranya adalah dua negara DK PBB, AS dan Prancis. Korea Selatan juga menawarkan kerja sama dengan Korea Utara demi menguatkan kerja sama regional.

Presiden Moon Jae-In menyebut komunikasi antarnegara tersebut dengan "Corona Diplomacy" dan mengedepankan TRUST (Transparency, Robust, Screening, and Quarantine, Unique but universally applicable, Strict Control and Treatment) untuk mempromosikan model respons Covid-19 global ala Korea Selatan. Pihaknya juga mendukung penuh terciptanya sebuah tata kelola kesehatan global. Hal ini ditandai dengan inisiatif Presiden Moon untuk menggelar pertemuan darurat G-20 melalui teleconference.

Sikap-sikap ini memang menyiratkan bahwa Korea Selatan berpotensi untuk menjadi pemimpin baru dalam tata kelola kesehatan global di tengah perang semesta melawan Covid-19. Namun, apakah Korea Selatan bersedia menjadi pemimpin baru? Perlu kita ingat, untuk menjalankan peran global leadership, sebuah negara tidak hanya diwajibkan untuk mampu, tetapi juga harus mau. Mau untuk berinisiatif, mau untuk berdedikasi, dan yang pasti mau menanggung persoalan global yang kompleks ini.

Vita Rudiany pengajar di Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pertamina

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads