Kesedihan, "Cat Calling", dan "Toxic Positivity"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kesedihan, "Cat Calling", dan "Toxic Positivity"

Jumat, 03 Apr 2020 12:56 WIB
Diwan Masnawi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Rude man accosting to young female at crowded street
Foto: Getty Images/iStockphoto/JackF
Jakarta - Pasti sering dalam keseharian kita mengalami suatu hal yang tak kita mengerti, yang tak kita pahami, namun kita merasakan ada perasaan yang aneh, yang ganjil, dan untuk mencoba memahami hal-hal tersebut kita mengasosiasikannya dengan konsep-konsep umum yang sudah kita ketahui sebelumnya. Kita hanya mencari saudara jauh yang telah kita kenal dan akrab sebelumnya untuk mengungkapkan perasaan atau pengalaman tersebut, walau itu tidak cukup untuk merepresentasikan apa yang sedang terjadi. Atau sering pula kita menyerah dan mendeskripsikannya hanya dengan kalimat "tak bisa dijelaskan oleh kata-kata."

Seperti orang-orang Tahiti dalam penelitian antropolog Robert Levy (1973) yang tak mengenal konsep kesedihan ketika orang-orang yang dicintainya meninggal. Orang-orang Tahiti tidak mengartikulasikan konsepsi emosi itu, kesedihan itu; sebaliknya mereka menganggap kesedihan atas kehilangan tersebut sebagai penyakit atau perasaan aneh saja, karena pada awalnya mereka memang tidak memiliki konsep kesedihan.

Orang-orang Tahiti tidak menderita kesedihan ketika orang yang dicintainya meninggal, melainkan suatu hipokognisi dari kesedihan. Istilah hipokognisi diperkenalkan oleh Levy untuk merujuk pada situasi kurangnya representasi linguistik atau kognitif dari suatu konsep untuk menggambarkan gagasan atau menafsirkan pengalaman.

Kaidi Wu dan David Dunning (2017), peneliti psikologi dari University of Michigan, dalam penelitiannya menanyakan kepada partisipan Amerika: apakah Anda pernah mendengar konsep benevolent sexism?

Benevolent sexism adalah istilah yang menggambarkan sikap sopan yang seakan-akan menyanjung wanita, tetapi sebenarnya memperkuat peran gender tradisional dan melanggengkan stereotip gender. Seperti ketika seseorang mengatakan bahwa "wanita adalah makhluk yang rapuh dan halus." Komentar semacam itu mencerminkan benevolent sexism karena itu terdengar seperti pujian, tetapi membawa anggapan bahwa perempuan itu rapuh dan membutuhkan perlindungan atau sarat pekerjaan domestik dan sub-ordinasi.

Dua peneliti tersebut kemudian bertanya: seberapa sering Anda memperhatikan komentar atau perilaku benevolent sexism selama dua minggu terakhir? Hasilnya adalah orang-orang yang hipokognitif terhadap suatu konsep memperhatikan contoh-contoh itu lebih jarang terjadi di sekitar mereka, dibandingkan dengan orang-orang yang tahu konsep tersebut. Tipisnya konsep benevolent sexism di kepala seseorang membuat seseorang buta akan terjadinya hal tersebut. Mengetahui konsep tersebut membuat seseorang lebih mudah mengenali manifestasinya.

Ketika kecil saya sering menyaksikan seorang pemuda bersiul ketika ada perempuan lewat, atau memanggilnya dengan menggoda. Namun, saya hanya memahami perilaku-perilaku tersebut sebagai sebuah siasat untuk menggoda wanita saja. Lalu, dewasa ini muncul istilah cat calling untuk menandai peristiwa tersebut dan disosialisasikan secara masif hal tersebut sebagai bagian dari tindakan pelecehan terhadap perempuan.

Atau juga ketika kecil saya sering mengalami dan juga melakukan tindakan menghina tubuh seseorang, yang saya pahami sebagai sebuah tindakan hina-menghina saja.

Dewasa ini muncul istilah yang telah cukup populer, yaitu body shaming, yang juga disosialisasikan sebagai sebuah perbuatan tercela yang dapat merusak kondisi psikis seseorang. Tentunya, masih banyak konsep yang ditandai dengan istilah-istilah telah muncul dan terdistribusi secara luas untuk menandai wilayah-wilayah yang tak bernama dalam pulau gagasan dan pengalaman kita dan akan memudahkan kita untuk mengenali hal-hal tersebut.

Meskipun demikian teritori pengalaman, perasaan, dan gagasan dalam hidup manusia masih terlampau luas; ada banyak pulau-pulau kesadaran yang nun di sana masih tertutup kabut tebal hipokognisi, belum tertandai dan masuk ke dalam peta bahasa kita.

Contoh-contoh hipokognisi dapat kita temukan begitu banyak dari psikologi lintas-budaya. Budaya yang berbeda sering membawa gagasan yang berbeda pada interpretasi mereka tentang situasi yang sama. Seperti dalam warna, kemampuan untuk membedakan antarwarna tergantung pada representasi linguistik yang mendasari warna yang ada dalam setiap bahasa.

Budaya Madura yang tidak memiliki konsep tentang hijau untuk menandai warna hijau; bahasa Madura menandainya sebagai biruh deun atau biru daun. Atau misalnya bahasa Inggris yang memiliki satu konsep generik untuk warna biru, representasi linguistik berbeda dari biru terang dan dan biru tua misalnya ada di Rusia sebagai goluboy dan siniy, atau Yunani ghalazio dan ble, Korea yeondu dan chorok, atau Jepang ao dan mizuiro.

Contoh-contoh hipokognisi lintas-budaya pun bisa ditemukan dalam representasi numerik. Seperti suku Piraha dari Amazonia yang hanya memiliki sistem penghitungan "satu, dua, dan banyak". Orang-orang Piraha gagal menyebutkan jumlah pasti tiga item atau lebih.

Selain dari warna dan angka, hipokognisi lintas-budaya pun dapat ditemukan dalam medan emosi seperti yang ditunjukkan di awal. Barrett (2006) mengatakan bahwa seseorang mengalami emosi sebagai sebuah konsep itu terletak sejauh batas pengetahuan mereka. Bila orang Tahiti mengalami hipokognisi kesedihan atas kehilangan orang yang dicintai, orang Kaluli dari Papua Nugini dan Xhosa Afrika Selatan gagal mengartikulasikan perasaan depresi sedang orang Machiguenga Peru tidak memiliki leksikon untuk kecemasan. Pengalaman-pengalaman tersebut tak terkonseptualisasi dalam pengetahuan mereka.

Sedang Wierzbicka (1999) mengatakan bahwa seseorang tidak dapat sepenuhnya merasakan dan mengapresiasi kekayaan medan emosional yang asing bagi mereka sendiri. Dengan kata lain, sekali pun kita memberikan atau menemukan istilah baru, itu belum tentu berhasil mengibaskan kabut tebal hipokognisi yang menggumpal di udara kesadaran kita.

Banyak hal yang luput dalam kognisi kita, banyak hal yang tak terdeteksi, banyak hal lepas dari perhatian kita, dan banyak hal yang kita alami tak kita mengerti. Kamus masih menyisakan ribuan lembar kosong yang belum kita isi. Tetapi, kita pun sering membiarkan itu tetap kosong untuk tujuan-tujuan yang lain.

Kaidi Wu mengatakan bahwa ada bentuk hipokognisi yang sengaja dibentuk. Wu menemukan bahwa ada bagian yang sering diabaikan dari penelitian Levy tentang Tahiti, yaitu adalah pertanyaan mengapa mereka menderita hipokognisi kesedihan atas kehilangan orang yang dicintai. Ternyata orang-orang Tahiti memang mempunyai sedikit pengetahuan dan gagasan yang kabur tentang kesedihan. Namun, komunitas sengaja menyimpan pengetahuan publik tentang emosi tersebut untuk menekan ekspresinya.

Hipokognisi digunakan sebagai kontrol sosial, taktik cerdik untuk secara tegas menghilangkan konsep yang tidak diinginkan dengan tidak pernah menjelaskannya. Karena ketika seseorang menemukan sebuah terma dan ia menjadi begitu akrab dengannya, bahkan terlampau akrab, ia pun memungkinkan untuk jatuh pada hiperkognisi, yakni ketika konsep itu digunakan secara berlebihan. Seperti misalnya ketika seorang perempuan sedang berjalan di trotoar dan seseorang pria memanggilnya.

Perempuan tersebut merasakan bahwa ia sedang dilecehkan dan pria tersebut telah bertindak cat calling kepadanya. Perempuan tersebut telah hiperkognisi padahal pada kenyataannya pria tersebut hanya ingin memberi tahu bahwa ada sesuatu yang jatuh dari saku perempuan tersebut.

Atau semisal ketika seseorang mengenal istilah toxic positivity ---istilah yang mengacu pada situasi ketika seseorang secara terus-menerus mendorong kenalannya yang sedang tertimpa kemalangan untuk melihat sisi baik dari kehidupan, tanpa pertimbangan akan pengalaman yang dirasakan kenalannya itu atau tanpa memberi kesempatan kenalannya untuk meluapkan perasaannya. Setiap ia melihat kata-kata positif yang tertebar di timeline media sosialnya, di dinding-dinding kafe, atau di sampul sebuah buku, ia merasakan bahwa kata-kata tersebut seperti sedang menyengatnya, seperti sebuah racun yang dengan perlahan menggerogoti mentalnya, padahal saat itu ia tidak sedang dirundung oleh kemalangan, ia hanya mengerti bahwa kalimat-kalimat positif hanyalah toxic.

Sebuah komunitas yang tidak mengenal garam untuk masakannya tetap akan menghabiskan makanan tersebut dan mereka tidak merasakan apa arti dari kata hambar. Ketika ia mulai mengenal garam untuk masakan, ia dapat mengerti apa arti dari hambar sebuah masakan. Namun, ketika garam itu ditaburkan secara berlebihan, mereka pun akan tahu arti dari kata terlalu asin yang tidak lezat.

Makna atau kesadaran seperti halnya garam; seseorang bisa menjalani hidup tanpa makna, tanpa pengertian, tanpa konsep atau pun istilah, dan seseorang akan tetap menjalaninya sekali pun itu adalah sebuah perjalanan yang miskin dengan makna --sebuah masakan yang miskin rasa bagi seseorang yang telah mengenal rasa.

Seseorang pun bisa menemukan garam, menemukan makna yang lain, rasa yang lain, menemukan pengertian dan istilah, dan memberikan kekayaan atas kesadaran, menyajikan makanan yang kaya dengan rasa dan kelezatan, walaupun akan sangat mungkin untuk tergelincir menjadi masakan yang terlalu asin, terlalu manis, terlalu masam, terlalu pedas, dan menjadi masakan yang tidak lezat, yang mungkin rasanya akan jauh lebih buruk dan tidak enak ketimbang masakan yang hambar, tanpa rasa.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads