Jumat (20/3) lalu akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan tes cepat (rapid test) secara massal di Indonesia, setelah hampir tiga minggu dari temuan pertama kasus Covid-19 diumumkan. Kita patut mensyukuri, pemerintah akhirnya menyadari dan mengambil langkah tersebut meski masih terbatas pada orang yang diindikasikan pernah kontak dengan pasien Covid-19.
Rapid test sangat diperlukan pada masa-masa awal kasus positif mulai ditemukan dengan tujuan mengidentifikasi siapa saja yang telah terinfeksi, memetakan penyebaran, dan melakukan mitigasi agar infeksi tidak makin meluas.
Salah satu negara yang agresif melakukan rapid test adalah Korea Selatan. Data per 20 Maret 2020, total kasus di Korsel mencapai 8.652 orang terinfeksi dengan tingkat kematian cukup rendah 0,6%. Seperti banyak dilaporkan media, pemerintah menyediakan 50 stasiun pengujian virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dengan konsep drive-thru di seluruh Korsel, dengan waktu 10 menit untuk prosedur sampling pengujian.
Hasil tes akan tersedia dalam waktu beberapa jam dan diinformasikan melalui pesan singkat. Negara tersebut mampu memproses lebih dari 15.000 tes diagnostik dalam sehari dengan angka keseluruhan tes mencapai hampir 200 ribu. Tingginya kasus yang dilaporkan tampaknya berkorelasi dengan gencarnya pemerintah melakukan rapid test.
Rapid test yang digunakan Korsel berbasis RT-qPCR (Reverse Transcript-quantitative Polymerase Chain Reaction), yaitu kit Allplex 2019-nCoV Assay yang diinisiasi dan diproduksi oleh salah satu perusahaan diagnosis molekuler di Korsel, Seegene. Kit tersebut mulai dikembangkan sejak 16 Januari 2020, berbekal sekuen genom virus yang telah dipublikasi dan protokol WHO.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Otoritas Korsel, Korea Ministry of Food and Drug Safety merespons dengan cepat dan mengeluarkan izin dalam waktu satu minggu setelah dievaluasi menggunakan sampel dari pasien terinfeksi. Selanjutnya, kit digunakan secara gratis di 118 fasilitas laboratorium yang ada. Saat ini, beberapa perusahaan sejenis di berbagai negara juga telah meluncurkan produk serupa.
Seegene mengembangkan test kit yang mampu mendeteksi secara simultan tiga gen target spesifik pada virus SARS-CoV-2, yakni E gene, RdRP gene, dan N gene dalam sekali reaksi untuk tiap sampel pasien sehingga waktu diagnosis menjadi lebih cepat. Pertama, sampel swab dari pasien akan dilarutkan dalam sebuah buffer untuk mengisolasi RNA virus dan memurnikan dari komponen lainnya. Proses tersebut berlangsung dalam waktu 10-15 menit.
Proses kedua, RNA virus dicampurkan dengan reagen atau pereaksi untuk proses qPCR, terdiri dari tiga set primer target, primer probe, dan master mix berisi enzim dan komponen PCR lainnya, selanjutnya diproses pada mesin qPCR dengan suhu yang terpogram. Positif kontrol juga disertakan setiap kali batch pengujian. Secara teknis dalam waktu 2-3 jam hasil sudah dapat diperoleh.
Keseluruhan proses dari mulai isolasi RNA virus sampai dengan proses qPCR dapat diautomatisasi sehingga lebih cepat dan minim kontaminasi. Total 96 sampel (tergantung jenis alat) dapat dikerjakan dalam satu batch diagnosis dengan total pengerjaan dalam waktu empat jam. Penggunaan test kit yang telah terverifikasi tidak membutuhkan sekuensing lanjutan untuk mengonfirmasi hasil diagnosis qPCR, karena penggunaan gen target sudah sangat spesifik dan hanya menargetkan virus SARS-CoV-2 saja.
Berdasarkan portal Indonesia.go.id, Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Riset Teknologi (Lembaga Eijkman dan Fakultas Kedokteran Unair), dan Balai Besar Teknologi Kesehatan Lingkungan (BBTKL) di sejumlah kota besar secara konsisten menggunakan PCR dengan standar CDC Atlanta, dilanjutkan dengan sekuensing genom untuk mendiagnosa Covid-19.
Panjangnya proses diagnosis inilah yang menyebabkan lama pengujian bisa lebih dari satu hari, selain faktor antrian karena banyaknya sampel yang diuji. Berbeda dengan Korsel, hingga kini penggunaan metode RT-qPCR di Indonesia belum ditujukan untuk tes massal kasus Covid-19.
Pendekatan rapid test untuk tes massal yang dipilih pemerintah Jokowi adalah berbasis serologi dengan metode immunochromatographic assay. Metode tersebut menguji keberadaan dan kadar antibodi manusia (IgA, IgG, dan IgM) dalam darah yang akan diproduksi tubuh setelah 1-2 minggu terinfeksi oleh antigen (virus/bakteri).
Untuk tujuan penapisan (screening) awal menegakkan diagnosis pasien, metode tersebut cukup memadai untuk memberikan informasi ada tidaknya infeksi karena virus, meski infeksi tersebut tidak spesifik karena virus SARS-CoV-2. Namun, perlu diperhatikan tingginya kadar antibodi pada sampel pasien bisa menimbulkan salah interpretasi, apakah pasien baru terinfeksi ataukah pasien telah sembuh.
Satu hal lagi yang menjadi kelemahan tes ini adalah tingkat false negative yang tinggi. Pada beberapa kasus, infeksi telah terjadi namun kadar antibodi belum dapat dimonitor kenaikannya.
Penggunaan rapid test berbasis serologi lebih dipilih oleh pemerintah daripada RT-qPCR untuk tujuan tes massal di Indonesia mungkin karena pertimbangan biaya dan fasilitas yang tidak selengkap di Korea Selatan. Faktanya, alat qPCR banyak dimiliki berbagai instansi penelitian dan juga universitas-universitas di Indonesia meski dengan spesifikasi yang beragam. Ketersediaan peralatan tersebut tentu dapat diberdayakan dan dapat mendukung pengujian berbasis qPCR.
Untuk melakukan tes material genetik dari mikroba pathogen (virus corona) memang tidak semua laboratorium memenuhi persyaratan sebagai lab BSL 2. Opsinya adalah bisa mengubah lab yang ada menjadi lab BSL 2 di titik terpusat tertentu di beberapa wilayah di Tanah Air. Fasilitas alat qPCR yang ada dapat didata dan diberdayakan untuk dipindahkan ke lab terpusat tersebut berikut dengan petugas analisnya yang dapat dilatih terlebih dahulu.
Dalam menjalankan rapid test berbasis qPCR, protokol diagnosis perlu ditinjau ulang, apakah masih diperlukan sekuensing setelah diperoleh hasil dari qPCR karena metode qPCR sudah sangat sensitif dan memiliki tingkat keakuratan yang tinggi. Sepanjang gen target yang dipilih dan digunakan sangat spesifik, maka sekuensing tidak perlu dilakukan terhadap semua sampel, sehingga bisa memangkas panjangnya waktu diagnosis dan biaya.
Dalam kondisi baik, satu alat qPCr dapat dijalankan 4-5 kali, dengan kapasitas 96 sampel (block standard PCR), sehingga 480 sampel bisa didiagnosis dalam satu hari. Jika lab menggunakan lima alat, maka 2.400 sampel bisa didiagnosis dalam satu hari.
Kendala yang mungkin tersisa adalah reagen atau bahan pereaksi untuk qPCR. Negara-negara maju lainnya memiliki perusahaan biomolekuler yang dengan inisiatif melakukan penelitian dan pengembangan rapid test, seperti Seegene di Korsel. Indonesia memang belum ada perusahaan serupa. Namun, protokol WHO yang dijadikan panduan diagnosis dan data genom virus yang dapat diakses secara terbuka memungkinkan peneliti Indonesia untuk mengembangkannya juga jika difasilitasi oleh negara.
Tapi, dalam kondisi berburu dengan waktu seperti saat ini, kerja sama dengan negara-negara pengembang rapid test berbasis RT-qPCR merupakan opsi yang tepat. Sehingga, dana yang ada bisa dialokasikan untuk menyediakan reagen dan APD.
Dengan metode diagnosis yang tepat dan hasil yang akurat dapat mendukung keputusan pemerintah dalam upaya mitigasi dan memutus rantai penularan Covid-19. Kalangan lembaga penelitian dan universitas dapat bersinergi memberikan sumbangan terbaiknya berupa sumber daya para peneliti dan peralatan pengujian, sehingga pandemik Covid-19 di Indonesia dapat diselesaikan bersama-sama secara cepat dan efisien.
Anidah, S.Si praktisi qPCR, Research Assistant pada Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP)
(mmu/mmu)