Pergolakan politik di Venezuela telah memicu kontroversi dalam pembuatan kebijakan publik untuk mengatasi krisis dan mis-manajemen ekonomi yang terjadi saat ini. Pemerintahan yang cenderung skeptis dengan akselerasi aktor eksternal dalam memberikan bantuan kemanusiaan juga menghambat perbaikan kondisi di Venezuela.
Paralel dengan itu, tubuh oposisi yang terbagi, kontestasi antara pasukan militer dan pasukan sipil bersenjata, serta merebaknya kemiskinan dan arus pengungsi menjadi sinyalemen krisis yang belum berujung. Paling tidak ada tiga skenario yang bisa diajukan berkenaan dengan dinamika krisis di Venezuela saat ini.
Pertama, pemerintahan Maduro berhasil melakukan konsolidasi politik domestik dengan kelompok oposisi. Para aktor berkenan untuk mengkompromikan kepentingannya demi berlangsungnya program ekonomi yang konsisten. Pasca kondisi keamanan dan kesejahteraan yang kian membaik, para aktor berkomitmen untuk melaksanakan perbaikan pengelolaan politik dan pemerintahan (capacity building) dengan mengadakan pemilihan umum yang demokratis.
Kedua, intervensi kemanusiaan dari aktor eksternal berhasil dilakukan menyusul dengan keterbukaan Maduro akibat tekanan sejumlah pihak, termasuk in-kapasitasnya dalam mengatasi krisis rakyatnya. Apabila skenario ini berhasil diwujudkan, sejumlah bantuan kemanusiaan untuk memulihkan kondisi publik Venezuela dapat dilakukan dalam gerak yang sama untuk merumuskan satu solusi politik.
Ketiga, skeptisme Maduro terhadap perhatian publik internasional dan perebutan kekuasaan di parlemen (National Assembly) akan terus berlanjut. Kemungkinan terburuk adalah ketidakpercayaan publik yang makin menguat akan melahirkan kerusuhan publik oleh kelompok bersenjata. Sementara itu, pasukan militer Venezuela dalam National Guard tidak mampu membendung gelombang koersif tersebut. Pilihan yang paling rasional untuk mengatasi kondisi ini adalah dengan menggunakan intervensi militer yang terkoordinasi antara negara tetangga, PBB, dan entitas regional yang lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Skenario pertama cenderung bernuansa optimis, namun paling sulit untuk terjadi. Maduro masih memegang kontrol terhadap perusahaan minyak negara dan pasukan militer, sementara oposisi mengalami instabilitas. Kedua aktor domestik masih memberikan batasan kepentingan yang jelas dimana sulit dikompromikan dalam waktu dekat.
Skenario ketiga adalah konsekuensi yang mesti dihindari dalam krisis Venezuela. Sehingga, skenario kedua menjadi pilihan terbaik untuk mengakomodasi situasi krisis yang dialami masyarakat sekaligus juga melakukan de-ekskalasi krisis di sektor politik domestik.
Rekonsiliasi
Salah satu konsep psikologi perdamaian yang dapat diterapkan untuk mewujudkan skenario kedua adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi dalam krisis di Venezuela menjadi sebuah kebutuhan terutama merujuk pada lima karakteristik yang dijabarkan oleh Lederach (1995). Pertama, adanya ketidakadilan struktural semisal kemiskinan atau tindakan represif pemerintah. Kedua, konflik identitas antargrup. Ketiga, memiliki sejarah konflik antargenerasi. Keempat, pihak yang berkonflik berada dalam satu wilayah. Kelima, terjadi kekerasan fisik.
Krisis yang terjadi di Venezuela mengakibatkan kemiskinan yang meluas dengan fakta bahwa hampir 80% penduduk di Bolivar, Lara, dan Miranda tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan (USAID, 2020). Selain itu, tindakan represif dan opresif dari pemerintah setidaknya telah menelan korban sejumlah 7000 jiwa sejak 2018 (Adam Hagan, 2019). Apabila ditarik dari akar sejarah, krisis ini bahkan telah terjadi jauh sebelum 1998 ketika Chavez menjadi presiden.
Krisis yang terjadi saat ini di Venezuela sedikit banyak berlokasi pada pusat kekuasaan di Caracas. Oleh sebab itu, kebutuhan akan rekonsiliasi menjadi hal yang tak terelakkan. Salah satu akar masalah yang menjadikan krisis di Venezuela terus mengalami ekskalasi adalah kurangnya komunikasi yang baik dan keterbukaan Maduro kepada publik internasional.
Pada titik yang sama, komunikasi yang konstruktif antara kelompok oposisi dengan Maduro juga tidak berjalan. Sehingga, rekomendasi yang diajukan terkait dengan pre-kondisi rekonsiliasi di Venezuela adalah aktor eksternal (third party) harus berupaya untuk menciptakan ruang yang aman untuk terjadinya dialog. Upaya ini harus memperhatikan faktor keengganan dari pihak berkonflik terutama akibat keterlibatan aktor lain yang dinilai hanya mencari keuntungan pragmatis.
Dinamika politik regional di Amerika Selatan dapat dihitung sebagai hambatan terjadinya perjanjian dan dialog damai karena setiap negara merepresentasikan dukungan pada masing-masing pihak berkonflik. Aktor eksternal yang paling mungkin menetralisasi situasi tersebut adalah PBB di bawah Majelis Umum serta The Emergency Relief Coordinator.
Aktor eksternal tersebut dapat memanfaatkan pengaruhnya untuk menjalin komunikasi awal dengan presiden interim Juan Guaido, Maduro, sekaligus juga parlemen. Komunikasi awal bertujuan untuk mengadvokasi para pihak menghentikan pergerakannya dan berfokus pada keselamatan rakyat Venezuela. Intensifikasi komunikasi yang diinisiasi oleh aktor eksternal akan membuka satu momentum di mana para pihak berkonflik merasa percaya dan perlu melakukan kesepakatan dan diskusi damai.
Umar Mubdi kandidat Master of Arts di International Peace and Coflict Studies, Collegium Civitas, Warsawa
(mmu/mmu)