"Sudah to Mas, mbok njenengan ikut datang. Kalau Mas Iqbal yang ngomong kan nanti pada mau dengar. Lha kalau saya kok ngomong soal virus, apa ya bakalan dianggep to, Mas?"
Pak Gi serius sekali waktu menelepon saya. Suaranya terdengar sebal. Entah sebal sama orang-orang kampung, atau malah sebal sama saya.
Awalnya, saya memang enggan datang ke masjid untuk rapat persiapan Ramadan malam itu, meski undangan sudah diantarkan sore harinya. Ini musim Corona sedang dimulai, di mana-mana orang sudah pada bicara tentang social distancing. Lha kok malah rapat?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, Pak Gi tetap memaksa saya datang. Alasannya, itulah satu-satunya kesempatan untuk menyampaikan banyak hal terkait virus yang sedang -hits ini. Obrolan di grup Whatsapp kampung jauh dari maksimal, sementara kalau tidak segera dijelaskan, potensi-potensi kerumunan yang diselenggarakan warga tak akan dapat diantisipasi.
Dan, saya yang sebenarnya juga tidak paham-paham amat terkait korona-koronaan ini dianggap oleh Pak Gi paling bisa menyampaikan. Ini memang kutukan karena telanjur dianggap sebagai orang sekolahan. Ya sudah.
***
Setelah saya bicara panjang lebar di hadapan para tokoh kampung, apakah lantas semuanya beres, warga menjauhi acara kumpul-kumpul, rajin cuci tangan pakai sabun, dan pengajian Isra Mi'raj dibatalkan?
Oh, sayangnya kenyataan hidup ini tak seindah yang dibayangkan Dik Aurelie Moeremans. Ada benteng berlapis-lapis yang sulit ditembus saat menghadapi masyarakat agraris perdesaan dalam urusan-urusan seperti ini.
Yang pertama, jelas, virus ini adalah entitas asing yang belum dikenal dan belum menjadi realitas dalam kehidupan mereka, bahkan sejak kehidupan kakek-buyut mereka.
Karakter Covid-19 sebenarnya mudah dijelaskan secara kognitif, tapi "ketegangan afektif" publik awam sangat sulit dibentuk. Misalnya terkait fakta bahwa virus ini bisa menyebar lewat carrier yang sehat, sehingga kalau kita tetap kumpul-kumpul bisa jadi kita bukan cuma terancam terbunuh, tapi bahkan berpotensi menjadi pembunuh.
Di benak warga awam, selama puluhan tahun yang namanya risiko bagi orang sehat di hadapan penyakit itu ya "dikenai", bukan "mengenai". Lagi pula, kebanyakan penyakit gampang dienyahkan cukup dengan wedang sekoteng dan kerokan. Itulah pengalaman riil di alam mereka, dan membentuk bangunan bawah sadar mereka. Ini sangat sulit dibongkar hanya dengan informasi-informasi.
Makanya, ketika di WAG ada tetangga yang cukup melek informasi membagi beberapa berita terkait wabah ini, seorang warga lain yang berumur 50-an malah uring-uringan sambil berkomentar, "Mbok sudah to jangan menakut-nakuti! Yang penting kan kita sama-sama menjaga kebersihan kampung to?"
Lhadalah. Kebersihan kampung? Spontan saya kepingin menimpali, "Paaak! Ini tuh korona Paaak! Bukan disentriii...!" Tapi tentu saja saya cuma berani ngomel dalam hati, sambil merasa sia-sia telah datang ke masjid buat presentasi.
Benteng lapis kedua adalah kemantapan dalam menjalankan ajaran agama. Saya tidak sedang menekankan sisi "ajaran agama", tapi sisi "kemantapan"-nya. Kenapa? Sebab kalau hanya urusan ajaran, itu bisa disampaikan dalam kerangka kognitif. Dan kalau bayangan Anda perkara ini sebatas urusan kognitif, ujung-ujungnya Anda bakalan mengobral label "bebal" atau "kadrun" bagi yang tidak mau mendengarkannya.
Tetapi, perkara kemantapan sudah soal lain lagi. Ini soal kebiasaan; kebiasaan itu membentuk kenyamanan, dan itu semua urusan perasaan. Dan kalau sudah urusan perasaan, tak bedanya kegalauan Anda pada puber kedua, apa bisa dibereskan dengan logika?
Lalu, dapatkah Anda bayangkan orang yang sejak remaja sampai puluhan tahun setelahnya tidak pernah bolong salat Jumat satu kali pun, seumur hidup tidak pernah bepergian ke mana-mana sehingga tak pernah pula berstatus musafir yang boleh meninggalkan jumatan, tiba-tiba disuruh berhenti dulu dari ibadah super-penting bagi laki-laki muslim itu?
Sekali lagi, ini perkara kemantapan hati. Aturan fikih terkait keringanan ibadah sering kali tidak mampu merobohkannya. Apalagi kemudian tersebar video-video dari tokoh agama yang mungkin disalahpahami makna utuhnya, dan akhirnya malah video-video itu dijadikan legitimasi untuk menolak langkah-langkah rasional sesuai saran para ahli Corona.
Nah, untuk menghadapi yang begini-begini, kita sulit mengandalkan fatwa ahli medis atau akademisi. Yang kita butuhkan adalah fatwa otoritas kultural, atau otoritas spiritual. Mereka punya kekuasaan di dimensi perasaan kolektif publik awam. Percayalah, untuk sebuah skema gerak cepat, yang seperti itu lebih efektif daripada kekuasaan pengetahuan.
Makanya, ketika ada otoritas spiritual mengeluarkan pernyataan yang justru digunakan oleh banyak orang awam untuk melegitimasi berlanjutnya acara masjid yang mendatangkan banyak orang, saya coba memberikan masukan terbuka sesopan-sopannya.
Hasilnya, para pengikut otoritas spiritual tersebut pada tersinggung dan marah kepada saya. Itu memang menyebalkan, tapi justru terbuktilah: otoritas spiritual tersebut memang dipuja, dan pemujaan itu sama dan sebangun dengan kekuatan luar biasa untuk mengendalikan massa yang besar secara sangat efektif, di kala situasi semakin genting dan kita sulit percaya sepenuhnya kepada negara.
Benteng lapis ketiga adalah oligarki kampung dan kepentingan-kepentingan eksistensial mereka. Tolong jangan membayangkannya terlalu politis. Ini cuma soal psikologis.
Kepada beberapa kawan yang pindahan ke tempat tinggal baru di kampung-kampung, saya pernah memberikan saran untuk bersikap hati-hati dalam soal-soal begini. Misalnya, jika Anda pendatang baru di sebuah desa, lalu di forum RT Anda sudah senang bicara, dengan konten pembicaraan yang hebat pula, itu berbahaya.
Kenapa? Sebab sebelum Anda datang, pasti sudah ada tokoh setempat yang sangat didengarkan kata-katanya. Jika Anda belum satu dekade tinggal di situ dan tiba-tiba sudah merebut perhatian audiens, artinya Anda merebut pula wilayah kekuasaan orang lama.
Bukan cuma soal bicara. Jika Anda orang saleh, dan sebagai pendatang baru tiba-tiba Anda datang awal ke masjid lalu ambil mikrofon buat azan, ketambahan lagi suara azan Anda pun semerdu Muzammil Hasballah, itu juga membentuk pola kasus yang sama.
Sebelum Anda datang, sangat mungkin ada orang yang secara tidak resmi sudah menjadi muazin tetap di kampung selama bertahun-tahun. Bisa jadi, azan dan iqamat adalah satu-satunya ruang aktualisasi dirinya. Bayangkan jika ruang itu lenyap karena Anda kangkangi. Jangan kaget jika esok pagi dia sudah datang ke masjid sejak jam tahajud, hanya agar Anda tidak mendahuluinya mengambil mikrofon lalu azan Subuh dengan suara Anda yang kemuzammil-muzammilan itu.
Nah, demikian juga dalam kasus Corona ini. Realitasnya, ada sosok-sosok yang selalu mendapatkan ruang-ruang eksistensial itu dalam acara-acara keagamaan. Mereka senantiasa tampil di situ, rutin memberikan sambutan, ditaati oleh segenap panitia pelaksana, disebut namanya dengan takzim oleh para pembicara. Bayangkan jika ruang itu harus hilang karena Corona, lantas apa yang akan terjadi pada kehidupan sosok-sosok itu?
Kita tak bisa menganggap yang seperti itu soal remeh belaka. Tanpa harus bertanya kepada Abraham Maslow pun kita tahu itu manusiawi, dan bukan mustahil situasi psikologis seperti itu pula yang kelak selepas pensiun akan terjadi pada diri Anda. Hehehe.
Lalu bagaimana?
***
Saya mengirimkan satu video lagi kepada Pak Gi. Itu video bagus, yang mungkin akan bermanfaat bagi pengetahuan banyak orang akan ancaman wabah Corona.
"Di-share ke WAG kampung saja, Mas," kata Pak Gi lewat teks Whatsapp-nya.
"Aduh, saya sudah tidak berani, Pak." Beneran, lama-lama saya memang sungkan, bahkan takut dengan risiko-risiko sosial akibat terlalu cerewet padahal bukan siapa-siapa.
"Sama, Mas. Saya juga sudah nggak berani." Pak Mugi menjawab lirih. Tentu saya tidak bisa mendengar suara lirihnya, namanya juga cuma via Whatsapp. Tapi saya sangat bisa membayangkannya.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)