Di tengah segala upaya yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat, TNI, Polri, dan masyarakat untuk mengatasi pandemi Covid-19, DPR malah memanfaatkan momen tersebut untuk melaksanakan pembahasan terhadap RUU Cipta Kerja. Keputusan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR, (2/4) yang salah satu agendanya adalah pembacaan surat presiden (Surpres), sebagai tanda permintaan pembahasan RUU dari pemerintah kepada DPR, yang sebelumnya telah dikirim bersamaan dengan draf RUU Cipta Kerja, (12/2).
Keputusan DPR tersebut tentunya mendapat kritikan keras karena dianggap tidak tepat momennya. Sesungguhnya banyak catatan terkait kekurangan RUU Cipta Kerja yang memerlukan aspirasi atau memperhatikan masukan dari berbagai pihak khususnya masyarakat, mengingat metode yang digunakan adalah Omnibus Law sehingga cukup rumit dan kompleks karena lintas sektoral dan kepentingan.
Rentan Korupsi Legislasi
Sejak proses penyusunan di pemerintah, RUU Cipta Kerja mendapat kritikan sebab draf RUU yang disusun tidak dipublikasi, sehingga hampir tidak ada ruang bagi publik untuk memberikan masukan atau pandangan dalam proses penyusunannya. Padahal menurut Pasal 88 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan penyebarluasan dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR sejak tahap perencanaan sampai pengundangan yang di dalamnya meliputi proses penyusunan RUU. Hal tersebut berguna untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.
Dengan jumlah 11 kluster dalam RUU Cipta Kerja --meliputi (1) Penyederhanaan perizinan tanah; (2) Persyaratan investasi; (3) Ketenagakerjaan (4) Kemudahan dan perlindungan UMKM; (5) Kemudahan berusaha; (6) Dukungan riset dan inovasi (7) Administrasi pemerintahan; (8) Pengenaan sanksi; (9) Pengendalian lahan; (10) Kemudahan proyek pemerintah; (11) Kawasan Ekonomi Khusus-- tentunya perlu partisipasi dan masukan publik yang cukup matang agar kelak begitu disahkan, undang-undang dapat langsung diimplementasikan dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat.
Pembahasan RUU yang strategis dan kompleks hendaknya dilakukan dalam situasi yang kondusif. Ditetapkannya status Kedaruratan Kesehatan Nasional dan diterapkannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai bentuk penanganan Covid-19 membuat ruang gerak partisipasi masyarakat terbatas dalam mengawal pembahasan RUU Cipta Kerja. Dalam kondisi tersebut besar kemungkinan tidak ada lagi advokasi berupa unjuk rasa atau demonstrasi sebab terhalang izin dan aturan. Realistisnya masyarakat hanya memiliki pilihan ruang advokasi melalui media sosial dan memanfaatkan internet.
Namun dengan kondisi sekarang ini, apakah advokasi atau penyampaian aspirasi melalui media sosial dan internet dalam mengawal pembahasan RUU Cipta Kerja cukup efektif untuk diperhatikan DPR? Kita perlu melihat bagaimana advokasi yang dilakukan terhadap Revisi UU KPK pada September 2019; berapa ratus ribu orang di seluruh Indonesia yang turun ke jalan dan bahkan sampai jatuh puluhan korban jiwa, aspirasi yang digaungkan untuk menolaknya tetap tidak dipertimbangkan oleh para pembuat undang-undang.
Pembahasan undang-undang yang tidak partisipatif merupakan salah satu indikator yang membuka ruang terjadinya korupsi legislasi. Publik khususnya mereka yang akan terdampak akibat keberlakuan RUU Cipta Kerja kesulitan menyampaikan aspirasi yang harusnya diakomodasi. Ketiadaan pengawasan oleh masyarakat yang efektif dan dirasa belum melibatkan masyarakat yang terdampak secara langsung membuat pembahasan RUU tersebut berpotensi untuk dimonopoli oleh "kelompok kepentingan tertentu".
Undang-undang yang dihasilkan dari proses tersebut kemungkinan besar akan menghasilkan produk hukum yang represif yang merugikan kepentingan masyarakat. Padahal sebagai negara demokratis produk hukum yang ideal adalah produk hukum berkarakter responsif yang berpihak pada masyarakat dalam membentuk undang-undang yang responsif salah satu syaratnya adalah partisipasi publik yang akomodatif.
Minimnya Sense of Crisis
Sebagai wakil rakyat seharusnya memiliki sense of crisis atau lebih peka dengan situasi sulit yang dihadapi masyarakat saat ini. Pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19 adalah bentuk sikap tidak etis dan egois DPR.
Sah-sah saja DPR menjalankan fungsi legislasinya, namun alangkah lebih baik RUU yang dibahas bukan RUU yang kontroversial. Memang tidak dapat dipungkiri, dari berbagai kajian substansi RUU Cipta Kerja banyak yang bermasalah dan berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat serta lingkungan. Menunda pembahasan RUU Cipta Kerja sampai pandemi berakhir dengan mencabutnya dari Prolegnas Prioritas 2020 serta pembahasan RUU Cipta Kerja pasca pandemi yang harus lebih mengakomodasi partisipasi publik adalah langkah bijak yang idealnya diambil DPR.
Pandemi Covid-19 benar-benar menempatkan kita dalam situasi yang sulit, namun setiap elemen bangsa punya kewajiban masing-masing untuk bergotong royong menyelesaikannya. Kita dapat melihat sesama masyarakat saling membantu agar bisa bangkit dari keterpurukan ini. Keberadaan dan kepedulian civil society setidaknya mampu membantu mereka yang belum dipenuhi hak-haknya oleh negara. Langkah suportif inilah yang sepatutnya dicontoh oleh DPR.
Seharusnya pada masa sidang ketiga 2019-2020 sekarang ini, DPR lebih mendukung agenda penanganan Covid-19 di antaranya menyumbangkan sebagian gaji mereka untuk masyarakat terdampak, memfasilitasi pengaduan konstituen masing-masing atau masyarakat secara luas terkait penanganan corona oleh pemerintah, sebab di banyak daerah pelayanan kesehatan masih belum maksimal. Kemudian DPR bisa memaksimalkan dan memprioritaskan fungsi pengawasan dan anggaran untuk mendorong pemerintah melaksanakan undang-undang dengan baik dan mengambil kebijakan secara tepat serta bertanggung jawab guna percepatan penanganan Covid-19.
Fahmi Ramadhan Firdaus peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember, mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini