Wabah Corona dan "Telecommuting"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Wabah Corona dan "Telecommuting"

Rabu, 08 Apr 2020 16:00 WIB
Irwanda Wisnu Wardhana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi kerja dari rumah
Ilustrasi: Denny/Tim Infografis
Jakarta -
Pada 1980, Alvin Toffler telah memprediksi bahwa manusia akan bekerja secara default dari rumah dalam bentuk telecommuting dalam bukunya yang berjudul The Third Wave. Sebagai futurolog, dia menjelaskan kondisi rumah tangga yang dilengkapi dengan mesin-mesin canggih. Akhirnya pekerja tidak perlu datang secara fisik ke kantor atau pabrik, melainkan cukup melaksanakan tugas di rumahnya masing-masing.

Empat puluh tahun kemudian, pada 2020, ramalan Alvin Toffler tersebut terbukti dengan diterapkannya sistem bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Miliaran manusia di ratusan negara melaksanakan tugas-tugas rutinnya dari rumah mereka. Para pekerja berdiam diri di rumah, tidak ada mobilitas pergi dan pulang antara rumah dan kantor atau pabrik. Bahkan para pelajar dan mahasiswa pun mengikuti pola tersebut dengan melaksanakan proses belajar dan perkuliahan dari rumah.

Sayangnya, transformasi cara bekerja manusia tersebut terjadi bukan karena didorong oleh era industrialisasi yang telah mencapai puncaknya. Praktik telecommuting atau WFH diadopsi secara massal karena ancaman Covid-19 (Coronavirus disease 2019). Bekerja dari rumah diterapkan sebagai pilihan taktik untuk mencegah penularan penyakit dalam bentuk kegiatan karantina diri dan social distancing.

Relatif Sama


Kalau kita amati, selama ratusan tahun yang lalu sampai dengan awal 2020, kita belum pernah mengalami perubahan yang revolusioner dalam metode bekerja. Sejak dimulainya Revolusi Industri Pertama pada pertengahan abad ke-18 sampai dengan memasuki Revolusi Industri Keempat yang sekarang sedang berlangsung, metode bekerja relatif sama.

Walaupun beberapa perusahaan dan organisasi telah menerapkan remote working dari rumah, namun telecommuting belum menjadi metode bekerja yang umum. Para pekerja tetap melakukan ritual komuter selama hari kerja dengan melakukan perjalanan pulang dan pergi dari rumah menuju tempat kerja. Hanya mesin kerja dan moda transportasi yang berubah semakin canggih.

Sebagai ilustrasi nyata, perbedaan antara kita dengan kakek kita dalam bekerja adalah bahwa kita memiliki komputer sedangkan kakek kita menggunakan mesin ketik. Jika kita dapat menggunakan bus, kereta, mobil, atau motor, kakek kita tidak memiliki banyak pilihan moda transportasi selain berjalan kaki, bersepeda, atau naik delman. Namun, kita dan kakek kita sama-sama melakukan perjalanan bolak-balik antara rumah dan kantor atau pabrik secara rutin.

Dengan metode bekerja yang tidak berubah, maka pengukuran kinerja setiap pekerja juga masih menggunakan indikator yang sama yaitu menghitung tingkat kehadiran fisik. Setiap pekerja dari dulu melakukan aktivitas pencatatan kehadiran dengan cara yang mirip. Absensi kehadiran konsisten dilakukan. Dulunya absensi dilakukan dengan kartu berlubang (punch card) atau tanda tangan, sekarang dengan sidik jari (fingerprint) atau lokasi GPS (global positioning system) pada saat mendekati lokasi kerja.

Dipaksa Keadaan


Sejak Februari 2020 sampai beberapa bulan ke depan, kita semua dipaksa oleh keadaan untuk menerapkan telecommuting atau WFH secara massal dan serentak. Karakter bekerja yang lama masih melekat, seperti melakukan absensi dengan clock in dan clock out pada komputer di rumah masing-masing pada siang dan sore hari. Namun, baru kali ini setelah puluhan tahun bekerja, kita mengubah metode bekerja secara mendasar. Kita bekerja mandiri dari rumah.

Jika membutuhkan koordinasi, kita mengadakan rapat jarak jauh dengan kolega dan mitra kerja. Komuter harian untuk pergi dan pulang dari tempat kerja secara praktis tidak lagi dilakukan. Dari media sosial kita mendapatkan kisah suka dan duka ketika beradaptasi dengan metode bekerja yang baru ini.

Suka karena alasan tidak mengalami stres akibat perjalanan komuter, dapat mengatur waktu antara kerja dan keluarga, dan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Duka karena alasan mengalami penurunan motivasi dalam bekerja, kesepian tanpa kolega, kekurangan aktivitas fisik sehingga berat badan bertambah, dan tidak dapat membedakan waktu bekerja dengan waktu untuk keluarga.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap telecommuting atau WFH, ada satu pertanyaan yang muncul. Setelah pandemi Covid-19 berakhir, akankah metode bekerja telecommuting atau WFH dilanjutkan? Tentu saja, keberlanjutan metode kerja ini sangat tergantung dari jenis pekerjaan, sektor industri, dan konsensus dari semua agen ekonomi. Sebagai bahan pertimbangan umum, saya menyajikan tiga faktor dalam menentukan keberlanjutan telecommuting atau WFH.

Pertama, kita semua telah membuktikan bahwa telecommuting atau WFH dapat diterapkan dengan efektif. Walaupun dilaksanakan dari rumah, proses pekerjaan individual dan koordinasi tim kerja berlangsung dengan baik. Bahkan dalam beberapa situasi, telecommuting menghasilkan produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan metode kerja konvensional.

Sebagai ilustrasi, para pekerja banyak menghabiskan waktu untuk berbagai rapat yang pada umumnya tidak efektif karena kesulitan peserta rapat untuk hadir pada waktunya. Apalagi para eksekutif senior yang harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan metode rapat jarak jauh, setiap peserta rapat dapat berkontribusi lebih baik karena tidak terlambat dan tidak kelelahan.

Kedua, teknologi untuk mendukung pelaksanaan telecommuting atau WFH telah memadai dan dapat diperoleh dengan biaya yang murah. Untuk mengecek keberadaan di lokasi yang ditentukan, tersedia teknologi GPS yang sudah jamak kita manfaatkan. Untuk melakukan pemeriksaan fisik telah tersedia teknologi kamera yang dilengkapi dengan kemampuan pengenalan wajah (face recognition).

Untuk memonitor pekerjaan, telah tersedia berbagai perangkat lunak yang sesuai untuk berbagai jenis perangkat kerja. Dan yang paling penting, perangkat lunak dan perangkat keras untuk mendukung pekerjaan tersebut kini telah tersedia dengan mudah dan murah di pasaran.

Ketiga, penerapan telecommuting atau WFH dapat menjadi solusi penurunan emisi karbon secara global. Selama puluhan tahun, para ahli dan pemimpin dunia berpikir keras untuk mencari cara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengurangi pemanasan suhu bumi. Kini, secara instan, kita mendapatkan banyak laporan dari berbagai negara yang menunjukkan dampak positif social distancing terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup seperti tingkat polusi udara yang menurun drastis.

Bumi mendapatkan manfaat dari menurunnya aktivitas manusia khususnya pada sektor transportasi sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar.

Tentu saja implementasi metode kerja telecommuting atau WFH secara permanen usai pandemi Covid-19 membutuhkan penelitian yang lebih mendalam khususnya analisis biaya dan manfaat. Namun, setidaknya kita telah melaksanakan pilot project secara bersama-sama selama beberapa bulan sehingga dapat mengevaluasi temuan-temuan yang diperoleh dengan lebih akurat. Kita juga dapat memitigasi risiko yang timbul akibat penerapan metode kerja ini.

Akhirnya, apakah ramalan Alvin Toffler bahwa pekerja akan melakukan telecommuting atau WFH benar-benar terjadi? Keputusannya ada di tangan Anda dan kita semua.

Irwanda Wisnu Wardhana doktor Kebijakan Publik dan Ekonomi Politik dari University of Texas, peneliti Badan Kebijakan Fiskal

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads