Pandemi Covid-19 telah membuat hampir seluruh kampus close down sejak pertengahan Maret 2020. Baru kali ini kampus benar-benar menghadapi ketidakpastian. Kondisi inilah yang membuat insan kampus berpikir keras untuk bisa beradaptasi dengan ketidakpastian. Ternyata kampus pun juga dituntut untuk berusaha melakukan mitigasi ketidakpastian ini. Adaptasi dan mitigasi seperti apa yang bisa dilakukan kampus?
Pertama, adaptasi perkuliahan gaya baru. Kini kuliah daring menjadi keniscayaan. Pada saat wacana pembelajaran daring didorong sebagai respons Revolusi Industri 4.0, banyak pihak menentang. Padahal waktu itu alasannya sebagai salah satu bentuk fleksibilitas sesuai perilaku kaum milenial.
Harus diakui bahwa fleksibilitas adalah jawaban atas ketidakpastian sebagaimana VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexcity, dan Ambiguity). Namun kini dosen dan mahasiswa "dipaksa" keadaan untuk terbiasa dengan pola pembelajaran baru. Jadi, pola perkuliahan 4.0 akhirnya terwujud dan ternyata yang memaksa adalah Covid-19.
Namun demikian persoalan yang muncul adalah kesiapan dosen menyiapkan materi daring, dan kesiapan mahasiswa menyiapkan kuota internet. Dosen dalam waktu 1-2 minggu harus menyiapkan materi daring untuk seluruh sisa pertemuan, dan bukan sekadar mendaringkan materi kuliah konvensional. Tentu tantangannya juga bukan sekadar pelaksanaan kuliah daring, tetapi bagaimana bisa menjamin ketercapaian learning outcome suatu mata kuliah dalam suasana darurat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun bagi mahasiswa, ternyata isu ini direspons secara beragam tergantung latar belakang ekonomi keluarganya. Secara umum mahasiswa keberatan kalau kuliah daring terus menerus dilakukan secara synchronous melalui video conference karena metode ini menggerus kuota internet mahasiswa. IPB misalnya, akhirnya mengambil kebijakan memberikan bantuan kuota internet bagi mahasiswa agar kuliah berjalan lancar.
Bagi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTNBH) dan PT swasta, upaya ini relatif mudah dilakukan karena memiliki otonomi pengelolaan keuangan. Tetapi bagi PTN Satker, ternyata ada komplikasi tersendiri karena secara aturan keuangan agak sulit pertanggungjawaban administrasinya. Di sinilah peran pemerintah ditunggu untuk memecahkan problem PTN Satker yang memang tidak sefleksibel PTNBHN.
Beberapa provider sebenarnya juga sudah membantu penyediaan kuota gratis, namun tentunya ada syarat dan ketentuan berlaku serta saat ini belum menyeluruh untuk seluruh PT di Indonesia. Masifnya kuliah online juga mengharuskan PT berinvestasi lebih banyak pada infrastruktur penunjang serta melakukan pelatihan bagi dosen dan tenaga kependidikan dalam pengembangan materi ajar dan penyampaiannya secara online.
Kedua, adaptasi fleksibilitas kerja. Bekerja dari rumah atau work from home (WFH) adalah kebiasaan baru. Beberapa perusahaan multinasional sebenarnya sudah lama menerapkan prinsip fleksibilitas dalam waktu dan tempat bekerja. Yang penting output pekerjaan terukur. Bagi kampus, tentu tidak mudah beradaptasi dengan fleksibilitas, khususnya pengukuran kinerja pegawai.
Dalam kondisi bekerja konvensional pun kampus masih kesulitan menerapkan prinsip pengukuran kinerja, kecuali untuk dosen yang memang ouput-nya lebih mudah diukur. Karena itu dalam kondisi darurat seperti ini, maka untuk sementara insentif pegawai akhirnya "disamaratakan" bukan lagi berbasis kinerja.
Namun demikian, sebenarnya kondisi darurat ini dapat menjadi momentum pembelajaran tentang efektivitas dari fleksibilitas kerja dan pengukuran kinerjanya. Tentu ini penting kalau kampus benar-benar ingin bertransformasi menjadi organisasi modern yang adaptif dengan VUCA yang sangat memerlukan fleksibiltas dan kelincahan.
Ketiga, adaptasi sosial ekonomi. Terjadi kegelisahan kolektif karena informasi di media sosial yang semakin masif tentang bahaya penyakit ini sekaligus kegelisahan akibat memburuknya ekonomi. Kegelisahan sosial disambut dengan berbagai informasi baru yang melegakan tentang berbagai cara pencegahan. Inilah terjadi pembelajaran massa yang luar biasa karena orang semakin melek terhadap dunia kesehatan dan pentingnya pola hidup sehat.
Banyak akademisi yang kemudian muncul dengan informasi baru tentang jenis makanan untuk daya tahan tubuh, waktu tepat berjemur pagi hari, hingga tips-tips psikologis lainnya. Intinya, semua orang menjadi pembelajar karena keingintahuan seputar Covid-19, pencegahan, dan penanggulangannya. Begitu pula relawan-relawan kampus bermunculan untuk membantu penanggulangan wabah ini.
Namun demikian pada saat yang sama kegelisahan kolektif muncul akibat sebagian kelompok masyarakat terkena dampak ekonomi, khususnya para pedagang, ojol, dan sektor informal lainnya. Masyarakat pun merespons dengan pergerakan masif pemberian bantuan melalui crowd funding, bantuan tunai, sembako, dan obat-obatan. Kepedulian kolektif ini merupakan modal sosial yang harus terus diperkuat agar ketahanan sosial menguat, dan ini adalah obat sosial yang mujarab menghadapi Covid-19.
Saatnya kampus bergerak dengan cara masing-masing untuk mengurangi beban ekonomi kelompok ekonomi rentan. Momentum ini juga harus dimanfaatkan oleh kampus bukan hanya untuk mendidik entrepreneur, tetapi juga sociopreneur.
Keempat, inovasi adaptasi dan mitigasi. Melihat kegelisahan sosial ekonomi di atas, adalah tugas kampus tidak hanya membantu mendidik masyarakat dengan informasi-informasi penting, tetapi juga bagaimana harus muncul gagasan inovasi baru pemberi solusi, baik inovasi untuk adaptasi maupun inovasi untuk mitigasi. Inovasi untuk adaptasi mulai berkembang, seperti inovasi disinfektan alami, alat pelindung diri, atau robot untuk melayani pasien.
Dalam mitigasi, ilmuwan dunia berlomba-lomba menemukan vaksin. Dulu, IPB mengembangkan vaksin flu burung dan tentu kini juga ditantang untuk menemukan vaksin Covid-19. Riset tidak semua bermuara pada produk inovasi, tetapi juga rekomendasi kebijakan.
Keempat langkah kampus tersebut di atas minimal diperlukan kampus untuk merespon ketidakpastian baru ini. Kampus dituntut untuk memberi contoh bagaimana harus beradaptasi dengan ketidakpastian.
Arif Satria Rektor IPB