Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sepekan ini telah membuat geger pemerhati politik, hukum, dan demokrasi. Melalui putusannya Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan memberhentikan Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam sejarah berdirinya DKPP, baru kali ini ada anggota KPU RI yang diberhentikan oleh DKPP. Biasanya yang diberhentikan oleh DKPP hanyalah ketua dan anggota KPU di daerah saja.
Keputusan DKPP yang terbilang berani itu menimbulkan pro dan kontra. Banyak ahli hukum mempersoalkan putusan DKPP sebagaimana sebelumnya telah disoal oleh Evi Novida Ginting sendiri. Putusan DKPP itu disebut-sebut melanggar syarat formil dan materiil yang melatarbelakangi lahirnya sebuah putusan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Evi Novida Ginting bahkan telah mengajukan keberatan atas putusan DKPP dan telah melaporkan mal-administrasi ke Ombudsman dan akan menempuh upaya hukum lainnya. Dalam berbagai pemberitaan media, satu-satunya komisoner perempuan di KPU RI itu menjelaskan telah berkirim surat kepada Presiden untuk meminta penundaan eksekusi putusan DKPP.
Berdasarkan pemberitaan di media, keberatan atas putusan DKPP tersebut meliputi; pertama, DKPP tetap memutus aduan meskipun pelapornya atas nama Hendri Makaluasc telah mencabut laporannya. Kedua, tentang standar sistem pembuktian DKPP yang memutus tanpa memberikan kesempatan Evi Novida Ginting melakukan pembelaan. Ketiga, DKPP melampaui kewenangannya dengan ikut menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi. Keempat, pengambilan putusan tanpa kuorum.
Eksaminasi Putusan
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Eddy O.S Hiariej dalam eksaminasi putusan menyampaikan analisis yuridis yang menyebutkan kewajiban penerapan syarat hukum formil dan materiil dalam memutus suatu perkara. Menurutnya, hukum materiil adalah suatu substansi suatu aturan, baik yang bersifat mengatur, perintah maupun larangan. Sedangkan hukum formil biasa disebut hukum acara adalah tata cara untuk menegakkan hukum materiil.
Dalam beracara DKPP berpedoman kepada Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 diatur ketentuan rapat pleno DKPP dilakukan secara tertutup yang dihadiri oleh 7 (tujuh) orang anggota DKPP, kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP.
Apabila melihat putusan DKPP yang memberhentikan Evi Novida Ginting, hanya empat orang anggota DKPP yang menandatanganinya. Hal ini bertentangan dengan syarat kuorum pengambilan putusan DKPP.
Menurut Eddy O.S Hiariej landasan filsafat hukum acara adalah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang aparatur negara yang menggunakan hukum tersebut. Prinsip lex scipta (aturan tertulis), lex certa (aturan yang jelas), dan lex stricta (aturan yang ketat) harus dipedomani sebagai konsekuensi logis penerapan hukum acara yang bersifat resmi.
Jika terdapat ketidakjelasan dalam hukum acara, maka seyogianya berlaku postulat exeptio firmat regulam yang berarti hukum acara harus diterjemahkan sehingga tidak merugikan pihak yang terdampak dari putusan tersebut.
Jika menilik putusan pemberhentian Evi Novida Ginting, maka adanya pelanggaran syarat kuorum yang diatur oleh Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 telah mencederai keadilan prosedural yang diatur dalam hukum acara. Dalam pemberitaan di media, tidak ada satu pun jawaban yang disampaikan Plt Ketua DKPP Muhammad untuk menjelaskan hal ini.
Lalu timbul di benak kita, apakah DKPP memang kehabisan kata untuk memberi penjelasan kepada publik ataukah DKPP menganggap bahwa pelanggaran atas peraturan yang dibuat oleh mereka sendiri adalah suatu hal yang lumrah?
Selanjutnya mengenai dasar hukum DKPP untuk tetap melanjutkan persidangan meskipun pelapor sudah mencabut aduannya, adalah adanya ketentuan Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017. Pasal tersebut menyatakan DKPP tidak terikat atas pencabutan aduan dari pelapor.
Eddy O.S Hiariej menyatakan bahwa Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 yang mana pengadu wajib membuktikan dalil-dalil dalam aduannya. Bila merujuk postulat lex posteriori deragate legi priori ---aturan yang baru mengesampingkan aturan terdahulu-- maka seharusnya perkara aduan dugaan pelanggaran kode etik yang telah dicabut oleh pelapornya itu sudah tidak relevan lagi untuk disidangkan.
Upaya Hukum
Asas legalitas mensyaratkan bahwa tidak ada suatu pelanggaran yang dapat diberikan hukuman jika tidak ada aturan yang mengaturnya. Untuk menguji ada atau tidaknya penyimpangan dalam sebuah produk putusan dalam ruang lingkup Pejabat Tata Usaha Negara (TUN), maka hakim administrasilah yang berwenang untuk memutuskannya.
Namun sifat peradilan TUN sebagaimana diatur adalah konkret, individual, dan final. Sedangkan putusan DKPP belumlah tergolong final karena masih harus ditindaklanjuti oleh lembaga lain. Jika yang disanksi pemberhentian KPU Daerah, maka KPU Pusatlah yang berwenang menerbitkan Surat Keputusan (SK) Pemberhentian. Namun jika anggota KPU RI yang diberhentikan, maka kewenangan menerbitkan surat pemberhentian adalah kewenangan Presiden.
Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang 7 Tahun 2017 mengatur tentang putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Meskipun norma final dan mengikat pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, namun aturan final dan mengikat kembali diatur dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017. Aturan tersebut kerap dimaknai bahwa putusan DKPP tidak dapat dilakukan upaya hukum lanjutan. Benarkah demikian?
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah mengatur sedemikian rupa tentang keberatan atas sebuah putusan TUN. Kewenangan DKPP yang bersumber dari Undang-Undang 7 Tahun 2017 secara tegas mengisyaratkan bahwa kelembagaan DKPP adalah kelembagaan pemerintah yang bertugas di bidang penegakan kode etik penyelenggara pemilu.
Artinya, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, DKKP telah menjalankan kekuasaan pemerintahan. Dalam pengertian ini, maka semua putusan DKPP seharusnya merupakan keputusan TUN.
Lalu bagaimana syarat konkret, individual, dan final yang menjadi kekhasan dari sifat peradilan TUN? Apakah putusan DKPP yang bersifat deklaratoir bisa diuji oleh peradilan TUN?
Dua pertanyaan itu memang selama ini selalu menjadi perdebatan yang menarik untuk didiskusikan. Indroharto mengatakan bahwa suatu penetapan tertulis (beshikking) itu selalu merupakan salah satu bentuk dari Keputusan Badan atau Jabatan TUN yang merupakan suatu tindakan hukum TUN (administratieve rechtschandeling).
Bersifat konkret artinya keputusan TUN itu berwujud. Bersifat individual artinya keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Sifat final dalam keputusan TUN inilah yang menjadi debat kusir apakah putusan DKPP dapat diuji di peradilan TUN. Fakta membuktikan memang selama ini belum pernah ada pihak yang memiliki legal standing mengajukan gugatan TUN atas putusan DKPP. Namun jika merujuk kepada ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), maka Keputusan TUN harus dimaknai dalam beberapa cakupan.
Pertama, penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual. Kedua, Keputusan Badan atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Ketiga, berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Keempat, bersifat final dalam arti luas. Kelima, keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Keenam, keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Jika melihat yurisprudensi putusan TUN di tempat lain, maka rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) tercatat pernah menjadi objek gugatan di PTUN Bandar Lampung. Majelis hakim PTUN beralasan bahwa rekomendasi mengikat bagi para pejabat yang diberikan rekomendasi. Hal tersebut menjadi bagian dari tafsir bersifat final dalam arti luas.
Mahkamah Agung juga dalam putusan Nomor 482K/TUN/2016 mengabulkan kasasi dengan alasan antara lain istilah final harus dimaknai sudah menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang dikenai keputusan. Hal itu diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
SEMA tersebut mendefinisikan final dalam arti luas yang terdapat dalam pasal 87 UUAP sebagai keputusan yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain.
Resolusi
Publik wajib memastikan bahwa penyelenggaraan pemilu berlangsung dengan baik dan berintegritas. Oleh karena itu, maka konsekuensinya adalah seluruh regulasi yang mengatur tentang pemilu juga harus dipastikan memberikan kepastian hukum. Sistem yang baik akan bermuara kepada capaian yang baik pula ketika penyelenggara pemilu adalah orang-orang yang baik dan berintegritas.
Putusan DKPP yang memberhentikan Evi Novida Ginting Manik wajib untuk mendapat perhatian publik karena berkaitan erat dengan tercapainya pelaksanaan pemilu yang baik dan berintegritas.
Satu-satunya cara untuk menguji putusan DKPP itu adalah memberikan ruang kepada peradilan TUN untuk menguji terhadap putusan tersebut. Tanpa ada proses pengujian oleh hakim di pengadilan, maka putusan DKPP itu tetap akan menjadi sengkarut dan tidak pernah berujung. Publik berharap, pro dan kontra putusan DKPP akan berakhir di meja hijau hakim administrasi. Mari sama-sama kita tunggu.
Fauzi Heri advokat, pemerhati pemilu dan demokrasi
(mmu/mmu)