Kabar-Kabar Baik di Musim Corona
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Kabar-Kabar Baik di Musim Corona

Selasa, 14 Apr 2020 16:35 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kolomnis - Iqbal Aji Daryono (Ilustrator: Edi Wahyono/detikcom)
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta -

Gara-gara harus meringkuk di dalam rumah selama sebulan lebih, banyak orang kini lebih rajin membaca buku. Saya sendiri yang sebenarnya tidak punya ketelatenan tinggi dalam membaca pun tiba-tiba sadar, dalam sebulan terakhir buku yang saya baca jauh lebih banyak daripada bulan-bulan sebelumnya.

Di lini masa media sosial tiba-tiba banyak orang menceritakan buku-buku yang mereka baca. Foto-foto dipajang, menampilkan buku-buku yang bersebelahan dengan kopi atau lumpia. Saya menjumpai seorang kawan mulai membagi videonya sendiri saat membedah tuntas sebuah buku bagus. Dan di sudut sana, kawan saya yang lain memamerkan betapa dagangan bukunya laris manis.

Pada hari-hari awal ketika seruan social distancing disebarkan, soal buku ini memunculkan pembacaan berujung pesimisme di kalangan pekerja buku. "Kami duga awalnya orang-orang akan bosan di rumah saja, dan buku-buku menjadi salah satu pilihan pelariannya. Tapi situasi tidak sesederhana itu. Meski bosan di rumah, ada pergerakan ekonomi yang berhenti. Daya beli menurun drastis. Akhirnya ya sama saja, tak ada orang membeli buku." Begitu cerita seorang kawan dengan suara lemas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, setelah sebulan lewat, entah kenapa situasi berubah lagi. Kemarin siang saya bertemu kawan saya lainnya lagi di aplikasi Zoom, panggil saja dia Agus. Agus punya toko buku online yang cukup terkenal, sebut saja namanya Akal Buku. Agus bercerita, di masa normal dia bisa menjual 15 sampai 20 eksemplar dalam sehari. Tapi gara-gara corona, orderan per hari tinggal 2 biji!

"Tapi itu bulan lalu. Entah kenapa sekarang semua pulih lagi. Aku sendiri juga kaget. Alhamdulillaaah," Agus bercerita, tentu dengan ekspresi wajah dan suara yang sangat ceria.

ADVERTISEMENT

Buku-buku secara mendadak menjadi tempat "kembali". Kita sudah terlalu lama meninggalkan buku-buku, dan sibuk dengan cecaran informasi yang berentetan tanpa henti. Sebelumnya buku-buku memang tetap laris, tapi mentok menjadi barang koleksi. Sangat sering saya mendengar teman menangisi waktunya yang tak lagi ada untuk buku-buku. Buku-buku masih tersegel plastik meski sudah dua tahun lebih dibeli, tapi imajinasi intelektual masih terus dipupuk sehingga orang tetap membeli buku-buku, dengan rencana membaca yang entah kapan terwujudnya.

Sekarang, jam demi jam kita jalani dengan lebih hening, lebih lambat, namun juga lebih kontemplatif. Buku-buku mewakili atmosfer itu. Tentu karena semuanya berpadu dengan minimnya aktivitas, efisiensi waktu karena tak ada lagi kegiatan merayap berjam-jam menembus kemacetan, berpadu pula dengan media sosial yang dari sana citra buku-buku tersebar dengan lebih menggairahkan, dan tentu saja layanan toko online dan jasa pengiriman yang masih berjalan.

Jadi jangan kaget kalau selepas musim corona nanti, entah kapan itu, ada peningkatan kecerdasan kolektif bangsa Indonesia secara sangat signifikan. Hahaha! Ngarep boleh saja kan?

***

Saya mungkin terdengar terlalu optimistis dengan apa yang saya ceritakan barusan. Tapi memang hari ini saya ingin bercerita yang baik-baik saja.

Kemarin, ada seorang kawan lama mengirim pesan kepada saya agar menyudahi tulisan-tulisan bernada getir dan penuh keluh kesah. Dia bilang, "Iya kalau kamu sendiri mungkin nggak papa, Bal. Tapi ingat, karakter orang beda-beda, fondasi dan masalah kejiwaan orang juga berbeda-beda. Bagi orang-orang macam kamu, keluhan itu bisa jadi nggak ngaruh apa-apa. Tapi buat yang sudah depresi, kalau mendengar keluhanmu mereka bakalan tambah depresi, dan bisa-bisa putus asa lalu bun... ah, semoga enggak."

Deg! Saya kaget juga. Lalu sedikit-banyak membenarkan perkataan teman saya.

Maka, hari ini saya memulai dengan bercerita tentang buku-buku. Cukup indah bukan, cerita saya? Dan itu baru tentang buku-buku. Sementara, saya masih punya banyak cerita lain yang tidak melulu mengundang pilu.

Tentang aplikasi-aplikasi meeting seperti Zoom, Google Hangout, UMeetMe, dan Lite Big, misalnya. Jangan dikira itu hanya soal teknis. Hari ini, aplikasi jenis itu sudah menjadi fenomena spesifik. Sudah ada ideologi, bahkan spiritualitas di sana.

Bayangkan saja. Kemarin-kemarin, kita memang sudah bermain medsos. Interaksi kita via medsos sudah mencapai segenap kolega dan handai tolan yang terpaut jarak begitu jauh. Kadang malah kita lengkapi lagi semuanya dengan grup Whatsapp.

Tapi, apakah Anda juga merasakan bedanya ketika Zoom dan kawan-kawannya tiba, lantas kita bisa berkumpul dalam jumlah banyak, saling melihat wajah satu sama lain, saling mendengar suara satu sama lain, dan dengan sangat meyakinkan mekanisme tersebut telah membawa kita bergeser dari karakter psikologis medsos dan grup Whatsapp?

Salah satu hal yang dikritik dari pola interaksi di medsos adalah impersonalitas. Kita melihat kawan-kawan medsos kita hanya sebagai akun. Kadang kita sendiri pun seolah lupa bahwa kita manusia, sebab ketika kita bergerak di medsos kita memosisikan diri cuma sebagai akun, bukan sebagai manusia.

Tak heran, di medsos kita bisa dengan ganas mencela orang, membacot-bacotkan orang, sampai kadang kita heran sendiri karena di "dunia analog" kita ini sama sekali tidak seperti citra personal yang tampil di medsos.

Semua itu dilengkapi lagi dengan muslihat aneka rupa aplikasi edit foto, yang membuat kita bisa memajang diri dalam performa paling tidak masuk akal, mulai dari sudut pengambilan gambar hingga kemulusan kulit wajah. Kita adalah akun di medsos. Kita adalah bidak-bidak palsu di medsos.

Tetapi, aplikasi meeting bicara lain. Kita tak lagi bisa tampil sepenuhnya dalam citra-citra palsu kita, atau dalam ekspresi-ekspresi yang tanpa peduli pagar-pagar sosial sebagaimana biasanya kita jalankan di medsos.

Di aplikasi meeting, yang dibarengi dengan maraknya orang menggunakan fitur siaran langsung di Facebook maupun Instagram, kita pelan-pelan melawan impersonalitas. Kita mau tak mau mesti tampil apa adanya, dengan senyum dan tawa yang tak bisa dipoles via aplikasi edit video, dengan nada suara yang tak bisa kita siasati dengan emoticon atau sekadar ketikan huruf "wkwkwk".

Ini tampaknya sepele, tapi diam-diam menjadi sebuah lompatan besar. Dan tanpa Covid-19, kita tak akan segera sampai di titik ini. Kesempatan perjumpaan yang tidak lagi fleksibel, acara-acara yang tak lagi boleh mengumpulkan orang dalam jumlah besar, telah membawa kita kepada sedikit upaya melawan kepalsuan media sosial.

Ya, sedikit saja, memang. Sebab ketika saya harus bergabung dalam sebuah forum Zoom, atau diwawancarai seorang seleb Youtube lewat IG Live, toh saya tetap tidak merasa penting untuk mandi dulu, apalagi pakai minyak wangi.

***

Dua dimensi yang saya ceritakan tadi masih sebatas urusan kita dengan produk-produk teknologi yang menjadi alternatif aktivitas kita selama musim corona. Masih ada sekian kabar positif lainnya. Termasuk bagaimana kita dipaksa oleh situasi, dan oleh kebijakan dunia pendidikan, agar menjadi guru dadakan di rumah-rumah kita sendiri.

Anda boleh saja mengeluh. Potensi kericuhan di rumah akibat minimnya pengalaman kita dalam mengajar memang lumayan besar. Saya dan istri pun berkali-kali harus ribut dengan anak kami sendiri, karena proses belajar bersama tanpa kehadiran gurunya yang asli.

Ini seringkali tak gampang. Tapi kita tiba-tiba jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak kita sendiri, dengan keluarga kita sendiri, padahal sebelumnya kita ketemu anak-anak kita hanya di akhir pekan atau di malam hari. Bukankah itu seindah-indahnya keadaan?

Dari prediksi para ahli yang saya simak (meski sering tanpa mengerti), kondisi ini masih akan berlangsung hingga berbulan-bulan ke depan. Dengan waktu sepanjang itu, kita akan membentuk normalitas yang baru, yang berbeda, yang dalam banyak sisi akan lain sama sekali dengan apa yang telah bertahun-tahun sebelumnya kita jalani.

Setelah ini, kita akan membentuk pola interaksi yang sama sekali baru, norma komunikasi yang juga baru, corak kedekatan interpersonal yang juga baru. Entah bagaimana wujudnya, saya juga belum tahu. Yang jelas, kita tak akan mudah untuk kembali seperti sedia kala. Bisa jadi itu bermakna negatif, tapi melihat buku-buku, terkikisnya impersonalitas, dan terbangunnya kembali kedekatan keluarga, saya kira ada banyak hal positif di sana.

***

"Lho, tapi apa yang kamu ceritakan itu kan sangat terbatas di kalangan kelas menengah? Bagaimana dengan mereka yang tidak punya alokasi anggaran untuk buku-buku, tidak punya paket data internet sebesar punyamu, dan karena itu juga tidak bisa belajar dengan sistem online bersama anak-anak mereka?"

Iya, iya, saya sangat sadar itu. Tapi kan tugas saya hari ini memang bercerita yang positif-positif. Kalau mau dilebar-lebarkan lagi, nanti ujungnya yang negatif lagi yang kelihatan. Terus saya salah lagi....

Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads