Awalnya adalah panggilan video dari adik saya yang sedang berada jauh di sana. Sambil menggendong anaknya, alias cucu terkecil Mak'e, adik saya menyapa. Jawaban dari seberang layar begitu riang gembira. "Halo Baiiim! Wowo lagi siap-siap mau pengajiaaan!"
(Mak'e membahasakan dirinya di hadapan para cucu dengan sebutan Wowo. Tenang, itu bukan panggilan untuk Prabowo, melainkan dari kata mbok wo; panggilan yang nyaris punah untuk "ibu tua" alias nenek.)
Kontan adik saya kaget. "Maaaak! Lha kok masih mau pengajiaaan?! Jangan pergi ke mana-mana duluuu! Apalagi kumpul ramai-ramaiii!"
Sebenarnya, hari sebelumnya adik saya sudah mewanti-wanti Mak'e agar sembahyang di rumah saja, tidak usah ke masjid. Tapi sepertinya Mak'e belum cukup ngeh dengan komando itu.
Barulah ketika ditegaskan ulang, akhirnya Mak'e menurut. Maka, pagi kemarin Mak'e datang ke rumah kami sudah dengan masker rapat, cuma untuk membawa sedikit jajanan seperti biasa, lalu pamit pulang lagi dan bilang tidak akan keluar rumah hingga empat belas hari.
Untunglah adik saya punya dua kualifikasi ini: dia tenaga medis, dan cukup salehah secara agama. Itu membuat dia tampil otoritatif di hadapan Mak'e. Mak'e jadi percaya dengan kata-kata adik saya untuk dua urusan, yaitu pertimbangan ilmiah kesehatan, sekaligus pertimbangan kemudahan dalam pelaksanaan keyakinan.
Saya agak sulit membayangkan kalau yang bilang "jangan pengajian dulu" itu saya, anak lelakinya. Saya bukan tenaga medis, cuma tenaga sastra (!), itu pun nggak cukup punya reputasi dalam kesalehan agama. Pasti Mak'e mengira saya sok tahu, dan pendapat dalam soal agama akan dikira hanya berbasis kemalasan alih-alih pemahaman.
Meninggalkan masjid dan pengajian bukan soal sepele bagi Mak'e. Hanya itulah jenis-jenis aktivitas yang dia jalankan secara sangat serius selepas pensiun. Tentu saja motivasi ibadah adalah hal utama. Tak ada apa-apa lagi yang dia harapkan dalam hidup ini, selain melihat anak-cucunya tenteram dan bahagia, dan dia sendiri bisa menabung banyak-banyak untuk perjalanan ke akhiratnya.
Itu satu hal. Hal lain, kehidupan sosial memang jadi penolongnya dalam menjalani waktu. Itulah kenapa, meskipun dia tahu bahwa seorang perempuan tidak diharuskan sembahyang berjamaah di masjid, dia tetap rutin melakukannya. Berjumpa dengan tetangga, berbincang-bincang selepas salat, lalu mengaji bersama terutama dengan rekan-rekan sebayanya, adalah hiburan tiada duanya.
Saya pernah menyimak "eksperimen alami" ketika situasi berjalan sebaliknya. Waktu kami masih tinggal sementara di Australia, Mak'e kami ajak beberapa bulan ikut serta. Di sana, pengajian memang ada dalam komunitas muslim Indonesia, tapi sebulan sekali saja. Sementara, di kampung Mak'e, setiap Sabtu pagi pasti ada, bahkan sering dalam sepekan ada dua.
Belum lagi salat berjamaah di masjid. Ada juga sih masjid di Australia, tapi jauh sekali dari tempat tinggal kami. Saya lebih sering malas mengantarkannya. Apalagi buat mengobrol dengan tetangga pun mustahil. Tetangganya ada, tapi bahasanya yang tidak bisa.
Hasilnya, di negeri asing itu Mak'e tampak pucat, kuyu, tidak bersemangat, dan seperti menahan beban berat.
Kehidupan sosial memang menjadi salah satu sendi pokok kehidupan masyarakat kita. Kita ini bangsa komunal, dan banyak di antara kita tidak bisa hidup tanpa menjalankan interaksi-interaksi dalam ranah komunal.
Bahkan buat saya sendiri yang tidak komunal-komunal amat ini, akhir pekan kemarin saya masih harus datang ke pertemuan RT, lalu ronda malam Minggu, dan esok paginya kerja bakti bebersih kampung. Di acara-acara itu pun saya tak mungkin menghindari bersalaman, tidak bisa seperti Pangeran Charles yang di acara Prince's Trust Awards tiba-tiba menarik tangan lalu melakukan salam namaste. Tidak bisa. Nah, apalagi emak saya, dan orang-orang dusun seusianya.
Komunalitas semacam itu menjadi sumber kebahagiaan, dan konon meningkatkan harapan umur panjang. Saya pernah menyimak laporan betapa banyak orang Australia yang mati depresi akibat kesepian. Pernah juga saya membaca buku Malcolm Gladwell yang di dalamnya dinukil satu cerita tentang koloni orang Italia di Amerika, dan para penghuninya disebut "mati hanya karena tua" saking sehatnya. Usut punya usut, kehidupan mereka hangat sekali antar-tetangga.
Tentu, karena saya ingin Mak'e juga berumur panjang, saya selalu mendukung segenap aktivitas sosialnya. Masalahnya, yang saya hadapi ada dua, sebagaimana saya ceritakan tadi: urusan kebahagiaan, dan urusan agama.
Terkait urusan kebahagiaan, mudah-mudahan saya bisa menego emak saya. Toh di hari-hari ini tak ada orang yang menjadikan sisi kebahagiaan sebagai prioritas utama. Tapi untuk urusan agama, itu yang rumit.
Mak'e sudah mendapatkan fatwa langsung dari sosok yang dia percaya, yaitu adik saya, dan untunglah Mak'e sepertinya percaya. Tapi bagaimana dengan banyak orang awam lainnya? Apakah Anda kira dengan gampang mereka diberi pandangan "boleh tidak ke masjid saat darurat dan ada ancaman keselamatan diri", lalu semuanya menurut begitu saja?
Tidak semudah itu. Selain urusan keyakinan, agama juga urusan kebiasaan dan kenyamanan perasaan. Kalau selama 50 tahun Anda disiplin salat berjamaah di masjid, apa bisa dalam dua pekan penuh meninggalkannya? Atau, kalau selama belasan tahun Anda bersembahyang dalam saf-saf yang rapat, dengan sugesti bahwa celah-celah saf yang renggang akan dimasuki setan, apakah Anda akan bisa tiba-tiba mengambil jarak satu meter dengan anggota jamaah di sebelah kiri dan kanan Anda? Lagi-lagi, tidak semudah itu.
Masalah kian rumit ketika beberapa pendapat keagamaan yang muncul di berbagai edaran terasa tidak cukup tegas. "Boleh meninggalkan salat Jumat dan salat berjamaah di masjid jika berada dalam keadaan darurat, dalam keadaan sakit, atau dalam situasi yang mengancam keselamatan diri." Demikianlah fatwa-fatwa itu tersebar.
Kalimat model demikian sangat memancing subjektivitas, klaim-klaim sepihak, bahkan egoisme. Banyak orang yang kemudian menyikapinya dengan, "Ah, aku nggak sakit. Aku juga tidak merasa terancam. Berarti ini sama sekali bukan kondisi darurat. Lebih dari itu, semuanya kuserahkan kepada Allah Subhanahuwata'ala."
Lebih parah lagi jika kemudian muncul perasaan (yang lagi-lagi bersifat komunal) bahwa orang yang merasa takut keselamatannya terancam di hari-hari ini hanyalah orang yang penakut, kurang berserah diri, dan lebih takut kepada virus serta kematian ketimbang kepada Allah. Ujungnya jadi satu keyakinan bahwa lebih baik mati dalam kondisi tekun beribadah di masjid daripada mati tapi jauh dari masjid. Duh, mampuslah kita.
Dari skema kekhawatiran yang saya gambarkan barusan, tampak satu sisi yang dalam pengamatan saya belum ditegaskan oleh fatwa-fatwa ulama tadi, yaitu "ketika orang berkumpul, berkerumun, dan berdesak-desakan, dalam salat berjamaah maupun pengajian, potensi kita bukan cuma tertulari, melainkan juga menulari."
Kita sudah mendapatkan informasi bahwa virus Corona bukan cuma bisa dibawa oleh orang yang merasakan gejala sakit, namun juga sangat bisa dihantarkan oleh orang-orang yang sama sekali tidak merasa sakit. Pendek kata, ketika seorang jamaah masjid yang merasa sehat datang salat Jumat, dia mungkin tidak tertulari, namun bisa saja dia menjadi perantara penularan dari seorang relasinya (yang diam-diam terinfeksi) kepada orang yang bersinggungan dengannya saat salat Jumat bersama.
Lalu, sudahkah ada fatwa keagamaan yang mengatakan "boleh tidak Salat Jumat dan salat berjamaah di masjid karena bisa jadi kita sedang menularkan virus mematikan bagi orang lain?"
Jika sudah ada, cukup kuatkah otoritas keagamaan yang menyampaikannya? Jika sudah kuat, ada berapa otoritas yang bersuara, mengingat tidak ada otoritas tunggal dalam pandangan keislaman bagi muslim Indonesia yang pemahamannya beraneka warna?
Inilah yang sebenarnya sedang dibutuhkan oleh publik luas muslim Indonesia pada hari-hari ini, termasuk orang-orang seperti emak saya. Situasi sekarang adalah tantangan agar otoritas keagamaan bersinergi dengan otoritas keilmuan. Pertanyaannya: bisakah, dan maukah?
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)