Virus Corona Covid-19 ini tidak boleh dianggap remeh. Contoh kasus di negara lain seharusnya sudah bisa memberi pelajaran pada kita. Di awal-awal wabah masih banyak orang, termasuk pejabat negara, yang meremehkannya. Di antara hal yang menjadi sebab dianggap remehnya penyakit ini adalah ancaman kematiannya yang dianggap rendah. Di China misalnya, dari 81 ribu orang yang positif tertular, korban meninggal "hanya" sekitar 3200 orang, atau sekitar 4%.
Di Jepang dan Korea angkanya lebih rendah lagi. Total jumlah pasien meninggal dibanding yang tertular di Jepang hanya sekitar 2,9%. Korea Selatan lebih rendah lagi, sekitar 1,1%. Tapi keadaannya jadi sangat berbeda bila kita lihat di Iran dan Italia. Di Iran ada 7,7% orang yang meninggal dibanding dengan jumlah orang yang positif tertular. Di Italia ada 9,2% pasien positif tertular yang meninggal.
Italia saat ini adalah negara dengan keadaan paling parah, setelah China berhasil mengatasi situasi. Setelah tertular paling parah dengan jumlah pasien positif 81.054 orang, di China sekarang tak ada lagi penambahan pasien baru. Sudah ada 72.440 orang yang dinyatakan sembuh. Sekali lagi, penyakit ini bisa disembuhkan. Asal pasien ditangani dengan cepat dan benar.
Apa yang membuat situasinya berbeda sangat dramatis dari satu negara ke negara lain? Pertama, kesiapan penanganan medis. Kedua, perilaku penduduk. China memiliki keduanya. China adalah sumber penyakit ini. Mereka tidak sadar ada bahaya mengancam, sampai diketahui menjadi wabah. Banyak orang yang tertular tapi tidak sadar, dan mereka berkeliaran ke seluruh penjuru dunia, menyebarkan penyakit. Tapi begitu disadari, pemerintah bertindak cepat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan sumber daya berskala serba raksasa, mereka bergerak cepat. Penduduk juga dengan disiplin tinggi mematuhi berbagai ketetapan pemerintah. Hasilnya, dalam waktu 2 bulan masalah bisa diatasi.
Bagaimana dengan kita? Mari dengan jujur mengakui bahwa kita punya begitu banyak keterbatasan. Dalam hal jumlah tempat tidur rumah sakit, kita hanya punya 1,2 tempat tidur per 1000 penduduk. Itu termasuk rendah untuk ukuran ASEAN sekali pun. Di China angkanya 4,34, dan yang paling tinggi di dunia adalah Jepang, yaitu 13,05.
Artinya, bila penyakit ini menyebar cepat, kita akan sampai pada suatu titik di mana kapasitas pelayanan medis kita menjadi jauh dari cukup. Dalam situasi itu akan banyak orang yang positif tertular, tapi tidak bisa ditangani. Berkaca dari pengalaman Italia yang punya kapasitas pelayanan medis yang jauh lebih baik dari kita, namun ternyata kewalahan, kita bisa jadi akan berhadapan dengan keadaan yang jauh lebih buruk.
Mengapa Italia bisa demikian buruk? Karena menganggap remeh penyakit ini. Gubernur Lombardy, daerah yang jadi pusat wabah di Italia sempat mengatakan bahwa penyakit ini "sedikit lebih buruk daripada flu". Ia menganggap tak perlu mengambil tindakan khusus. Petinggi partai berkuasa di Italia Nicola Zingaretti dengan pongah memamerkan foto dirinya sedang minum bersama teman-temannya, dan menyerukan agar orang-orang tak perlu mengubah kebiasaan, karena tak ada yang perlu ditakuti. Kini ia sendiri sudah dinyatakan positif tertular.
Dalam berbagai hal situasinya mirip dengan Indonesia sebulan yang lalu. Saat itu masih banyak orang Indonesia, termasuk pejabat negara, yang yakin bahwa orang Indonesia kebal Corona. Bahkan ada yang sempat melontarkan candaan. Mirip dengan Zingaretti tadi, ia kini juga tertular.
Sekarang kita sudah berada dalam situasi serius. Angka pertumbuhan pasien positif sudah 80-an per hari. Dalam waktu singkat angka itu akan melampaui 100. Angka 2000 atau 3000 pasien tertular sudah bisa dibayangkan akan tercapai dalam waktu dekat.
Apa yang sedang terjadi? Ada sejumlah orang yang sudah tertular tapi tidak sadar, karena tidak merasakan gejala khusus. Ia beraktivitas seperti biasa, menularkan virus yang ia bawa kepada banyak orang. Andaikan satu orang menularkan virus kepada 4 orang saja, lalu setiap orang dari 4 orang ini menularkan kepada 4 orang lagi, dalam sekejap sudah 21 orang yang tertular. Kalau ini berlanjut, dalam sekejap jumlahnya akan menjadi 85.
Pada tahap berikutnya angka itu akan membengkak jadi 425. Lalu 2125. Kalau kita buat grafik, akan terlihat pertumbuhannya begitu menjulang. Padahal faktanya, kalau tidak dikontrol sama sekali, potensi penularan oleh satu orang jauh di atas angka 4 tadi. Karena itu grafik penambahan jumlah orang yang tertular di berbagai negara tampak seragam, yaitu menjulang tinggi tadi.
Apa yang bisa dilakukan? Inilah pentingnya bagi setiap orang untuk tinggal di rumah. Kalau tinggal di rumah, orang yang tertular tidak akan menyebarkan penyakitnya pada orang lain. Ia sakit, diisolasi, dan disembuhkan. Anggota keluarganya juga akan diperlakukan sama. Jumlah pasien tertular tidak akan bertambah.
Masalah kita, terlalu banyak orang yang bandel. Terlalu banyak orang yang melawan. Terlalu banyak orang yang yakin bahwa dia tidak akan tertular. Konyolnya, keyakinan itu bersumber dari kelompok-kelompok agama. Ini ironi. Di Saudi Arabia, pusat peribadatan umat Islam, yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi segera ditutup begitu dirasakan ada ancaman virus ini. Demikian pula kota suci Vatican.
Artinya, ada alasan yang sangat kuat untuk tidak melakukan interaksi dan kumpul-kumpul, dan alasan itu dibenarkan oleh agama. Tapi di sini orang masih bandel, menganggap bahwa agama memerintahkan sebaliknya. Jangan takut pada virus Corona, kata mereka. Kalau ini dibiarkan, apa boleh buat, kita mungkin akan mengikuti jejak Italia. Tanda-tandanya sudah terlihat sekarang. Angka kematian pasien untuk saat ini sudah lebih tinggi dari angka pasien yang sembuh.
Kita tidak akan mungkin melakukan lock down. Kita tidak punya cukup perbekalan untuk melakukan hal itu. Tingkat kepatuhan warga juga sangat tidak memungkinkan untuk lock down. Yang bisa dilakukan hanyalah melakukan penjarakan sosial. Efektivitasnya akan jauh di bawah lock down. Artinya, masa penjarakan sosial ini akan lama. Dalam situasi itu akan banyak orang yang tak sabar, karena kehilangan penghasilan, bosan, dan sebagainya.
Masalahnya adalah kita tidak punya cara lain. Sekali lagi, tidak ada cara lain. Ringkasnya, kita harus berkorban sekarang. Kalau tidak, kita akan berkorban lebih besar lagi. Makin lama kita enggan berkorban, potensi korban akan jauh lebih besar lagi.
Disiplin kita saat ini akan menentukan berapa lama kita akan berada dalam kondisi krisis ini. Juga akan menentukan berapa banyak korban jiwa yang akan jatuh. Ini harus disadari oleh sebanyak mungkin orang, dan sebanyak mungkin orang harus menyadarkan sebanyak mungkin orang-orang di sekitarnya.