Setiap ajaran agama, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial selalu memiliki tujuan yang dikenal dengan istilah maqashid al-syariah.
Maqashid al-syariah adalah untuk mendatangkan sebanyak mungkin kemaslahatan dan menghidarkan dari kemudaratan. Namun dalam merealisasikan maqashid tersebut dibutuhkan kemampuan untuk mengelompokkan tingkatan maqashid-nya, sebab tidak semua maqashid setingkat dan sederajat. Ada tiga tingkatan maqashid yaitu dharuriyyah/primer, hajiyyat/sekunder, dan tahsiniyat/tersier.
Ketiga tingkatan itu harus secara hierarkis atau berurutan didahulukan. Selanjutnya tiga tingkatan tersebut mengandung lima hal yang wajib dijaga yaitu hifz al-din atau menjaga agama, hifz al-nafs atau menjaga jiwa/nyawa, hifz al-aqal atau menjaga akal, hifz al-nasal atau menjaga keturunan, dan hifz al-maal atau menjaga harta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penjagaan terhadap lima hal tersebut harus berurutan pula. Penjagaan terhadap agama harus didahulukan daripada penjagaan terhadap empat lainnya, sedangkan penjagaan jiwa harus didahulukan daripada penjagaan tiga lainnya, begitulah seterusnya.
Namun dalam mempraktikkan penjagaan pada lima hal tersebut harus tetap mempertimbangkan urgensi masing-masing. Misalnya, menjaga agama bisa dibelakangkan daripada menjaga harta bila tingkatan menjaga harta masuk dalam ketegori dharuriyyah/primer, sedangkan menjaga agama masuk kategori hajiyyat/sekunder atau tahsiniyyat/tersier.
Oleh karena itu, menyikapi kian masifnya pandemi virus corona MUI mengeluarkan surat edaran Komisi Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Fatwa tersebut mendapat sambutan yang beragam di masyarakat, ada yang menyambut baik dan ada pula kelompok yang menolak, bahkan terkesan menantang.
Ada dua poin utama yang mendapat sorotan dari masyarakat, yaitu pembatasan Salat Jumat dan salat berjamaah di masjid.
Fatwa MUI pada poin pertama sangat gamblang menyebutkan pertimbangan maqashid al-syariah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana operasionalnya ibadah dalam keadaan pandemi corona saat ini?
Sebelum keluarnya fatwa MUI, media sosial dihebohkan dengan foto dan video orang yang salat berjamaah di masjid yang cukup renggang. Respons di netizen pun meragam, ada yang membenarkan, ada pula yang mencaci maki, bahkan mengaitkan dengan aliran sesat.
Dalam sebuah Grup WA pondok pesantren pun muncul pertanyaan yang sama 17 Maret lalu. Saya kemudian menjawab:
Ini bila ditinjau dari sisi Maqashid al-Syariah maka sudah sangat jelas bahwa shaf seperti itu boleh dengan pertimbangan bahwa menjaga agama dengan salat berjamaah yang sunah masuk dalam tingkatan tahsiniyyat/tersier, sedangkan menjaga jiwa untuk terhindar dari penyebaran virus corona yang mematikan masuk dalam tingkatan dharuriyyah/primer. Jangankan format shaf, larangan salat berjamaah di masjid saja sudah bisa ditetapkan bila dalam keadaan seperti ini.
Begitu halnya dengan Salat Jumat; posisi Salat jumat memang wajib bagi muslim laki-laki, tetapi ada uzur yang dapat memperbolehkan untuk ditinggalkan --rukhsah atau keringanan-- tidak melaksanakannya. Sehingga Salat Jumat dalam hal ini masuk dalam ketegori hajiyyat/sekunder; kewajibannya tidak sekuat dengan salat fardhu yang masuk kategori dharuriyyat/primer, sedangkan potensi penularan Covid-19 sangat besar karena terjadi perkumpulan jamaah yang besar yang bila tertular dapat mengancam jiwa, sehingga bila dilihat dari skala prioritas sudah sangat jelas bahwa kategori dharuriyyah diprioritaskan dari kategori hajiyyat/sekunder.
Fatwa MUI sudah sangat jelas, tidak ada larangan beribadah, yang ada larangan untuk tidak melaksanakan ibadah yang melibatkan banyak orang yang sangat berpotensi untuk terjadinya penularan. Silakan beribadah sekuat tenaga dan selama mungkin sepanjang tidak melibatkan orang lain karena kaidah mengatakan, "Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh ada pembahayaan."
Pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang utuh dan komprehensif sangat dibutuhkan saat ini, bukan sekadar mendahulukan ego dan keyakinan, karena menghindari virus merupakan bagian dari pengamalan ajaran agama kita.
Muhammad Ali Rusdi Bedong dosen IAIN Parepare
(mmu/mmu)