Dilema Perantau di Tengah Wabah Corona
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Dilema Perantau di Tengah Wabah Corona

Selasa, 31 Mar 2020 10:31 WIB
Rahman Wahid
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Penumpang menaiki bus Antar Kota Antar Provinsi di Terminal Pulo Gebang, Jakarta, Minggu (29/3/2020). Kementerian Perhubungan mengimbau agar warga membatalkan niatnya pulang kampung, untuk mencegah penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.
Foto: Indrianto Eko Suwarso/Antara
Jakarta - Pandemi virus corona memang menjadi suatu ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Upaya demi upaya dilakukan oleh pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Banyak opsi yang bisa dilakukan mulai dari isolasi, social distancing, hingga lockdown.

Terhitung sejak 16 Maret 2020, keluar imbauan dari pemerintah tentang social distancing. Social distancing secara harfiah berarti menjaga jarak serta menghindar dari kerumunan dan keramaian. Selain social distancing, pemerintah juga mengimbau masyarakat untuk melakukan physical distancing yakni menjaga jarak fisik dengan orang lain dengan jarak sekitar 1 sampai 2 meter.

Imbauan social distancing menyebabkan dilarangnya berbagai kegiatan yang menciptakan dan menyebabkan kerumunan banyak orang. Termasuk di dalamnya kegiatan pelayanan publik, pembelajaran, dan juga kegiatan lainnya. Kemudian, muncul pula istilah work from home atau bekerja dari rumah.

Social distancing karena Covid-19 bahkan berimbas pada banyak sektor, mulai dari ekonomi, sosial, dan pendidikan hingga urusan keagamaan. Perekonomian lesu karena adanya ketakutan oleh konsumen dan pedagang, bahkan banyak usaha kecil yang tutup sementara. Selain itu, pelarangan adanya kerumunan juga mengubah kebiasaan masyarakat. Kebiasaan riungan, kumpulan warga, dan yang lainnya dikurangi bahkan ditiadakan termasuk kegiatan keagamaan seperti Salat Jumat dan Kebaktian.

Social distancing tentunya menjadi suatu hal yang sangant sulit dilakukan bagi masyarakat Indonesia yang biasa dengan kehidupan sosial yang kuat. Budaya-budaya tahlilan, riungan, dan perkumpulan lainnya sudah menjadi suatu hal yang mengakar kuat di masyarakat. Bahkan hingga ada istilah makan nggak makan yang penting kumpul. Social distancing tentunya banyak menggeser budaya tersebut dan menjadi dilema tersendiri di tengah masyarakat.

Belum lagi bagi mereka para perantau. Bagi para perantau yang bekerja sebagai karyawan pabrik yang dirumahkan, tentunya menjadikan mereka tidak memiliki penghasilan. Secara otomatis, ketiadaan penghasilan jelas semakin mempersulit kehidupan mereka.

Memang pemerintah telah memberikan keringanan bagi mereka yang mengambil kredit dengan adanya kebijakan terkait penundaan pembayaran kredit hingga satu tahun. Namun, kebijakan tersebut tidak serta merta membuat masyarakat terutama para perantau menjadi lega. Tentunya jelas permasalahan ketiadaan penghasilan menjadi masalah utama bagi mereka yang dirumahkan.

Juga dengan mahasiswa di berbagai daerah. Mereka kebingungan dengan ketidakpastian jadwal dan ketentuan perkuliahan yang simpang siur. Meskipun tetap ada perkuliahan dengan sistem daring, hal tersebut bukan berarti masalah terselesaikan. Situasi dan kondisi yang serba terbatas dan tidak dapat dipastikan menjadi permasalahan yang tentunya menghambat proses perkuliahan.

Banyak mahasiswa yang galau dan bertahan di kos-kosan atau kontrakan hanya untuk menunggu kepastian terkait perkuliahan, yakni antara tetap melangsungkan perkuliahan secara daring sampai dengan akhir semester atau akan ada perkuliahan seperti biasa setelah masa social distancing berakhir.

Menjadi dilema bagi para perantau dari berbagai daerah, di satu sisi mereka menunggu kepastian nasib mereka di perantauan. Apakah masih harus bertahan di perantauan dengan segala ketidakpastian. Atau mereka harus kembali ke kampung halaman dengan segala konsekuensinya.

Pada dasarnya, dilema para perantau baik mahasiswa atau pekerja sama saja. Mereka dilema antara harus bertahan di perantauan atau kembali ke kampung halaman. Tentunya ada konsekuensi di setiap pilihannya.

Memilih untuk tetap di perantauan dengan kesendirian di tempat tinggal tentunya menciptakan kegalauan tersendiri. Belum lagi permasalahan terkait minimnya penghasilan dan kebutuhan hidup yang harus terus dipenuhi. Apalagi bagi para mahasiswa rantau yang tentunya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menambah penghasilan.

Memilih untuk pulang ke kampung halaman bukan berarti tanpa risiko. Risiko terpapar corona menjadi lebih besar. Mungkin memang dirinya ketika pulang ke kampung halaman tidak terpapar virus, namun besar kemungkinan terpapar virus di perjalanan. Bukan hanya itu, mereka yang baru datang dari luar kota akan langsung dimasukkan ke kategori orang dalam pengawasan (ODP).

Dilema para perantau semakin menjadi ketika pandemi virus corona justru belum menemukan titik terang hingga menjelang Bulan Ramadhan. Adanya kemungkinan karantina wilayah yang akan dilaksanakan pemerintah menyebabkan setiap orang dilarang untuk bepergian keluar atau masuk wilayah atau daerah.

Para perantau yang biasanya akrab dengan tradisi mudik lebaran dihadapkan dengan masalah baru, yakni larangan untuk melaksanakan mudik. Tradisi mudik lebaran yang dilarang tentunya akan menciptakan kegalauan tersendiri bagi para perantau. Mereka yang biasanya merayakan hari raya dengan keluarga dan orang terkasih harus berlebaran di tanah perantauan.

Dilema tentunya sangat kuat dirasakan oleh para perantau termasuk saya. Di saat orang lain bisa berkumpul dengan sanak saudara di rumah, para perantau masih harus berjibaku bahkan mengalami dilema di perantauan. Berkemungkinan untuk berlebaran di tanah perantauan yang jauh dari keluarga menjadi hal yang harus siap dihadapi. Tentunya yang paling merasa galau adalah perantau yang tidak memiliki keluarga dekat di tempat perantauan dan harus terisolasi di rumah.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads