Berdasarkan data tersebut tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) virus corona di Indonesia sebesar 8,50 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari tingkat kematian dunia yakni 5,98 persen. Tanpa bermaksud membuat panik, seluruh elemen masyarakat seharusnya patuh pada protokol pencegahan penyebaran virus corona. Meski realitanya masih ada saja pihak yang enggan menaati bahkan menyepelekan protokol pencegahan dengan alasan yang sulit diterima akal sehat.
Nalar agama bahkan karap digunakan untuk menuduh pihak tertentu sebagai dalang di balik penyebaran virus corona. Mereka beranggapan virus corona hanyalah konspirasi untuk menjauhkan manusia dengan Tuhan. Kondisi ini turut memperkeruh suasana sehingga masyarakat di akar rumput menjadi cemas dan resah.
Penolakan
Di tengah perdebatan kontraproduktif itu, fenomena stigmatisasi semakin menguat sampai pada titik yang menyedihkan. Misalnya peristiwa penolakan terhadap dokter dan perawat pasien virus corona oleh tetangga di lingkungan domisili tinggal mereka di Jakarta Timur. Kemudian hal yang sama dialami oleh keluarga dari pasien positif corona asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Sejak dinyatakan positif, banyak penyematan negatif sampai ke telinga mereka, mulai dari keluarga sarang virus hingga pembawa aib.
Tidak hanya cibiran yang menyesakkan, sikap paranoid berlebih juga tergambar dari penolakan pemakaman jenazah positif corona yang terjadi di sejumlah daerah. Di Banyumas, Jawa Tengah warga menunjukkan penolakan dengan melempar batu. Sementara di Lampung, warga sekitar pemakaman memasang spanduk penolakan berukuran besar di lokasi pemakaman. Begitu juga yang terjadi di Gowa, penolakan warga berakhir dengan kericuhan.
Perlakukan tidak etis juga saya alami sendiri saat pulang dari Surabaya beberapa waktu lalu. Sebagai orang yang baru saja berpergian dari zona merah dengan jumlah pasien virus corona terbanyak di Jawa Timur, saya dianggap orang yang perlu diwaspadai. Beberapa teman tiba-tiba menjauh bahkan menolak bertemu disertai kalimat sinis dan menyudutkan.
Sikap menghindar sebagian masyarakat sebetulnya bisa dipahami sebagai hal yang wajar karena khawatir, panik, atau takut. Namun jika sudah berlebihan, pada titik tertentu justru bisa melahirkan masalah baru yang lebih besar. Bayangkan apabila mereka yang memiliki gejala terinfeksi corona menyembunyikan sakitnya agar tidak dikucilkan, enggan mencari bantuan kesehatan, dan tidak menjalankan perilaku hidup yang sehat. Alih-alih menahan, penularan virus semakin tidak terkendali.
Sebaliknya, saudara kita yang menjadi ODP, PDP, dan pasien positif corona perlu didukung untuk sembuh. Terutama dari orang-orang terdekat seperti keluarga dan tetangga sekitar. Dukungan sekecil apapun akan memberi rasa aman dan nyaman sehingga mempercepat proses pemulihan.
Tentu saja dukungan tersebut harus tetap memperhatikan protokol yang dianjurkan pemerintah. Fungsi edukasi-sosialisasi dari pemerintah dari tingkat pusat hingga desa dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat memiliki peran signifikan untuk mengikis stigma. Masyarakat perlu paham bahwa selama bisa melakukan physical distancing atau menjaga jarak, menggunakan masker, rutin mencuci tangan, dan nutrisi makanan terpenuhi maka sudah cukup aman dari risiko tertular virus corona.
Sementara untuk jenazah pasien positif corona, sebelum tim medis memakamkan dipastikan diurus sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
Alternatif
Stigma selalu berkaitan dengan komunikasi. Layaknya dua bilah mata pisau, komunikasi berperan dalam proses konstruksi makna dan penyebaran stigma. Namun di sisi lain komunikasi juga dapat menjadi alternatif solusi untuk meredam stigma. Smith (2012) menjelaskan, stigma awalnya terbentuk dari tanda atau simbol yang diasosiasikan dengan makna tertentu.
Mereka yang positif terinfeksi virus corona ditandai dengan gejala khusus dan diwajibkan untuk melaporkan diri ke rumah sakit terdekat. Karakter virus corona yang sangat mudah tersebar membuat masyarakat mengambil sikap waspada. Namun pada perkembangannya ada pihak yang berusaha mengaitkan pasien corona dengan hal-hal negatif seperti akibat azab sehingga pemakamannya tidak boleh dihadiri banyak orang atau sarang penyakit sehingga dikucilkan.
Bagai bola salju, anggapan negatif mengenai pasien corona terus bergulir dan menjadi opini di masyarakat. Kondisi ini semakin sulit dibendung dengan banyaknya konten senada yang viral di media sosial. Meski tidak ada kesepakatan secara formal, namun alam bawah sadar masyarakat seakan turut mengamini dan disepakati publik. Apalagi belum ada langkah klarifikasi masif dari pihak yang berwenang.
Untuk meredam stigma, Brashers (2008) mengajukan komunikasi yang lebih humanis dan manusiawi yakni melalui ruang dialog. Dengan membangun dialog, maka akan membuka komunikasi dua arah. Poin penting dari dialog ini adalah usaha untuk memposisikan diri sekaligus merasakan apa yang selama ini dikeluhkan pasien positif corona. Ketika proses ini dilakukan secara bersama dengan penuh kesadaran, maka akan muncul rasa empati dan solidaritas.
Gelombang energi positif tersebut menjadi suntikan moril yang akan membantu banyak pasien positif corona untuk sembuh. Sebagai penutup, saya ingin meneruskan pesan penting Presiden Jokowi dalam sebuah video resmi istana tentang optimisme dan sikap bijak menghadapi virus corona. Harapannya bisa menstimulasi kesadaran bersama untuk saling mendukung dan menguatkan.
"Tidak perlu takut secara berlebihan dengan virus corona. Karena menurut data yang saya terima sebanyak 94 persen pasien positif corona dapat disembuhkan. Jadi sebetulnya musuh terbesar kita saat ini bukan virus itu sendiri, tapi rasa cemas, panik, takut, berita hoaks serta rumor. Kita harus yakin dengan fakta, informasi, solidaritas bersama, dan gotong royong."
Lukman Hakim dosen Komunikasi dan tim Satgas Pencegahan Covid-19 IAIN Kediri
(mmu/mmu)