Sore kemarin, saat mengantarkan emak saya pulang, saya melirik ke seberang jalan. Ada satu pemandangan yang bikin saya kaget: warung angkringan milik Mbak Harmini sudah buka lagi. Tak cuma itu, beberapa warung lain juga sudah aktif kembali, tak ketinggalan toko-toko barang kerajinan di sepanjang Jalan Kasongan.
Saya memang terkejut, karena saya tahu pasti, selama seminggu sebelumnya hampir semua tempat di situ tutup serentak. Corona! Corona! Warung dan toko pun pada libur, dengan dua alasan. Pertama, ya karena takut, dan porsi asupan informasi bagi warga kampung yang separuh rural separuh urban itu cukup untuk membentuk rasa takut. Kedua, karena lalu lintas manusia yang biasanya hilir mudik setiap saat jadi lenyap entah ke mana; artinya lenyap jugalah para calon pembelinya.
Namun, ketegangan itu ternyata cuma berlangsung sepekan. Angka-angka ODP, PDP, positif Covid, juga angka kematian, yang terus dipampangkan di televisi dan berseliweran di grup-grup Whatsapp, lambat laun cuma dianggap sebagai deretan angka. Saya duga, alasannya karena ancaman Corona belum benar-benar nongol di depan mata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manusia memang punya rasa takut. Rasa takut adalah bagian dari insting alamiah untuk mempertahankan hidup. Makanya, ketika kabar Corona itu meledak di hari-hari pertama, ketakutan itu langsung merebak ke mana-mana.
Tetapi, di samping insting menyelamatkan hidup, manusia juga punya kemampuan beradaptasi. Baik beradaptasi dengan lingkungan, maupun beradaptasi dengan perasaan-perasaan di dalam dirinya sendiri. Tentu saja termasuk beradaptasi dengan rasa takut akan bahaya, apalagi jika bahaya itu-sekali lagi-belum benar-benar tampak di depan mata.
Pernah suatu ketika, seorang radikalis kesehatan menasihati saya tentang bahaya jajan gorengan sembarangan. "Awas, minyak sawit yang dipakai menggoreng sudah digunakan berkali-kali, dan artinya ada efek karsinogenik di dalamnya," begitu kata dia. Saya pun bergidik ngeri. Kanker! Apa lagi kutukan yang lebih menyeramkan dibanding kanker?
Namun, ketakutan itu tidak bertahan sangat lama. Kurang dari sebulan kemudian, saya kembali kepada jenis kehidupan semula. Di hari-hari yang telah saya jalani tanpa gorengan, tidak ada efek kontan apa pun pada tubuh saya. Semua normal-normal saja seperti biasanya. Dan ketika saya mencicipi gorengan lagi, kanker itu tidak muncul mendadak pada organ-organ tubuh saya. Akhirnya kembalilah saya ke haribaan bakwan dan mendoan yang digoreng sembarangan di warung-warung angkringan.
Cerita itu persis sama dengan relasi mesra antara saya dan kolesterol. Selama belasan tahun saya makan ngawur, semau-maunya. Tidak pernah saya menghindari apa pun. Sate kambing selemak-lemaknya, gulai otak sapi, rendang cumi, kepiting, kerang, limpa, kikil, telur puyuh, dan segala jenis kenikmatan duniawi lainnya. "Hati-hati lho, ingat kesehatan." Itu nasihat yang amat sering saya dengar. Dan saya memang ingat kepada kesehatan. Ya, mengingatnya saja, tapi tidak memikirkannya.
Baru setelah hasil tes darah menunjukkan angka kolesterol yang menjulang tinggi, ketakutan saya muncul lagi. Persis rasa takut saya ketika dinasihati soal karsinogenik gorengan dahulu kala. Saya pun segera diet, minum aneka jamu. Tapi, begitu tengkuk tak lagi terasa kaku, saya tak lagi peduli dengan angka-angka itu. Lalu bagaimana soal risiko jangka panjangnya? Ah, itu urusan nanti. Toh badan saya hari ini enak-enak saja.
Belum lagi bulan lalu saya ditraktir check up jantung oleh seorang kawan baik, dan hasilnya jantung saya dinilai sehat sentosa. Maka tiba-tiba saya pun merasa seperkasa Jendral Andika.
Kita memang punya bermacam-macam rasa takut. Tapi rasa takut itu kebanyakan muncul hanya manakala bahaya itu benar-benar nongol di hadapan kita, atau memunculkan efek yang seketika. Itulah penjelasan kenapa Anda tetap saja menenggak minuman bersoda padahal sudah tahu risikonya mati kena diabetes, tapi tidak berani makan tumis ikan buntal beracun yang dalam hitungan menit akan membuat tubuh Anda kejang-kejang lantas wassalam.
Manusia normal punya banyak rasa takut. Tapi kita juga punya kebosanan kepada rasa takut. Tak bedanya kesedihan. Saat malapetaka menimpa kita, kita akan dihantam duka. Tapi waktu yang terus berjalan membuat kita lambat laun melupakan semuanya. Kita beradaptasi dengan kesedihan kita, sama persis dengan kita beradaptasi bersama rasa takut kita. Kenapa? Karena kehidupan harus terus berjalan.
Dalam buku terbarunya, Talking to Strangers, Malcolm Gladwell menceritakan kisah penipuan finansial terbesar dalam sejarah Wall Street. Bernard Madoff, pelakunya, menjaring klien-klien kelas kakap dalam waktu yang lama. Herannya, hampir tak ada orang yang curiga, meski penjelasan Madoff atas skema bisnisnya kurang meyakinkan. Hingga akhirnya muncul Harry Markopolos, seorang yang sangat detail, punya rekam jejak penuh kecurigaan, dan sulit percaya dengan orang lain. Dialah yang membongkar aksi penipuan Madoff, dan prestasinya itu tak dapat dilepaskan dari karakter personal Markopolos.
Kenapa banyak orang mudah ditipu? Gladwell menyitir pendapat psikolog Tim Levine. Levine mengatakan bahwa selama perjalanan evolusi, manusia tidak pernah mengembangkan kemampuan deteksi penipuan yang canggih dan akurat. Tidak ada untungnya setiap saat memeriksa kata-kata dan perilaku orang-orang di sekitar kita. Yang kita dapatkan dari sikap membiarkan diri rentan sesekali dibohongi adalah komunikasi dan koordinasi sosial yang efisien.
Apa yang disampaikan Levine itu saya kira bukan tentang kecerdasan kognitif kita dalam membongkar kebohongan, sebagaimana kemampuan kita menguliti berita-berita hoaks di zaman ini. Itu semua lebih ke level insting sebagai spesies. Kita memang punya radar dalam memindai potensi bahaya, tapi radar itu tidak sangat-sangat kuat. Kalau terlalu kuat, justru komunikasi dan koordinasi sosial yang mesti dikorbankan.
"Jika semua orang di Wall Street berperilaku seperti Harry Markopolos," tulis Gladwell, "Tidak akan ada penipuan di Wall Street. Tapi suasananya akan sangat penuh kecurigaan dan paranoia, sehingga tidak akan ada Wall Street!"
Demikianlah. Takut itu ya takut, tapi ada batas sensitivitasnya, juga batas kebosanannya. Lagi-lagi, karena jika batasan-batasan itu tidak ada, kehidupan tidak akan berjalan.
Mungkin di musim corona ini Anda pernah mendengar beberapa orang memainkan retorika perbandingan antara bahaya corona dan bahaya naik kendaraan bermotor. "Korban kecelakaan lalu lintas itu ribuan, tapi kita dibikin lebih takut kepada corona! Ada apa ini?"
Tentu saja perbandingan itu tidak pas, karena kecelakaan lalu lintas tidak menular dan pertumbuhan angkanya tidak bersifat eksponensial. Tapi bahwa dalam setahun rata-rata ada 28 ribu korban tewas karena lakalantas di Indonesia, itu fakta. Pertanyaannya, kenapa kita tidak takut kepada risiko lakalantas, dan tetap santai saja setiap hari bepergian dengan mobil atau sepeda motor? Apakah kita tidak takut mati karena lakalantas?
Jelas bukan begitu. Kita takut. Tapi kita beradaptasi dengan ketakutan akan risiko tertabrak mobil, sekaligus kita tidak sensitif-sensitif amat dalam mencium risiko tertabrak mobil. Dari situ saja terlihat bahwa naluri untuk menghindari kematian pelan-pelan dikalahkan oleh naluri untuk melanjutkan kehidupan. Bayangkan jika setiap saat kita takut bepergian dengan kendaraan, selalu cemas tersambar motor matic yang belok mendadak tanpa sein, apa yang akan terjadi? Ya, kehidupan tidak akan berjalan.
Wabah corona ini juga menakutkan. Namun bagi banyak orang, selama korban-korban belum berjatuhan persis di depan hidung mereka, umur ketakutan itu tidak akan lama bertahan. Bukan cuma itu. Skema maraton alias perang jangka panjang melawan corona yang naga-naganya mau diterapkan, bisa-bisa membuat orang bosan.
Mengurung diri dan menutup warung-warung mungkin sejalan dengan upaya menghindari kematian. Tapi ingat, jika terlalu lama, ada refleks adaptasi kepada ketakutan, ada batas kebosanan, dan ada naluri untuk terus melanjutkan kehidupan.
Dan saya pikir-pikir, itu bisa berakibat lebih mengerikan.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)