Pandemi, Angsa Hitam, dan Imajinasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pandemi, Angsa Hitam, dan Imajinasi

Senin, 20 Apr 2020 14:22 WIB
Ramayda Akmal
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Corona
Jakarta -

Di kota Oran, Aljazair, pada suatu hari di bulan April, ribuan tikus muncul di tempat terbuka dan kemudian mati. Bangkai-bangkai berserakan membuat masyarakat panik. Berbagai pihak terutama media mendesak pemerintah segera bertindak dengan berita-berita yang menyulut kecemasan. Sebagai solusi cepat, bangkai-bangkai tikus pun dikremasi. Namun tidak berapa lama setelah kejadian itu, seorang pekerja dan beberapa orang lainnya meninggal karena demam.

Dokter Rieux, orang yang pertama mengobservasi kasus kematian ini meyakini korban-korban terserang penyakit pes. Ia kemudian meminta pemerintah dan pihak medis untuk beraksi menghadapi wabah ini, walau ia harus berhadapan dengan keengganan, penolakan, bahkan keraguan dari dirinya sendiri. Ketika kasus terus meluas dan situasi semakin mencekam, pemerintah pun tergesa-gesa mengambil keputusan untuk melakukan sanitasi dan karantina terhadap kota.

Situasi ini bukan tanpa dampak. Masyarakat merasa terpenjara dan yang lebih menakutkan, wabah ini memperbesar kesulitan dan kesedihan atas masalah-masalah pribadi yang telah lama berakar di kehidupan mereka. Dokter dan ilmuwan terus mencari jalan keluar, sementara para pemuka agama meratap memohon ampunan. Beberapa orang memilih melarikan diri dari karantina dan berkumpul dengan keluarga bagaimanapun kondisinya. Orang-orang yang lain justru memanfaatkan situasi, meraup keuntungan dan mengumpulkan kekayaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ini adalah cerita singkat dari novel La Peste karya Albert Camus (diterbitkan oleh YOI pada 2006 dengan judul Sampar). Novel ini diterbitkan pertama kali di Prancis pada 1947. Terlepas dari berbagai label yang diberikan kritikus terhadap novel ini sebagai novel filosofis atau novel bertema eksistensialisme, La Peste menawarkan kepada pembaca gambaran dan diskursus tentang wabah atau epidemi yang mengacaukan dan mengancam kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya.

Novel ini relevan sebagai analogi terhadap situasi dunia yang tengah dilanda pandemi Corona. Dan La Peste bukan satu-satunya karya. Sejak ratusan tahun silam, karya sastra yang bercerita tentang wabah, epidemi atau bahkan pandemi ditulis, baik yang bersumber dari peristiwa nyata maupun yang bersifat fantasi. Sebut saja A Journal of the Plague Year (1665) oleh Daniel Defoe atau yang sangat terkenal Love in the Time of Cholera (1985) karya GabrΓ­el Garcia MΓ‘rquez.

ADVERTISEMENT

Di ranah budaya populer, film, serial atau game seperti Contagion, World War Z, 28 Days Later, The Walking Dead, dan The Last of Us juga mengangkat tema-tema serupa dan telah ditonton atau dimainkan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Artinya, permasalahan apokaliptik-distopik terkait virus dan pandemi sebenarnya bukan lagi diskursus asing dalam masyarakat kita. Namun, Corona yang telah menjangkiti lebih dari 1,7 juta orang penduduk dunia menjadi isu global yang dianggap mengagetkan, melumpuhkan perekonomian dan aktivitas-aktivitas mendasar kehidupan manusia, menjadi situasi darurat yang seolah-olah tidak pernah diwacanakan dalam bentuk apapun sebelumnya.

Bukan Angsa Hitam

Selain terus merenggut korban jiwa dan menurunkan mental psikologis masyarakat, dampak ekonomi dan sosial yang mulai dirasakan karena Corona menyebabkan beberapa pemikir mengaitkan pandemi ini dengan fenomena "Black Swan", yakni peristiwa dalam skala besar yang tidak terprediksi dan luar biasa. Istilah yang dikembangkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya yang berjudul sama, Black Swan (2007), memiliki setidaknya tiga ciri utama, yakni terjadi di luar realitas rutin, membawa dampak yang ekstrem, dan seolah-olah -meskipun kenyataannya tidak-- bisa dijelaskan dan diprediksi berdasarkan analisis tertentu setelah peristiwa terjadi.

Asumsi ini sama sekali tidak mengacuhkan fakta telah begitu banyak produk kultural yang mengangkat dan mengantisipasi berbagai ancaman terhadap keberlangsungan hidup manusia, selain tentu saja temuan dan perkembangan di bidang saintifik yang dipastikan signifikan. Yang berbahaya kemudian, banyak pihak, terutama pengambil kebijakan meyakini dan menggunakan teori angsa hitam ini sebagai tameng. Mereka menganggap situasi ini sebagai luar biasa dan tidak terduga, sehingga mereka "bebas" menciptakan kebijakan atau mengambil keputusan yang justru semakin menenggelamkan masyarakat dalam kecemasan, ketidakpastian, dan bahkan kerugian.

Salah satu contoh yang masif diperbincangkan adalah kebijakan melakukan bail out pada korporasi besar di satu sisi dan pemutusan kerja bagi karyawan kelas bawah di sisi lain. Ini merupakan salah satu keputusan yang dianggap repulsif oleh banyak pemerhati ekonomi. Keputusan ini perlu diimbangi dengan bantuan pada masyarakat untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka. Logika keadaan luar biasa ini juga berpotensi memberikan ruang bagi pemerintahan yang otoriter menjadi lebih sewenang-wenang karena apapun kebijakannya menjadi normal dan harus diterima masyarakat mengingat situasi yang tak menentu.

Untuk menghadapi situasi yang demikian, yang paling mungkin kita lakukan adalah meningkatkan kesadaran. Ketidaksiapan dan kesalahpahaman menanggapi pandemi sebagai sesuatu yang luar biasa muncul karena tidak sadar dan mengabaikan peringatan dan tanda-tanda yang sudah ada di mana-mana, termasuk pada karya-karya imaginatif di atas. Kita tidak menganggap tanda-tanda yang begitu dekat ini sebagai sesuatu yang berfungsi dan signifikan.

Imajinasi dan fiksi yang menjadi bagian dari keseharian kita seakan-akan terletak di luar realitas sehingga tidak bisa menjadi sumber prediksi. Gagasan ini perlu diubah karena sastra dan karya imajinatif lainnya justru merupakan situs potensial dalam proses konstruksi realitas. Oleh karena itu, kita perlu menciptakan kesadaran akan fungsi dan dekatnya yang imajinatif dalam kehidupan sehari-hari kita dan memperhatikan karya-karya itu sebagai salah satu sumber kritik, prediksi, dan bahkan prophecy.

Imajinasi dan Realitas

Meskipun secara formal didefinisikan sebagai bentuk narasi yang bersifat imajiner, fiksi dalam berbagai kombinasi dan porsinya selalu memproyeksikan potongan-potongan realitas. Novel yang kita baca dan film yang kita tonton disusun dari persepsi terhadap realitas sehari-hari kita yang menghasilkan gambaran serupa atau sangat berbeda.

Lebih dari sekadar menjadi mimesis, produktivitas fiksi dalam menciptakan situasi yang imajiner dari potongan itu justru mampu untuk "meningkatkan" realitas melalui apa yang disebut oleh Paul RicΕ“ur sebagai iconic augmentation, situasi yang tercipta ketika fiksi mampu menampilkan fenomena-fenomena ekstra yang ikonik dan melampaui realitas sehari-hari. Kasus yang terjadi di film Contagion atau 28 Days Later membawa fenomena-fenomena tersebut sehingga jika dicermati lebih jauh kita bisa menjadikannya sebagai referensi. Iconic augmentation ini pada akhirnya memungkinkan kita bisa melihat dunia dengan cara berbeda.

Dengan kombinasi-kombinasi yang unik, karya-karya imajinatif ini tidak hanya menduplikasi realitas tetapi merekonstruksi sebuah dunia baru. Jika dunia baru itu kerap menampakkan diri di depan kita, maka kita menjadi terbiasa dan memiliki sensibilitas untuk mencerna berbagai kemungkinan baik yang sama sekali belum pernah ada atau tidak terpikirkan ada, maupun yang telah terjadi di masa lalu.

Fiksi memiliki kekuatan yang besar karena mampu menciptakan ruang yang tak terbatas untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan itu. Selanjutnya, fiksi akan meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran reflektif sehingga jika kemudian kita mendapati situasi serupa seperti pandemi Corona saat ini, kita lebih siap secara mental karena telah menyimpan berbagai alternatif bahkan simulasi dalam gudang pengalaman untuk menghadapinya.

Ramayda Akmal dosen di Fakultas Ilmu Budaya UGM; mahasiswa doktoral UniversitΓ€t Hamburg, Jerman

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads