Sumur Ajaib "Salama" di Samasundu
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Perjalanan

Sumur Ajaib "Salama" di Samasundu

Sabtu, 14 Mar 2020 13:05 WIB
Setia Naka Andrian
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
sumur tua
Foto: Setia Naka Andrian
Jakarta -

Sabtu, 25 Mei 2019, saya diantar bersama tiga teman pegiat literasi yang kerap berkeliling di Sulawesi Barat. Mereka adalah Muhammad Munir, Thamrin Uai Randang, dan Amir Hamzah. Saya diajak mereka untuk menyinggahi sebuah sumur tua yang akan meluap airnya saat kemarau dan akan mengering ketika musim hujan tiba. Sumur tua itu ada di Desa Samasundu, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Kaki saya melangkah menuju area sumur itu. Sejak perjalanan, sebelum kami sampai, saya telah disirami pecahan kisah tentang sumur tua di Samasundu ini. Orang Mandar menyebutnya sumur To Salama (Orang yang Selamat). Sehingga tak ayal, saat turun dari kendaraan, saya langsung melangkah. Seolah kaki ini melangkah dengan sendirinya. Sejak perjalanan pun, pikiran saya seakan lari duluan, jauh meninggalkan tubuh saya ini.

Saya sungguh penasaran. Lekas ingin menghampiri betapa sumur tua, Sumur To Salama itu, sumur yang akan meluap airnya saat kemarau dan akan mengering ketika musim hujan tiba. Tak kusangka, sumur yang tak besar. Hanya diameter kecil, tak lebih satu meter. Namun sungguh, ada 61 pipa yang menyelam ke sumur itu. Bertahun-tahun, pipa-pipa itu melindungi gerakan air-air atas tarikan pompa air yang juga 61 buah itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ya, pompa-pompa air itu tertata tak rapi di bawah langit-langit atap yang meneduhkan sekitaran lokasi sumur. Namun pompa-pompa air itu begitu tabah, mengangkat air-air dari sumur tua itu, menuju ke rumah-rumah di Desa Samasundu. Ah, tak habis pikir, betapa sumur yang akan meluap airnya saat kemarau dan akan mengering ketika musim hujan tiba. Namun bagaimana lagi, jika ini yang dikehendaki oleh Yang Maha Mengatur segalanya, pastilah semua akan sangat mungkin kita terima.

Saya mendapati seorang lelaki muda yang sedang mandi dan seorang ibu separuh baya mencuci pakaian. Lantas saya menyapa seorang muda itu, dan kami berkenalan. Ia bernama Arman. Tampak sangat menemukan kesegaran saat mengguyur tubuhnya dengan air dari sumur tua To Salama yang menghidupi itu.

ADVERTISEMENT

"Mas, selalu mandi di sini?"

"Ya, setiap hari saya selalu mandi di sini. Banyak warga yang selalu mandi di sini," jawab Arman dengan agak terbata menggunakan Bahasa Indonesia.

Lalu saya berjalan, di sebelah ada seorang ibu setengah baya. Saya berkenalan dan beberapa kali bercakap. Ibu setengah baya yang mengaku bernama Jawang itu sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia; saya dibantu Amir Hamzah untuk menerjemahkannya.

"Dipakai untuk apa saja sumur ini, Bu?" tanya saya, sambil menatap mata ibu itu. Untuk meyakinkan, bahwa saya mengajaknya bercakap. Ibu Jawang menjawabnya pelan dengan bahasa Mandar, lalu Amir Hamzah menerjemahkannya.

"Sumur ini dimanfaatkan kami, warga sini, di Samasundu ini untuk keperluan minum, memasak, juga mandi, dan untuk mencuci pakaian. Itu ada penampungan juga dipakai untuk mandi, mencuci, kalau yang itu yang lebih bersih dipakai untuk keperluan air minum dan memasak. Alirannya sama, namun terpisah. Itu yang lebih bersih," jawab Ibu Jawang, dengan bahasa yang entah, saya hanya bisa mengira saja, selanjutnya menanti penerjemahan Amir Hamzah, yang akhirnya saya tulis dalam percakapan ini.

"Sumur ini merupakan salah satu peninggalan tokoh agama. Ia adalah Puang Langgarang. Ia dikenal masyarakat Mandar dengan sebutan To Salama, yang berarti orang yang selamat," sambung Ibu Jawang. Saya melihat matanya yang masih begitu tajam, meski tubuh sudah nampak menua, dengan lilitan jarit yang dikenakannya saat mencuci beberapa pakaiannya, agaknya selepas ia usai mandi di sumur tua itu.

"Sumur ini selalu memberikan penghidupan bagi warga di sini, Bu?" kembali saya lempar tanya kecil sambil saya lipat satu tangan kiri di atas perut, tangan kanan memegang ponsel, merekam perbincangan kami.

"Ya, kami meyakini segala berkah yang dialirkan melalui air dari Sumur To Salama ini. Air yang yang terus mengalir saat musim kemarau serupa ini, tak akan pernah kering. Sungguh, meski musim kemarau telah tiba, dan melanda kami bertubi-tubi. Sudah sejak dulu, sejak leluhur kami masih mendiami perkampungan ini."

"Namun katanya, segala keberkahan itu masih terus akan mengaliri kehidupan kami, sepanjang waktu, terus-menerus, asalkan kami semua bisa menjaga dan merawatnya dengan sebaik-baiknya, serta tentu, kami semua terus menjauhkan diri darihal-hal pantangan-pantangan. Hal-hal yang buruk tentunya, atau memanfaatkan buruk air dari sumur tua ini," ia berkisah sambil mulai mengemasi pakaian yang baru dicucinya, kemudian tak lama lagi, ia pamit, meninggalkan kami.

Sepertinya ia terburu. "Saya pamit dulu, ya. Anak-anak sudah menunggu saya. Harus lekas memasak," pamitnya pelan.

"Ya, Bu Jawang. Hati-hati..." seru kami pelan dan nyaris bersamaan.

Beberapa saat kemudian, kami beberapa kali berkeliling, meski sekadar untuk menghitung berapa jumlah pipa air yang menyedot sumur tua itu, yang ternyata dalam hitungan salah seorang teman kami, Amir Hamzah, ada 61 pipa yang ditarik melalui pompa-pompa air itu. Kami pun membasuh wajah kami dengan air sumur To Salama itu. Segar, apalagi waktu itu bulan puasa. Dan katanya, air sumur tua itu selain membawa banyak keberkahan, juga diyakini dapat mendekatkan diri dengan jodoh.

Saya saat itu berdoa dalam dada. Betapa beberapa di antara kami ada yang jomblo, semoga lekas menemu jodohnya. Dan di antara kami yang sudah menikah, semoga menemukan jodoh-jodoh lain. Tentunya, bukan jodoh sebatas pasangan semata, namun jodoh yang berarti segala kebaikan-kebaikan yang dapat kami jumpai kelak, selanjutnya, tentu sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Memberi.

Kami selanjutnya pulang, melanjutkan perjalanan lagi. Entah, saya akan dibawa ke mana oleh ketiga teman dari Mandar itu. Mereka yang begitu baik-baik mengantarkan saya menyusur beberapa tempat dalam sisa minggu-minggu akhir keberadaan saya di Mandar.

Dalam perjalanan, Muhammad Munir, jika boleh saya sebut, sejarawan muda Mandar itu berkata, "Sumur tua itu diperkirakan sejak dari masa Kerajaan Balanipa. Yang memposisikan sebagai bapak. Sedangkan, Sendana itu sebagai ibu, Banggai sebagai anak. Tidak ada istilah besar, namun kesepakatan. Sifat keibuan, hubungan kekerabatan di antaranya. Misalnya, Sendana layaknya seorang ibu, ya menyusui, yang mengurus persediaan makanan."

"Lalu Balanipa, sebagai bapak, yang tentu lebih mengatur. Nah, di sini, Banggai, sebagai anaknya. Ini yang justru luar biasa. Yang bakal duluan mati, sederhananya, anak yang bakal duluan membela mati-matian bapak dan ibunya dalam menghadapi musuh. Nah, ini yang terjadi di antara kerajaan-kerajaan itu," tutur Muhammad Munir dalam perjalanan, sambil ia mengemudikan mobilnya membawa kami berkeliling.

"Begitulah kerajaan-kerajaan di Mandar ini. Ada lagi, Malunda, yang tak ikut dalam perjanjian. Sebagian orang Balanipa, berpikir panjang. Itu sikap politiknya. Tak mau ikut dalam perjanjian. Ya, perjanjian Allamungan yang prasati batunya ada di Luyo itu. Padahal secara geografis sangat berdekatan dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Malunda tak masuk dalam federasi itu."

"Coba, itu Ullumanda yang dari gunung sana saja turut serta. Nah, namun kenyataannya tidak sedikit permasalahan yang ada justru selesai di Malunda. Penculikan istri raja Balanipa, misalnya. Ya, terjadi kisruh, yang akhirnya diselesaikan di pemerintahan Malunda. Sungguh, Malunda bisa jadi ditakuti. Ini yang saat ini saya rasa belum ada generasi kawan-kawan Malunda yang fokus menulis dan meneliti itu."

"Dan tentu, segala itu jangan dianggap biasa, ketika Malunda tak masuk dalam federasi itu, dalam perjanjian di Luyo itu. Karena tak bisa kita beranggapan saat itu, tak mungkin juga kan tak ada manusia di situ. Ya, kita tunggu kawan-kawan di Malunda tergerak. Saat ini ya hanya baru satu penulis yang ada, Bustam Basir Maras itu," papar Muhammad Munir dengan begitu serius.

Kami semua menyimak, sesekali Thamrin Uai Randang dan Amir Hamzah menimpali, dan saya hanya mengangguk berkali-kali sambil menyela pertanyaan-pertanyaan kecil.

Selepas pengisahan tentang kerajaan-kerajaan di Mandar itu, obrolan kami nyasar pada gelaran festival yang setiap tahun di antaranya digerakkan oleh kawan-kawan bertiga itu. Ya, tentu niatannya sungguh mulia, Mandar Writers Culture, yang tahun ini berencana mengusung tema putika.

"Putika, yang akan kami angkat. Misalnya di dalamnya ada tentang pencarian hari-hari baik di Mandar. Semoga ini akan menjadi upaya dalam terus-menerus membincang Mandar lebih serius dan lebih ilmiah. Kalau tidak dimunculkan, tidak akan familier di tengah generasi kita. Ini tentu akan menjadi sumber ilmu. Putika mengatur, dipercaya masyarakat, misalnya saat menentukan hitungan hari ketika mau berangkat ke suatu tempat, bepergian, merantau, hingga penentuan tanggal menikah. Menentukan bahwa ini antara pernikahan yang dilangsungkan hari ini, pasti cerai, mati, dan lain sebagainya. Ada hitungannya, termasuk juga perihal kekuatan hari lahir."

Dan pengisahan pun seakan tak ada habisnya, termasuk perihal Mandar Writers Culture. Katanya tahun ini penyelenggaraan kali kedua, dan saya mendapatkan kaosnya yang tahun lalu. Saya rasanya ingin datang, menghampiri gelaran ini karena disampaikan Muhammad Munir bahwasanya nanti akan pula dihadiri oleh penyair Iman Budhi Santosa dari Yogyakarta itu, penyair yang sempat napak tilas di Medini Boja, sebuah kecamatan di Kabupaten Kendal tempat lahir dan tinggal saya hingga saat ini.

Setia Naka Andrian lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang. Peserta program Residensi Penulis Indonesia 2019 Komite Buku Nasional Kemendikbud di Leiden, Belanda. Telah menerbitkan buku puisi berjudul Waktu Indonesia Bagian Bercerita (Penerbit Buku Beruang, 2020

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads