Namun, ketika mengetahui harganya, ia membatalkan beli -hand sanitizer dalam botol kecil 30 mililiter itu dijual seharga Rp 50 ribu.
Dalam situasi normal, lelaki itu biasa beli, untuk kemasan ukuran 60 mililiter saja harganya hanya Rp 15 ribu. Apakah situasi sekarang se-"tidak normal" itu? Lelaki itu masih cukup "waras" untuk tidak merelakan uangnya guna membeli barang yang bahkan tidak cukup hanya dilipat gandakan, namun dinaikkan berkali-kali lipat. "Memang lagi mahal, Pak," kata si penjaga toko, dan semua orang sudah tahu itu. Memang lagi mahal.
Tidak hanya hand sanitizer --dan lonjakan harga hingga Rp 50 ribu untuk sebotol ukuran 30 mililiter bagi sebagian orang barangkali masih "masuk akal". Tapi, apa artinya "masuk akal" dalam situasi seperti sekarang ini, ketika hampir semua barang kebutuhan diborong, dari mie instan (di Indonesia), pasta dan toilet paper (di Australia) hingga kondom (di Singapura --untuk pelindung jemari tangan saat memencet lift)?
Inilah situasi global dunia kita hari-hari ini. Orang-orang tenggelam dalam kepanikan akibat wabah sebuah virus baru, dan yang mereka lakukan pertama kali adalah: membeli. Awalnya, mereka membeli barang-barang yang berkaitan langsung dengan upaya pencegahan penularan virus tersebut, namun kemudian mereka juga membeli apa saja yang ada di depan mata, dalam jumlah yang tak biasa.
Sejumlah foto yang viral di media sosial memperlihatkan rak-rak supermarket di beberapa kota di dunia yang kosong melompong, kesepian ditinggalkan oleh barang-barang yang biasanya menumpuk berjajar rapi di atasnya. Pada malam hari setelah paginya Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama infeksi virus di Indonesia, saya mampir ke supermarket di dekat rumah dan menyaksikan antrean di semua kasir mengular sampai ke lorong-lorong rak barang-barang.
Saya hanya hendak membeli potongan punggung ayam untuk makanan kucing saya --sesuatu yang rutin saya lakukan di supermarket itu. Namun, melihat antrean orang-orang di kasir, saya pun membatalkannya. Keesokan harinya saya kembali ke supermarket itu, dan masih melihat antrean yang sama, namun sudah mulai berkurang panjangnya. Saya langsung ke bagian ayam potong, dan melihat, barang yang biasa "melimpah" kali ini tersedia hanya sedikit saja.
Kepanikan itu menular, dan mendisrupsi hal-hal yang merupakan sebuah rutinitas yang biasanya berjalan konstan, tak pernah berubah. Seorang netizen mengeluh di media sosial karena tak kuat menguat mengantre, dia juga meninggalkan barang yang hendak dibelinya, yakni popok untuk nenek yang dirawatnya -sesuatu yang rutin dilakukannya.
Kehidupan yang berjalan lambat, kadang terasa luar biasa membosankan, mendadak terasa seperti sebuah entakan yang membangunkan kita dari tidur nyenyak yang enak. Masa panjang yang tenang disela oleh kepanikan. Walau jarang terjadi, momen-momen panik semacam ini meretakkan harmoni yang telah lama tertata, membuat kita tersadar, memikirkan kembali banyak hal yang biasanya berlalu begitu saja.
Momen-momen itu menentukan pola kehidupan, memperlihatkan arah dan kecenderungan perkembangan mental, kedewasaan, dan pemikiran, serta sika-sikap kita. Dalam situasi panik, yang sebenarnya hanya sekali-sekali saja mengacaukan mozaik kehidupan yang telah tersusun apik, kita jadi tahu siapa kawan yang sesungguhnya, dan kawan yang sebenarnya adalah lawan yang menyamar, yang sewaktu-waktu siap menikam.
Kita jadi tahu alangkah rawan pertahanan kemanusiaan kita selama ini; betapa ternyata begitu lemahnya kita, dan rendahnya titik kritis kita. Kita hidup di era keberlimpahan, era keserbamudahan, jauh meninggalkan leluhur kita yang harus bekerja luar biasa keras berburu dan mengumpulkan dalam situasi alam yang keras penuh ketidakpastian, namun, lihatlah: betapa masih "insecure"-nya kita.
Pada zaman ketika minimarket mengepung rumah kita, ada di setiap perempatan dan tikungan jalan, berbaris seperti pepohonan yang hanya berjarak setiap sepuluh meter, ternyata kita masih dicekam oleh ketakutan akan kehabisan mie instan sehingga merasa perlu untuk memborongnya. Jika alasannya untuk mengurangi keluar rumah, menghindari kerumunan, sehingga memperkecil kemungkinan penularan virus, apa iya, dengan menimbun barang-barang kebutuhan itu kita lantas akan benar-benar berdiam di rumah, untuk waktu yang cukup lama? Apa iya?
Kita, sebagian besar dari kita, tanpa kita sadari, sebenarnya hanya latah. Kita takut tanpa tahu benar apa yang kita takutkan, melainkan semata-mata hanya karena melihat orang lain takut. Seorang pembeli yang memborong barang-barang di sebuah supermarket di Sydney, seperti dilaporkan media setempat mengatakan bahwa dirinya memborong karena orang lain melakukan itu. Dan, itulah satu-satunya alasan yang bisa dia berikan.
Dia menyadari bahwa hal itu sebenarnya konyol, tapi ia tak bisa menolong dirinya sendiri yang ikut-ikutan panik melihat orang lain panik. Bukanlah ini kedengarannya seperti suara kita sendiri? Kita memborong, lalu sampai di rumah kita kebingungan sendiri mengapa kita memborong, dan untuk apa barang-barang yang telah kita borong itu. Ya, tentu saja kita akan menggunakannya, memakannya, untuk memenuhi kebutuhan kita.
Tapi, bukankah dengan kita memborong, sebagian besar orang memborong, maka sebagian orang yang lain akan tidak kebagian? Kita mungkin akan sehat, terhindar dari penularan virus, kekenyangan, tapi bagaimana kalau orang-orang lain di luar sana mati? Kita akan terduduk sendirian, dan merasakan alangkah sunyinya dunia ini.
Itulah kita; setelah berpikir lagi dengan lebih jernih, sambil menerawang menatap langit-langit atap rumah yang bersih tanpa sehelai pun sarang laba-laba, kita baru menyadari, dan seolah tak percaya, bahwa butuh sebuah virus yang mewabah dan menghebohkan untuk membuat kita menyingkap sendiri selubung kita selama ini. Kita yang katanya bangsa yang berjiwa gotong royong dan suka tolong-menolong, nyatanya hanyalah sekumpulan orang-orang jahat, yang bahkan sekadar fasilitas pembersih tangan yang disediakan di tempat umum saja kita embat.
Bencana, wabah penyakit, dan berbagai ancaman tidak membuat kita saling bersimpati, bergandengan tangan, dan mempererat ikatan sosial dan memperkuat rasa saling percaya dalam perasaan senasib sepenanggungan, melainkan justru seolah-olah hendak mencari selamat sendiri. Tidak cukup dengan memborong, kita ambil pula yang bukan hak kita, sampai kita kelelahan, dan hati kita merasa hampa.
Tidak. Bukan virus yang akan membunuh kita, tapi keserakahan dan keegoisan yang pada akhirnya hanya mengantarkan kita pada rasa kesepian yang sempurna. Sejak Darwin menyangkal status keistimewaan manusia, masih banyak di antara kita yang ngotot merasa hebat, lebih mulia dari makhluk lain, dan sebagainya. Tidak. Virus tidak akan membunuh kita. Melainkan memberi tahu siapa kita sebenarnya: tak ubahnya spesies lainnya di Bumi ini yang hanya keturunan termodifikasi dari leluhur yang sebelumnya.
Ciri-ciri yang tampak khas manusia seperti bahasa, kebijaksanaan, rasa benar dan salah, berevolusi seperti ciri-ciri adaptif lainnya seperti paruh panjang burung-burung finch di Galapagos atau gigi-gigi runcing tikus mondok di rumah-rumah kita. Kita tidak "mensyukuri" wabah virus, tapi tragedi memang selalu punya dua sisi. Kita jadi bisa melihat kembali dunia dan kehidupan dengan berjarak. Dunia yang luar biasa bising dan sibuknya, dengan kehidupan yang penuh agenda dan rencana. Kita jadi bisa melihat kembali siapa diri kita.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)