Kemarin pagi, saya mengantarkan istri ke Stasiun Tugu. Mau pergi lama dia. Mungkin seminggu, mungkin setengah bulan. Ada utang tugas berat yang harus segera dia selesaikan. Untuk itulah dia merasa perlu pergi jauh, bertapa di rumah seorang sahabatnya, sebab di rumah kami sendiri selalu ada distraksi rupa-rupa.
Usai menurunkan istri saya di depan stasiun, saya memandangi dia berjalan ke arah mesin-mesin pencetak loket. Berjilbab, menggendong ransel, menarik koper, dan... memakai masker. Hijau muda, warnanya.
Sejak tiga hari sebelum keberangkatan, masker-masker itu sudah dia siapkan. Untunglah sejak lama dia punya banyak stok, karena dia selalu membutuhkannya untuk sedikit melindungi paru-paru saat bermotor menembus udara Jogja yang kian penuh asap jelaga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi kali ini, bukan asap yang dia takutkan. Sebagaimana banyak orang lainnya, berita tentang virus yang misterius dan menyeramkan itu tak urung menghantui kami juga. Sementara, istri saya harus masuk ke stasiun, berjumpa dengan kumpulan manusia yang berdesak-desakan, menyentuh pintu kereta dan benda-benda lain yang sudah pasti berbagi dengan sentuhan ribuan tangan, dan itu semua terasa sebagai ancaman.
Bagi banyak orang Indonesia yang konon selow, ketakutan semacam itu terdengar berlebihan. Toh selama ini orang-orang naik kendaraan umum ratusan atau bahkan ribuan kali dalam hidup mereka, berdempetan berjejal-jejal di dalam bus dan kereta, bersenggolan di antrean boarding masuk pesawat, bercampur aduk dengan keringat orang lain di terminal, stasiun, dan pelabuhan, dan kebanyakan ya baik-baik saja.
Tapi bagi kami, ada sedikit beda. Sebab baru saja ada pengalaman pahit terkait virus-virus yang menjewer kesombongan kami sekeluarga.
***
Ceritanya, beberapa bulan lalu kami berpesiar ke sebuah kota. Di sana, salah satu tujuan kami adalah tempat hiburan indoor dengan aneka wahana permainan. Kami pun masuk ke dalamnya, bermain seharian penuh untuk menyenangkan anak-anak kami, bergumul dengan ribuan orang yang juga sama-sama tumplek blek di tempat tertutup itu, sampai magrib tiba dan barulah kami memungkasinya.
Sehari kemudian, di pagi menjelang kepulangan ke Jogja, ada goncangan politik di dalam perut saya. Saya kena diare. Awalnya biasa saja. Kadang saya memang begitu kalau masuk angin sedikit. Maka, saya diamkan saja.
Tapi instabilitas metabolisme itu tak kunjung mereda. Hingga saya sudah menyetir ratusan kilo menuju Jogja, bahkan hingga dini hari ketika kami sudah merebahkan badan di rumah kami. Ini mencurigakan.
Esok harinya, situasi semakin gawat. Isi perut saya terkuras habis, terus-menerus. Begitu pula hari setelahnya. Dan hari setelahnya lagi. Segala jenis obat sudah saya jejalkan ke usus, tapi tetap saja tak kunjung muncul tanda-tanda pemulihan. Ingin saya ke dokter, tapi saya tunda dan tunda, karena secara frekuensi konon masih dalam batas toleransi. Batas toleransi menurut Google, tentu saja.
Barulah kemudian ketegangan yang sesungguhnya muncul ketika istri saya ikut kena. Kemudian anak saya yang besar juga kena. Kami pun terkapar bersama. Dua hari, tiga hari, lima hari. Sampai kemudian hari ketujuh, dan akhirnya kami bertiga sembuh, setelah merasakan serbuan diare dari jenis yang belum pernah kami rasakan seumur-umur.
Lalu kakak kami nongol. "Lho, kalian habis dari sana? Yang indoor itu? Persis! Kami serumah juga habis ke sana kena diare seminggu full! Dan parah!"
Aduh. Saya jelas tak punya bukti apa pun untuk menuduh tempat itu sebagai tersangka. Kalau mau saintifik-saintifikan, ini kesimpulan yang tidak evidence-based. Tapi, mencermati polanya, juga melihat segala aspek yang membentuk persepsi kami, segalanya jadi mungkin.
Coba bayangkan. Ruang raksasa tertutup. Tak ada sinar matahari masuk. Udara muyer-muyer di situ saja pakai sistem pendingin. Ribuan orang hilir mudik di dalamnya, memegang pagar-pagar pembatas, memegang segala jenis tunggangan di wahana-wahana yang ada di sana.
Mungkin malah bukan cuma ribuan. Tapi puluhan ribu. Persis sama dengan jumlah orang yang menyentuh pegangan pintu di tiap gerbong kereta.
Dan, kisah serbuan itu belum berhenti. Saya harus berangkat ke Makassar. Menyelesaikan tugas selama dua hari, lalu jalan-jalan lima hari. Selama lima hari itu, dua hari di antaranya harus saya nikmati bersama diare yang kambuh lagi. Di tempat yang jauh dari rumah, di saat seharusnya bersenang-senang, dan saya malah mesti berdamai dengan chaos di sistem pencernaan.
Di rumah, istri saya juga terserang lagi. Lebih parah. Harus ke toilet belasan kali dalam sehari. Sampai kemudian jalannya nasib membawanya ke unit gawat darurat rumah sakit terdekat. Untunglah setelah suntik sana sini, ia kembali segar dalam waktu cepat.
Dia yang kembali segar, bukan saya. Sebab kisah pertarungan saya belum selesai. Saya pulang, ambil napas beberapa hari, lalu harus pergi lagi. Kali ini ke Semarang. Dan di Kota Lumpia itu, lumpia dengan dengan irisan rebung serenyah apa pun tak mampu membangkitkan selera saya, karena saya harus bergulat dengan butiran-butiran norit dan gelontoran oralit.
Masih belum berhenti. Saya pulang dari Semarang, istirahat sekian hari, lalu mesti meninggalkan rumah selama sebulan untuk memberikan pelatihan menulis di beberapa kota.
Dan, para peserta kelas saya di Medan, di Batam, dan di Bangka tak pernah tahu bahwa mereka saat itu belajar menulis ditemani seorang mentor yang mati-matian bertempur melawan laskar virus yang terus mencacah perutnya. Ya, diare saya kumat berkali-kali, setiap etape minimal tiga hari.
***
"Pak, anu, setelah aku googling, kasusmu itu mirip orang yang kena, mmm, HIV. Jangan panik ya, kita terus berdoa. Kamu nanti bisa periksa sepulang ke Jogja. Kan kita juga tak tahu apa yang terjadi dengan masa lalumu...."
Saya melongo membaca kiriman Whatsapp dari istri saya. HIV. AIDS. Ya Tuhanku. Masa lalu. What? Masa lalu?
Saya pun panik, lantas ikut membuka Google. Dan benar, segala ciri problematika perut saya memang persis mengarah ke sana. HIV. AIDS. Oh, Tuhanku dan Tuhan yang menguasai segala virus, mulai virus diare hingga virus HIV. Apakah pernah ada dokter yang menyuntik saya dengan jarum second hand? Apakah pernah ada tukang cukur yang membabati anak rambut saya memakai pisau bekas penderita?
Badan saya terasa mengambang. Waktu membeku. Terbayang wajah anak-anak saya. Terbayang wajah istri saya. Terbayang wajah ibu saya. Terbayang wajah mantan-mantan saya. (Eh, maaf yang terakhir itu cuma bercanda.)
Setelah sebulan berkeliling Sumatra dan sekitarnya, sambil ngemil obat diare aneka rupa, saya pun pulang. Pulang, dengan sepenuh rasa khawatir. Mungkin ini bulan-bulan terakhir hidup saya.
Ah, tapi cerita soal tes HIV kapan-kapan saja. Yang pasti, selain virus-virus, Google ternyata juga berbahaya. Sialnya, bahaya Google itu terkait virus lagi dan virus lagi.
Sebelas tahun silam, cerita kelabu itu terjadi. Saya tumbang, hampir satu setengah bulan. Gejala awal yang menghajar saya adalah mual-mual parah, badan gatal-gatal, dan air kencing secoklat minuman bersoda.
Itu penyakit yang belum pernah saya rasa. Saya bawa ke rumah sakit, diperiksa sini dan sana, diberi bekal pulang obat-obatan puluhan biji jumlahnya. Hasilnya? Perut saya terasa dihajar satu peleton geng motor. Tambah parah daripada sebelumnya.
Andai saya politisi atau pengusaha sukses, kemungkinan saya akan langsung mengira saya dapat kiriman guna-guna. Sayangnya, saya bukan politisi, bukan pula pengusaha. Maka, istri saya pun melabuhkan harapan keterjawaban segala misteri itu kepada Google. Siapa lagi? Memang ada yang lebih pintar dari Google?
Dan akhirnya istri saya cuma bisa mengelus-elus perutnya. Janin di dalamnya sudah semakin membesar. Ia menangis. Ia membayangkan anak pertama kami keluar tanpa bapak yang bisa menggendongnya, mendongenginya, dan membacakan doa-doa.
Hasil googling tadi memang agak luar biasa. Semua ciri mengarah kepada "vonis" gagal ginjal. Belakangan, setelah ketahuan ternyata saya kena hepatitis A gara-gara suka jajan sembarangan, kelegaan itu datang. Lega, meski tak seberapa. Sebab virus hepatitis itu memaksa saya meringkuk tak bergerak selama satu setengah bulan lamanya.
***
Virus-virus. Virus di mana-mana. Kehidupan manusia di bumi ini selalu diancam virus-virus. Banyak peristiwa besar dalam sejarah dunia digerakkan virus-virus.
Aspek signifikan penyebab kekalahan banyak bangsa atas bangsa lainnya pun, menurut cerita Jarred Diamond dalam bukunya Guns, Germs, and Steel adalah virus-virus. Virus-virus tumbuh di masyarakat yang hidup menetap dan mendomestikasi hewan-hewan. Lalu balatentara dari peradaban itu menyerbu peradaban lain, dan peradaban lain itu belum punya sistem imun untuk menghadapi virus-virus yang dibawa tubuh para penyerang.
Virus-virus adalah mesin-pembunuh-tanpa-sengaja yang efektivitasnya mengalahkan peluru-peluru dari bedil dan meriam.
Virus-virus. Ketika bumi semakin tak kuat menahan beban populasi, kepadatan penduduk dunia kian mengerikan, virus pun punya kesempatan untuk semakin tumbuh subur. Dan dari sana pula datang proses penyeimbangan sesuai hukum alam, yang mau tak mau harus berjalan seiring dengan kematian-kematian.
Saya tahu, itu pikiran yang "ke-Thanos-Thanos-an". Saya takut. Tapi saya tak bisa mengusir jauh-jauh pikiran buruk itu.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)