Saling Ngotot Soal Omnibus Law

Kolom Kang Hasan

Saling Ngotot Soal Omnibus Law

Hasanudin Abdurakhman - detikNews
Senin, 20 Apr 2020 11:28 WIB
kang hasan
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana melakukan aksi demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Rencana itu sebagai reaksi atas sikap DPR yang masih terus membahas RUU tersebut di tengah keadaan darurat bencana akibat penyebaran infeksi Covid-19.

RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law adalah paket revisi sejumlah UU yang terkait dengan investasi. Menurut pemerintah sebagai pengusul RUU, pada berbagai undang-undang yang ada selama ini terdapat banyak hal yang dapat menghambat investasi, dan karena itu harus diubah. Salah satu yang hendak diubah adalah berbagai pasal dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam undang-undang tersebut para pekerja sangat kuat posisinya. Perusahaan harus mengikat mereka sebagai karyawan tetap, mereka nyaris tidak bisa dipecat. Saat karyawan pensiun, dipecat, atau mengundurkan diri, ada sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh perusahaan, yang jumlahnya tidak kecil. Itu masih ditambah lagi dengan aturan tentang upah minimum yang besarnya terus meningkat setiap tahun.

Hal-hal itu dianggap memberatkan pengusaha, khususnya bagi perusahaan-perusahaan asing. Akibat kondisi perburuhan yang dianggap tidak mendukung investasi itu, Indonesia dikhawatirkan akan kalah bersaing dalam memperebutkan investasi di antara negara-negara Asia Tenggara. Saingan kita antara lain adalah Thailand dan Vietnam.

Bagi pekerja usulan perubahan ini dianggap merugikan mereka. Karena itu organisasi serikat pekerja paling keras menentang RUU ini. Kekacauan akibat Covid-19 sepertinya dianggap sebagai "berkah" bagi fraksi-fraksi pendukung pemerintah di DPR. Dengan segenap perhatian tertuju pada penanganan Covid-19, ditambah larangan berkumpul, mereka merasa tidak ada pihak yang bisa mengganggu pembahasan RUU tadi. Inilah yang ingin dilawan KSPI.

Perlukah pembahasan RUU ini dilanjutkan? RUU ini disusun, tentu saja, jauh sebelum kisruh Covid-19 ini ada. Jangankan ada, dibayangkan pun tidak saat RUU ini disusun. Para politikus di DPR sepertinya tidak paham situasi yang sedang berlangsung saat ini.

Covid-19 bukan sekadar pandemi, dalam arti penyebaran penyakit. Wabah ini boleh jadi akan mengubah wajah dunia secara total, termasuk wajah perekonomian. Kita sedang dalam situasi yang serba tak pasti. Tak pasti kapan wabah ini akan berakhir, dan bagaimana akan berakhir. Ada kemungkinan situasi seperti ini akan berkepanjangan sampai 2021 atau 2022.

Kalau itu terjadi, apa yang akan berubah? Segala sesuatu akan berubah secara drastis. Akan banyak industri yang gulung tikar. Investasi yang kita harapkan masuk boleh jadi tidak akan masuk selama 3-4 tahun ke depan. Ada banyak hal lain yang mungkin terjadi, dan belum bisa kita ramalkan saat ini. Kalau RUU itu dipaksakan dibahas, saat jadi undang-undang, boleh jadi akan sangat banyak pasalnya yang tak lagi relevan dengan situasi baru kelak. Artinya, undang-undang itu menjadi peraturan yang sia-sia.

Lebih penting dari itu, situasi sekarang seharusnya dijadikan titik balik bagi strategi industrialisasi kita. Sebenarnya apa yang mau dituju pemerintah? Yang selama ini terlihat, termasuk dari semangat RUU ini, adalah keinginan untuk memperbanyak serapan tenaga kerja. Ringkasnya, undang investor sebanyak mungkin, kalau banyak investasi akan banyak lapangan kerja yang terbuka. Investasi dalam hal ini adalah investasi asing.

Kita seperti sedang menyiapkan diri untuk menjadi bangsa pekerja. Para pemodal asing datang ke negeri ini, berinvestasi, dan kita siap untuk bekerja pada mereka sebagai buruh. Pemerintah tidak menunjukkan adanya strategi membangun industri sendiri berdasarkan kebutuhan nasional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dulu undangan terhadap investasi asing diiringi dengan mimpi bahwa lambat laun akan terjadi alih teknologi. Tapi faktanya, setelah 40 tahun lebih membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing, kita tetap tidak punya teknologi yang bisa diandalkan untuk kepentingan nasional kita.

Sementara itu, sektor pertanian yang seharusnya jadi andalan kita terbengkalai karena kita silau dengan sektor industri. Ketahanan pangan kita rapuh. Makanan pokok kita hampir semua diimpor. Orang-orang yang seharusnya bekerja di sektor pertanian tersedot menjadi kaum urban, bekerja menjadi buruh di pabrik-pabrik.

Situasi saat ini mempertegas kenyataan bahwa urbanisasi adalah salah satu masalah besar kita. Kegiatan ekonomi terpusat di kota, lalu ekonomi kita menjadi sangat rapuh ketika kota lumpuh. Para pekerja urban yang menganggur mendadak, jadi ingin pulang kampung, memicu masalah baru lagi.

Seharusnya situasi ini dipakai untuk memikirkan rancang ulang strategi pembangunan kita. Apakah kita akan terus mengandalkan investasi asing dan menjadikan diri kita sebagai bangsa pekerja? Tidakkah sebaiknya kita justru membangun ekonomi dengan memperkuat kemampuan kita sendiri dengan pertanian dan industri kecil? Ini yang seharusnya dipikirkan oleh para politikus di DPR sana.

Sementara itu para pekerja kita juga hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri. Upah minimum yang terus dipaksakan kenaikannya selama 10 tahun terakhir telah membuat iklim usaha jadi makin lesu. Banyak industri yang tak sanggup lagi hidup. Industri tekstil dan garmen, misalnya, sudah tak sanggup lagi hidup di Jabodetabek dan Jawa Barat. Pilihan bagi mereka adalah pindah ke Jawa Tengah, atau ke negara lain.

Industri yang terpaksa bertahan, memilih cara lain, yaitu melakukan otomasi, mengganti tenaga kerja dengan mesin-mesin. Situasi ini tampaknya tak kunjung disadari oleh para pegiat di organisasi pekerja. Bagi mereka kalau berhasil menekan pemerintah untuk mengatur perusahaan agar menuruti keinginan mereka, maka itu adalah sebuah kemenangan.

Situasi industri kita sudah buruk sebelum adanya Covid-19. Setelah ini mungkin kita akan tambah buruk. Sektor industri selama ini sebenarnya hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Para pekerja kita yang bekerja di sektor informal sebenarnya jauh lebih banyak. Para pekerja itu tak pernah dianggap segolongan oleh para elite organisasi pekerja.

ADVERTISEMENT

Setelah semua ini berlalu, mungkin akan lebih banyak lagi orang yang terpaksa keluar dari sektor industri formal menuju sektor informal. Dalam situasi itu para elite organisasi pekerja tetap mempertahankan pola pikir mereka yang lama.

Kedua pihak, sadarlah bahwa yang sedang Anda pikirkan sekarang boleh jadi tak lagi berlaku dalam dua-tiga bulan ke depan!

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads