Saya pernah berada di posisi itu, yaitu berperan sebagai orang yang menolak. Itu terjadi pada tahun 90-an, saat saya masih kuliah di UGM. Kampus UGM waktu itu belum punya masjid. Lalu disusunlah rencana untuk membangun masjid di kampus. Mantan Rektor UGM Koesnadi Hardjasoemantri menjadi ketua panitia pembangunan.
Proses pembangunan masjid sebenarnya masih sangat panjang. Tanah yang dicadangkan untuk dijadikan tempat pembangunan masih berupa kuburan. Proses pemindahan tentu akan makan waktu lama. Dalam suasana masih serba tak pasti itu tiba-tiba muncul desas-desus bahwa di lahan yang sama juga akan dibangun gereja.
Kontan waktu itu kami bereaksi menyatakan keberatan. Kami, beberapa orang mahasiswa, pergi ke kantor Rektor untuk menyatakan keberatan. Alasan kami, gereja tidak diperlukan di kampus. Orang Kristen beribadah justru pada hari libur. Jadi mereka tidak membutuhkan gereja di kampus. Berbeda dengan umat Islam yang beribadah pada hari Jumat, dan juga beribadah harian 5 kali sehari. Rektor menyatakan bahwa tidak ada rencana pembangunan gereja. Kami lega.
Kalau saya pikir sekarang, betapa pongahnya kami waktu itu. Kami dengan sok tahu menegaskan bahwa gereja tidak diperlukan di kampus. Siapa kami? Kami yang bukan orang Kristen bisa menegaskan kebutuhan umat Kristen. Kami mereka-reka kebutuhan ibadah mereka, tanpa tahu bagaimana ajaran mereka, dan apa saja kebutuhan mereka.
Tapi memang begitulah adanya sampai sekarang. Orang-orang yang menolak pembangunan gereja umumnya memakai alasan-alasan konyol seperti itu. Ada pula yang memakai alasan hukum, misalnya gereja tidak punya IMB. Coba periksa, berapa persen dari masjid yang ada sekarang yang punya IMB? Konon kurang dari 15%.
Apa masalahnya sehingga orang Islam menolak gereja? Saya kembali mengenang suasana pada tahun 90-an. Sejak saya tiba di Yogyakarta akhir dekade 80-an, saya mengenal satu istilah baru: kristenisasi. Romo Mangunwijaya waktu itu merapikan pemukiman di pinggir Kali Code. Itu salah satu simbol gerakan kristenisasi. Yogya waktu itu digambarkan sedang dikepung kristenisasi. Orang-orang berbondong-bondong masuk Kristen. Konon kabarnya, ada banyak desa yang berubah dari desa muslim menjadi desa Kristen.
Bukan hanya orang awam yang berpikiran begitu. Justru kami orang-orang awam ini mendapat informasi itu dari para intelektual. Saya ingat, saking hangatnya soal ini, pada suatu malam di Kantor Majalah Tempo Biro Yogyakarta diselenggarakan diskusi tentang kristenisasi. Dari pihak Islam hadir sebagai pembicara Kuntowijoyo. Dari pihak Kristen hadir Romo Mangunwijaya. Moderator, Emha Ainun Nadjib.
Dalam diskusi, Pak Kunto yang ahli sejarah mulai pemaparannya dengan mengungkap sejarah kristenisasi sejak zaman kolonial. Kemudian ia juga memaparkan praktik-praktik kristenisasi yang terjadi pada saat itu. Salah satu yang disorot adalah soal pelajaran agama Kristen yang harus diterima anak-anak muslim yang bersekolah di sekolah-sekolah Kristen.
Romo Mangun kemudian mendapat giliran bicara. Menurut dia, dari ajaran Kristen, khususnya Katolik, memasukkan orang menjadi pemeluk agama Kristen itu bukan tujuan, bahkan bukan hal penting. Yang penting adalah memberikan pelayanan kepada umat manusia. Soal pelajaran agama di sekolah Kristen tadi, menurut Romo Mangun, adalah konsekuensi logis. Ia mengibaratkan, kalau masuk ke lapangan bulu tangkis, harus mengikuti tata cara bermain bulu tangkis. Kalau tak suka tata cara itu, jangan masuk.
Begitulah. Kami yang mendatangi Rektor UGM tadi punya pikiran sama, bahwa rencana pembangunan gereja itu adalah bagian dari strategi kristenisasi. Begitu ada gereja berdiri, maka dalam sekejap penduduk di sekitarnya akan berpindah agama. Selain gereja, sekolah dan rumah sakit juga dituding sebagai pusat kristenisasi.
Benarkah itu semua? Saya tak punya data detailnya. Tapi kalau dipikirkan dengan logis, dengan gambaran laju pertumbuhan umat Kristen seperti yang digambarkan waktu itu, seharusnya setelah 30 tahun berlalu demografi Yogyakarta berubah drastis. Faktanya, kita tak melihat perubahan drastis pada data demografi Yogyakarta. Kalau saya bayangkan gencarnya cerita kristenisasi waktu itu, seharusnya populasi orang Islam di DIY tinggal 70%. Saat ini 96,6% penduduk Provinsi DIY adalah muslim.
Dalam hidup saya ada beberapa persinggungan keluarga kami dengan Kristen. Dulu pada tahun 70-an, di Pontianak (ibukota provinsi asal saya) belum ada rumah sakit pemerintah. Satu-satunya rumah sakit adalah milik gereja Katolik. Kami semua berobat di situ kalau sakit. Puluhan anggota keluarga besar kami yang dirawat di situ. Sebagian tidak membayar, hanya membawa surat keterangan tidak mampu.
Di setiap kamar rawat inap saya selalu melihat ada salib, yang mengingatkan kami bahwa ini rumah sakit Kristen. Tapi hanya itu. Tak pernah kami diajak beribadah dengan cara-cara Kristen. Tak pernah pula ada yang mengajak kami masuk Kristen.
Seorang sepupu saya, bapaknya miskin. Ia menumpang di rumah kami. Ayah saya yang masih harus menyekolahkan 4 anak, tak sanggup membiayai sepupu kami tadi. Ia hanya boleh menumpang di rumah kami, ayah saya menanggung biaya hidupnya. Untuk biaya sekolah ia harus mencari sendiri. Ia ditampung di sekolah Katolik. Ia boleh sekolah di situ tanpa membayar. Sampai tamat tak pernah ia diajak pindah agama.
Pernah ada kejadian orang-orang yang menolak pembangunan gereja di suatu tempat di Pontianak. Alasannya sama, takut jadi pusat kristenisasi. Gereja akhirnya tetap bisa berdiri. Tapi adanya gereja itu tak mengubah keadaan, orang-orang di sekitar gereja tidak pindah agama.
Apa artinya? Ketakutan terhadap kristenisasi sebenarnya lebih berbasis pada mitos ketimbang fakta. Tapi apakah tidak ada upaya mengajak orang untuk masuk Kristen? Tentu saja ada. Sama halnya dengan adanya upaya-upaya untuk mengajak orang masuk Islam. Orang-orang Islam sendiri dengan bangga melakukan kegiatan dakwah di daerah pedalaman seperti Papua dan Kalimantan. Juga kepada suku Badui. Kenapa perlu risau dengan kegiatan serupa oleh umat lain?
Sumber masalahnya adalah ketidakadilan. Sebagian orang Islam berpikir secara tidak adil. Kami boleh begini, tapi kamu jangan. Peraturan yang dibuat pemerintah melalui SKB Menteri, baik versi lama maupun versi baru, malah mengokohkan ketidakadilan itu. Pola pikir pemerintah dalam setiap kasus penolakan gereja adalah, yang penting tidak ribut. Pola pikir ini harus diubah. Negara seharusnya memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dengan adil.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini