Ketika World Health Organization (WHO) pada awal tahun 2020 ini membeberkan fakta bahwa depresi secara global berkontribusi sangat besar terhadap pelbagai penyakit dan pemicu bunuh diri, sudah tidak ada kata mundur lagi di kamus kita. Jika kita kendor sedikit saja, 700 ribuan orang yang tercatat mengambil nyawanya sendiri setiap tahunnya, jumlah ini bisa jauh meroket lagi.
Lebih-lebih, musuh kita bukan cuma waktu, tetapi juga keterbatasan infrastruktur, tenaga medis yang mumpuni, serta pengetahuan terkait isu ini. Halang-rintang itulah salah satunya yang membuat 76 sampai 85 persen pasien gangguan jiwa di negara-negara berkembang tidak menerima penanganan medis dengan baik (WHO, 2020).
Bambang Suryadi, Ph.D adalah satu dari segelintir orang yang percaya akan khasiat terapi humor atau terapi ketawa. Ini adalah metode terapi psikologis dengan memanfaatkan kekuatan senyuman dan tawa, baik secara dipaksa maupun natural, untuk membantu mencegah, meringankan, bahkan menyembuhkan penyakit (Suryadi, 2019). Dalam bukunya, ia mencuplik sejumlah penelitian yang menyebutkan dampak positif dari humor dan tertawa, seperti mengurangi hormon stres, menambah fungsi kekebalan tubuh, respirasi dan melatih jantung, hingga relaksasi otot.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walau telah ada Klub Tawa Ceria Sehat (KTCS), komunitas yang bervisi untuk menyehatkan masyarakat lewat tertawa, sayangnya, menurut akademisi dari Fakultas Psikologi UIN Jakarta tersebut, sejauh ini belum ada suatu klinik yang secara formal dan profesional memberikan pelayanan terapi humor di Indonesia. Memang, terapi humor ini terlihat sederhana, bisa dilakukan oleh setiap individu di mana saja dan kapan saja. Contoh gampangnya adalah dengan mengonsumsi film dan bacaan yang dapat memancing tawa serta kebahagiaan ataupun membiasakan tersenyum meski sedang berada di situasi pelik.
Namun ketika beragam riset dan kajian akademis telah membuktikan manfaat humor untuk kesehatan fisik dan mental, ditambah jumlah pakar dan akademisi psikologi yang tak sedikit di Indonesia, mengapa terapi humor tidak sekalian ditangani secara profesional dan diinstitusikan? Bukankah ini bisa menjadi alternatif lain untuk meningkatkan kesejahteraan psikologi (psychological well being) bangsa kita, yang selaras dengan prioritas kerja pemerintah, yaitu penguatan sumber daya manusia?
Bukan Barang Baru
Tidak ada yang mengawali bukan berarti tidak bisa dilakukan. Sebab, terapi humor untuk kesehatan mental sebenarnya bukan barang baru di dunia psikologi. Ketika pengembangan pelbagai pendekatan terapi sedang giat-giatnya pada dekade 1960 dan 1970-an, tulis Martin dan Ford (2018), humor sudah dilirik sebagai opsi.
Salah satu pendekatan terapi berbasis humor yang terkenal adalah Rational-Emotive Therapy (RET --sekarang lebih dikenal sebagai Rational Emotive Behavioral Therapy atau REBT) yang dikembangkan oleh Albert Ellis. Dalam pendekatan RET, pasien diajak untuk melawan pemikirannya yang keliru dengan yang lebih realistis dan adaptif. Terapis bisa memakai teknik-teknik humoristis, seperti sarkasme dan hiperbola, untuk menunjukkan pada pasiennya betapa absurd atau konyol pemikiran irasional mereka.
Ada juga Victor Frankl dengan pendekatan terapi humor yang lebih selow. Namanya Paradoxical Intention, yang bisa dipakai untuk mengobati pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Pada pendekatan ini, pasien diminta untuk meningkatkan frekuensi perilaku obsesif-kompulsifnya sampai ia mampu merasakan dilema dari perbuatannya sendiri yang hiperbolis. Dengan mengantarkan pasien sampai ke titik tersebut, Paradoxical Intention bertujuan untuk menyadarkan pasien dari jerat pola perilaku neurotik mereka dan, pada akhirnya, mentertawakannya bersama.
Kiprah psikolog klinis W. Larry Ventis juga tak kalah menarik. Ia mengembangkan sistem pendekatan yang secara spesifik dipakai untuk melawan fobia, Systematic Decensitization, teknik modifikasi perilaku dengan mengajak pasien membayangkan fobia-fobianya sembari melakukan relaksasi otot. Ventis menginovasikan terapi tersebut dengan humor. Humor Decensitization versi Ventis ini mengajak pasien untuk melawan ketakutannya dengan memiliki perspektif humoristis terhadap fobianya sampai membuat lelucon dari fobia tersebut (Martin & Ford, 2018).
Kalau boleh dirangkumkan secara awam, pendekatan-pendekatan terapi humor klinis di atas merupakan perwujudan pemikiran Nichole Force. Ia pernah menuliskan bahwa humor lebih dari sekadar hura-hura. Baginya, humor adalah "alat intelektual canggih untuk mengembangkan perspektif baru dan mengatasi keadaan ekstrem." (Force, 2011).
Beberapa Risiko
Seperti semua upaya dan aktivitas yang ada di dunia ini, implementasi terapi humor klinis yang textbook-nya masih terbatas ini juga memungkinkan untuk gagal. Jangankan terapi humor yang di Indonesia dan dunia masih langka, sesekali Anda pasti pernah makan nasi goreng yang rasanya "enggak ke sana-enggak ke sini." Padahal, resep nasi goreng dari Hong Kong sampai Kebon Sirih ya sudah banyak tersedia di buku resep masak apalagi internet.
Lawrence Kubie (1970) menjelaskan penerapan humor dalam praktik psikoterapi mempunyai beberapa risiko potensial, di antaranya memunculkan kesan di benak pasien kalau si terapis tidak menganggap serius problematika yang dimilikinya, pasien merasa terpaksa atau tertekan untuk mudah tertawa supaya dianggap memiliki "selera humor yang bagus", atau malah terapisnya yang menggunakan humor secara tidak bijak, seperti untuk menunjukkan dirinya lebih pintar dari si pasien.
Ada kalanya humor juga dapat merugikan saat digunakan dalam terapi. Setidaknya, ada tiga momen celaka untuk berhumor yang disebut Pierce (1994), yakni saat humor dipakai untuk meremehkan pasien, ketika digunakan untuk mengalihkan pasien dari masalah emosional yang ia alami ke topik lain yang lebih "aman", serta kala humor tidak relevan dengan tujuan terapi dan sekadar dipakai untuk kepentingan pribadi si terapis semata.
Memang benar bahwasannya humor yang masih jarang dieksplorasi secara klinis ini mengusung banyak manfaat. Namun terkadang, humor juga bisa bersifat anti-terapi. Setidaknya, selama Anda sebagai terapis menunjukkan empati, kepedulian, dan ketulusan pada pasien seperti dipesankan oleh Bachelor dan Horvath (1999), Anda mungkin dapat terhindarkan dari kesalahan-kesalahan yang fatal.
Nah, terakhir, sebagai orang yang tidak membidangi psikologi, tentu saya hanya bisa memungut satu-dua contoh pendekatan terapi humor secara klinis dan seluk terceteknya dari literatur yang memadai di Library of Humor Studies milik IHIK3. Mungkin saya juga masih melewatkan pendekatan terapi humor lain yang sudah ada di luar sana. Pun saya juga miskin daya dan ilmu untuk bisa membuka praktik terapi humor klinis sendiri. Tentu saja Anda sekalianlah yang memang berasal dari bidang ini yang lebih berpeluang. Tugas saya selanjutnya setelah membuat tulisan ini tinggal satu: menagih.
Jadi, kapan klinik terapi humor Anda mulai praktik?
Ulwan Fakhri peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)
(mmu/mmu)