Untuk mengetahui orang positif virus corona perlu dilakukan pemeriksaan dan pendeteksian dini. Hal ini bertujuan agar jika ada kasus baru untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari virus corona ke orang lain. Logikanya, ketika kita mengetahui deteksi secara cepat, maka penanganannya bisa lebih cepat pula (tidak terlambat).
Sejauh ini metode mendeteksi virus maupun bakteri yang sudah ditemukan adalah dengan cara menggunakan mesin Real-Time Reverse Transcriptase (RT)-PCR maupun real-time PCR. Teknologi ini sudah cukup terkenal dan mungkin sebagai satu-satunya alat yang dapat dibilang paling valid. Sehingga sering dipakai acuan di semua rumah sakit maupun laboratorium. Sementara tes memakai metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berbasis plat juga masih merupakan standar umum untuk mendeteksi patogen.
Meskipun mesin PCR cepat dan akurat, namun selain harganya mahal --sekitar 20.000 sampai di atas 70.00 USD (tergantung modelnya)-- tentu juga dibutuhkan operator yang sudah terlatih, masih melalui protokol atau tahapan yang panjang, tidak bisa dibawa ke mana-mana terutama daerah terpencil, maka dapat dikatakan kurang user friendly alias tidak semua orang bisa menggunakan alat ini.
Era sekarang ini banyak peneliti beralih ke diagnostik berbasis kertas (paper-based). Teknologi point-of-care (POC) ini telah merevolusi kesehatan global dengan meningkatkan akses dan efisiensi, dari awalnya menguji dengan alat laboratorium yang rumit menjadi sangat simpel. Lateral Flow Assay (LFA) adalah salah satunya.
Teknik ini merupakan perangkat kertas mikofluida saluran tunggal yang mendeteksi antigen patogen atau respons antibodi host, telah memendekkan dan menyederhanakan banyak proses diagnostik yang diperlukan untuk deteksi patogen bakteri maupun virus.
Selain itu secara pembiayaan lebih murah, stabilitas device jangka panjang, dan kemudahan penggunaan tanpa keahlian khusus, serta bisa dipakai di mana saja. Sehingga lebih menguntungkan dibanding dengan alat atau teknologi konvensional.
Oleh karena itulah banyak kalangan termasuk saya dan kolega di Laboratorium Sensor Teknologi, KMUTT Bangkok, Thailand tempat kami melakukan riset, ada diskusi dan muncul gagasan terkait tawaran solusi dalam permasalahan ini. Jumat (6/3) lalu seperti biasa kami ada agenda dua mingguan berupa lab meeting. Salah satunya menyinggung soal wabah virus corona yang tengah menyebar di semua benua ini. Sekaligus membicarakan konsep diagnosis dini yang bisa dilakukan secara langsung di tempat (on-site), tanpa harus membawa pasien ke rumah sakit atau ke laboratorium.
Diperlukan sebuah membuat alat deteksi atau diagnosis kit yang murah, tapi juga cepat dan akurat. Sebenarnya ada dua pilihan selain bisa memakai lateral flow assay (LFA) seperti alat deteksi kehamilan atau microfluidic paper analytical devices yang mana keduanya berbahan dasar kertas khusus dengan diberi treatment tertentu dan mengandung komponen di setiap bagian pendekteksinya.
Perbedaannya hanya pada desain dan konsep aliran sampel sampai ke absorbant pada saat melewati channel atau hanya detection pad biasa. Hasil sampel dapat diketahui positif atau negatif dengan mata telanjang berdasarkan perubahan warna atau munculnya sinyal (optical assay), dikarenakan adanya kecocokan sequence DNA pada sampel yang berikatan dengan complementary DNA-nya di bagian Test Line atau Control Line.
Warna yang muncul didapatkan dari reporter DNA yang membawa nanopartikel emas sebagai label. Adapun untuk metode sandwich immunoassay bisa memakai antigen dan antibody tergantung metode dan desain penelitian dalam men-develop alat ini.
Kabar baiknya, informasi yang saya ketahui dari beberapa artikel penelitian tahun ini, untuk sequence dan strain primer virus corona terbaru (Covid-19) ini sudah ditemukan oleh beberapa ilmuwan di China Science Par Excellence. Mereka melakukan identifikasi virus corona dengan teknologi molekuler terbaik (Next Generation Sequencing) untuk pengembangan selanjutnya, yakni uji diagnosis dengan real-time PCR.
Hasil kerja mereka juga sudah dipublikasikan di The Lancet Journal dan disampaikan protokol diagnostiknya ke WHO agar negara lain di dunia segera menyiapkan laboratorium masing-masing untuk melakukan skrining. Sehingga populasi yang terjangkit virus corona bisa dibedakan secara spesifik dari kasus pernapasan biasa.
Sebuah media berita di Tiongkok --kurang lebih jika saya terjemahkan-- telah melaporkan bahwa Universitas Kedokteran Chongqing dan Boosses Biotechnology berhasil mengembangkan kit imunodiagnagnostik 2019-nCoV. Proyek ini dipimpin oleh Profesor Huang Ailong, Ketua Cabang Mikrobiologi dan Imunologi Asosiasi Medis Tiongkok dan Direktur Eksekutif Laboratorium Kunci Biologi Molekuler Penyakit Menular yang bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan melalui Universitas Kedokteran Chongqing, Laboratorium Nasional untuk Jaringan Darurat Keamanan Hayati dari Kementerian Kesehatan, dan Boosses Biotechnology.
Mereka bersama-sama membentuk Tim Riset Ilmiah dan Teknologi Darurat untuk Pencegahan dan Pengendalian Epidemi untuk melakukan penelitian dan pengembangan. Setelah puluhan personel ilmiah dan teknis bekerja siang dan malam, mereka bekerja keras dan berhasil mengembangkan kit immunoassay chemiluminescence virus corona (2019-nCoV).
Tetapi dari pihak WHO maupun Centers for Disease Control and Prevention (CDC) belum mendapatkan laporan resmi apakah penemuan ini benar adanya. Dikarenakan sampai saat ini banyak juga rumor yang beredar terkait penemuan vaksin virus corona, seperti yang diklaim oleh para ilmuwan di Galilee Research Institute atau yang dikenal sebagai MIGAL, sebagaimana dilaporkan Jerusalem Post (2/3).
Saya yakin banyak akademisi baik di Indonesia dan luar negeri termasuk Tiongkok sendiri pasti tengah berembuk dan saling mendiskusikan akan hal ini. Berlomba-lomba ataupun berkolaborasi bersama untuk menemukan baik itu vaksin maupun alat pendeteksi yang sederhana (equipment free) dan portable. Kalau dalam bahasa WHO-nya adalah terjangkau (affordable) dan bisa dibawa ke mana-mana (deliverable).
Jika nanti sudah ditemukan tentu harus diverifikasi secara klinis baik oleh rumah sakit juga lembaga yang bertugas mengevaluasi dan memvalidasi alat medis. Sehingga apabila prosentase hasil uji kevalidannya di atas 95% bisa layak di-approve.
Adapun cara pengujiannya, sampel uji Covid-19 yang digunakan dengan spesimen pernapasan atas dan bawah yang dikumpulkan dari orang yang memenuhi kriteria pengujian dan pemantauan selama masa inkubasi 14-28 hari. Tes menggunakan LFA ini setidaknya dapat memberikan hasil dalam 15-30 menit dan sekitar satu jam dari pemrosesan sampel awal hingga hasil, itu sudah sangat bagus dan bisa dikatakan sebagai rapid diagnostic test.
Menurut website pusat pengendalian dan pencegahan penyakit (CDC) di USA, ketika alat kit diagnostik dinyatakan lolos uji klinis lalu dipatenkan, sudah bisa didistribusikan dan digunakan secara masal asalkan telah mengikuti standar The US Food and Drug Administration (FDA) dan surat/sertifikat layak penggunaan sudah dikeluarkan oleh Emergency Use Authorizationexternal (EUA). Sehingga dapat membantu dan mempermudah negara-negara untuk mendeteksi dini virus corona.
Harapannya, semoga semua yang saya ulas dan paparkan di atas bukan hanya sekadar konsep atau teori belaka. Namun sesegera mungkin dapat ditemukan dan tercipta untuk melawan virus corona agar lekas enyah dari permukaan bumi.
Muhammad N Hassan salah satu peneliti dan inventor low cost device untuk diagnosis penyakit dengan teknologi nanosains di Laboratorium Sensor, KMUTT Bangkok
(mmu/mmu)