Narasi dan imajinasi ini bisa berbahaya karena potensial menghadirkan persepsi yang keliru tentang relasi antarumat beragama yang seolah saling menegasikan. Dalam konteks ini, narasi yang dibangun adalah menempatkan komunitas muslim, terutama ketika mereka minoritas, selalu ditindas dan dizalimi oleh komunitas agama lain yang mayoritas. Di India, dengan kekuatan politik Hindu garis keras di bawah Presiden Narendra Modi yang sedang berkuasa, muslim seolah menjadi komunitas yang pantas dimusuhi, digebuki, bahkan dibunuh.
Sebelumnya, imajinasi ketidakberdayaan dunia Islam di hadapan kekuatan mayoritas agama lain telah terbentuk melalui ragam peristiwa yang terekam di benak sebagian komunitas muslim. Di hadapan kekuatan Barat yang dipersepsikan sebagai dunia Kristen misalnya, beberapa dekade ini Islam dan komunitas muslim sudah dihajar habis-habisan sebagai tertuduh biang terorisme dan radikalisme.
Warga dunia lantas bisa menyaksikan bahwa selama perang melawan teror korban terbesarnya justru adalah komunitas muslim. Di hadapan kaum Yahudi, yang paling menderita adalah komunitas muslim Palestina. Di hadapan kekuatan Cina yang dikenal awam sebagai negara Komunis namun memiliki warisan kuat tradisi keagamaan Konghucu, melalui wajah Uyghur, yang menjadi penghuni kamp-kamp konsentrasi dan menjalani ragam penyiksaan adalah muslim.
Di Myanmar yang mayoritas Budha, orang-orang Rohingya yang menanggung kekejian pembantaian dan pengusiran adalah muslim. Tak heran apabila rangkaian narasi ini dikemukakan bisa menguatkan imajinasi publik bahwa di dunia hari ini, jika ada komunitas beragama yang menderita karena mereka minoritas di negaranya, maka identitasnya adalah muslim.
Harus Peka
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk tentunya harus peka dengan narasi dan imajinasi semacam ini. Kehati-hatian dalam menyikapi dan merespon persoalan sangat diperlukan. Mengingat bahwa konflik bernuansa SARA sudah bukan sekali dua-kali terjadi. Rentetan pengalaman tersebut sepatutnya menjadi peringatan bahwa kejadian serupa jangan pernah terulang kembali.
Oleh karenanya, publik di negeri ini perlu mawas diri dan tidak terbawa oleh persepsi dan opini yang dapat memantik permusuhan antaragama. Empati keprihatinan kepada para korban dan protes atas kekerasan yang terjadi di India saat ini memang perlu ditunjukkan. Tetapi hal itu harus diekspresikan secara proporsional. Apapun bentuk aksi kepedulian yang mungkin dilakukan perlu menghindari upaya kapitalisasi kebencian (hatred) dan saling tidak percaya (distrust) antarkomunitas beragama.
Ini tidak berarti membenarkan sikap yang menutup mata seolah-olah semua baik-baik saja. Faktanya, memang masih banyak ketidakadilan dan diskriminasi yang terjadi di berbagai belahan bumi ini. India salah satunya.
Shri Krishna Saksena (1950) pernah mengemukakan bahwa filsafat spiritual India itu jika disarikan bisa direpresentasikan oleh tiga kata, sebagaimana dinyatakan oleh Tagore, yaitu Santam, Sivam, Advaitam, atau Perdamaian, Kebajikan, dan Kesatuan Seluruh Makhluk. Artinya, fenomena kekerasan di India terhadap komunitas muslim yang tengah dipertontonkan ke hadapan mata dunia bukanlah jati diri bangsa India apalagi ajaran agama Hindu yang dianut mayoritas penduduknya.
Sebaliknya, peristiwa yang terjadi merupakan bentuk perilaku yang kontradiktif dengan identitas India dan agama Hindu itu sendiri. Kecaman keras memang patut dialamatkan kepada pemerintahan berkuasa di India atas kebijakan diskriminatif mereka terhadap warganya yang muslim. Suatu langkah politik yang dituding turut meningkatkan tensi intoleransi dan menyulut eskalasi terjadinya kekerasan.
Lebih ironisnya, dalam banyak pemberitaan yang viral ke publik, aksi tidak manusiawi tersebut seolah mengalami pembiaran dari pihak berwenang. Tetapi sisi lain, siapapun tak bisa menutup mata bahwa sebagian besar warga India sendiri dari beragam komunitas agama juga telah bereaksi keras atas diskriminasi yang dialami oleh saudara sebangsa mereka yang muslim.
Sangat Berbahaya
Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya pernah menyatakan bahwa faktor asabiya (kesatuan) yang didasarkan pada sentimen primordial termasuk di antaranya sentimen keagamaan bisa efektif dipakai secara politik untuk membangun soliditas komunal. Tetapi dalam konteks kekinian, pendekatan yang memainkan sentimen SARA untuk mendapatkan simpati dan dukungan politis itu sangat berbahaya.
Publik perlu menyadari bahwa kontestasi politik yang secara institusional menganut sistem demokrasi justru bisa menghadirkan tampilnya kekuatan-kekuatan yang menjalankan agenda politik yang berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Mirisnya, praktik otokrasi elektoral atau kediktatoran elektoral (electoral autocracy or dictatorship) semacam ini seperti dikemukakan Renske Doorenspleet (2019), terindikasi menjadi arah pergeseran dari realitas politik dunia saat ini.
Maka dari itu, Indonesia sebagai salah satu negara yang menerapkan demokrasi perlu mengambil pelajaran dari kejadian di India. Keragaman yang hidup di tengah-tengah penduduknya harus dikelola dengan penuh kearifan. Ruang publik demokratis perlu terus dijaga dan dipelihara bersama dari upaya-upaya yang tidak bertanggung jawab. Narasi dan imajinasi yang diskriminatif dan mengarah destruktif bagi persatuan dan kesatuan tidak boleh dibiarkan.
Agama tetap harus dijadikan sebagai sumber kewarasan bagi bangsa ini dalam bernalar, bersikap, dan bertindak. Agama harus diyakini dan dihayati sebagai rahmat bagi manusia dan sesamanya. Sehingga ketika agama dijadikan dalih untuk mengobarkan kebencian, bangsa ini serta-merta akan mampu mengidentifikasinya sebagai bentuk manipulasi atau kedustaan atas nama agama.
Kekerasan terhadap komunitas muslim di India hari ini sesungguhnya adalah ujian bagi siapapun yang menyatakan dirinya sebagai kaum beriman. Bahkan, ini adalah ujian bagi kemanusiaan. Selama ia manusia, apapun agamanya, hatinya pasti akan tersentuh untuk berempati atas penderitaan yang dialami saudaranya sesama manusia, apapun agamanya.
(mmu/mmu)