Empat kebijakan Kampus Merdeka yang berada di bawah payung Gerakan Merdeka Belajar masih menjadi perbincangan di kalangan insan kampus. Seperti biasa, pro-kontra pun bermunculan. Ada kekhawatiran kebijakan Kampus Merdeka akan semakin membenamkan pendidikan tinggi kita ke arah pragmatisme. Kampus semakin kapitalistik dan takluk pada kekuatan pasar bebas.
Ibarat pabrik, kampus dikhawatirkan akan terjebak pada tuntutan memproduksi lulusan sekadar untuk memenuhi kebutuhan dan perubahan pasar tenaga kerja. Ada pula yang khawatir, pragmatisme itu akan berlanjut dalam bentuk ramai-ramai mendirikan prodi baru dan mengejar perubahan status menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Hal itu dilakukan semata-mata untuk memperbesar daya tampung yang berimbas pada peningkatan pendapatan kampus.
Kebijakan ini dikhawatirkan hanya akan menguntungkan kampus-kampus besar saja. Meskipun, dalam praktiknya pendirian prodi baru itu terbuka bagi PT yang memiliki akreditasi A dan B. Prodi baru dapat diajukan jika ada kerja sama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, atau universitas Top 100 ranking QS.
Di sisi lain, tak kurang pula yang menyambut baik kebijakan tersebut. Empat Kebijakan Kampus Merdeka dilihat sebagai angin segar yang akan membuat kampus-kampus kita menjadi lebih dinamis, fleksibel, dan otonom dalam pengelolaannya. Kolaborasi antarkampus pun menjadi lebih memungkinkan demi terciptanya kultur pembelajaran yang inovatif, tidak mengekang, dan lincah beradaptasi menghadapi perubahan zaman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentu masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kebijakan Kampus Merdeka akan membawa perubahan fundamental bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, satu hal yang pasti, dari dulu sampai sekarang harapan masyarakat tidaklah berubah: kampus jangan menjadi menara gading yang asyik dengan dirinya sendiri. Kampus harus terlibat dalam berbagai persoalan masyarakat, termasuk dalam menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan hidup dan kebermanfaatan.
Masalahnya, dinamika dunia di luar kampus lebih sering tidak terkejar oleh dinamika di dalam kampus sendiri. Sebagai contoh, pada era disrupsi ini, sejumlah perusahaan global seperti Google, IBM, Apple, Starbucks, dan Hilton menyediakan lowongan pekerjaan bagi mereka yang bukan sarjana. Fenomena ini menarik dan menggambarkan fakta gelar sarjana tidak selalu identik dengan kesiapan karier.
Sementara di Indonesia, masalah sarjana menganggur masih menjadi momok banyak pihak. Pada 2018, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat sekitar 8,8 persen dari total tujuh juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana. Kondisi tersebut terbilang mengkhawatirkan mengingat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat dengan datangnya Revolusi Industri 4.0.
Pesan kuat dari era disrupsi dan Revolusi Industri 4.0 "memaksa" kampus harus adaptif terhadap perubahan zaman dan tantangan baru yang muncul. Selain harus menghadapi dampak Revolusi Industri 4.0 yang berpengaruh terhadap jenis pekerjaan tertentu, sekitar 630.000 sarjana yang masih menganggur juga harus beradu kompetensi dan keahlian tertentu dengan pekerja asing yang datang sebagai dampak dari pemberlakuan pasar bebas seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Lalu bagaimana kampus menjawab tantangan ini tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai salah satu pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan tetap terlibat dalam penguatan karakter bangsa?
Saya kira, setiap kampus memiliki karakteristik berbeda dan harus merumuskan versi "Kampus Merdeka"-nya sendiri. Rambu-rambu telah diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Payung hukum pun ada, termasuk Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Bagaimana dengan kekhawatiran sebagaimana disebutkan di awal tulisan? Harus dijawab dengan tindakan nyata. Beberapa hal dapat dilakukan untuk menghubungkan kebijakan Kampus Merdeka dengan kepentingan masyarakat luas.
Pertama, kampus harus secara bertanggung jawab memanfaatkan ruang otonom yang lebih luas dan fleksibel sebagai konsekuensi kehadiran kebijakan ini. Salah satu caranya, membangun kolaborasi interdisipliner keilmuan, baik di dalam maupun di luar kampus. Untuk kepentingan itu pula, kita harus bisa menihilkan dinding pembatas di antara rumpun-rumpun keilmuan yang ada.
Ada satu contoh menarik yang disampaikan Diana Sorensen, pakar sastra komparatif yang pernah menjadi Dekan Seni dan Humaniora Universitas Harvard, AS. Dia menyatakan satu area yang sedang berkembang saat ini adalah humaniora digital. Mempelajari humaniora adalah salah satu cara terbaik menghadapi dunia luar. Rumpun ini mengajarkan agar seseorang dapat lebih kritis, namun di waktu yang bersamaan tetap mampu memahami perbedaan pandangan.
Mungkin saat ini memang giliran pemerintah menggalakkan program studi yang terkait STEAM (science, technology, engineering, arts and mathematics) dan vokasi. Namun, bukan berarti harus menomorduakan prodi-prodi di bidang sosial-humaniora. Bagaimanapun, proses pembangunan membutuhkan pendekatan berbagai aspek keilmuan.
Saya kira, lebih baik kita menghindari pengkotak-kotakan dan bekerja sama membangun pendidikan tinggi yang tanggap terhadap persoalan zaman dan mampu menyiapkan lulusan yang kompetitif. Pemerintah dapat menjalankan kewajibannya memetakan mana prodi yang jenuh (surplus lulusan) dan mana prodi yang lulusannya memiliki peluang terserap dunia kerja. Namun, jangan pula dilupakan peluang jenis-jenis pekerjaan baru yang muncul bersamaan dengan datangnya era industri 4.0.
Kedua, pihak kampus juga harus terus memperkuat diri. Kunci untuk menghadapi era industri 4.0 ini tidak lagi pada ukuran dan besaran kampus, tetapi pada kelincahan dan daya adaptifnya menghadapi perubahan yang datang. Jika era revolusi industri 4.0 berusaha mengelaborasi tiga unsur, yaitu manusia, teknologi, dan data raya (big data), itu sebuah tuntutan agar dunia pendidikan mengelola kualitas sumber daya manusianya dengan baik.
Ketiga, kampus yang adaptif dengan perubahan zaman sejatinya juga akan memberikan perhatian terhadap pengembangan potensi non-teknis (soft skills) mahasiswa. Dalam dunia kerja, pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skills) bukanlah segala-galanya. Justru hal-hal yang bersifat non-teknis terkadang lebih menentukan keberhasilan karier seseorang. Di sinilah rumpun sosial dan humaniora dapat berperan. Dengan pendekatan transdisipliner/multidisipliner, kampus diharapkan dapat memberi ruang untuk pengembangan kemampuan teknis dan nonteknis secara bersamaan.
Hal ini sejalan dengan analisis yang pernah dibuat LinkedIn, situs jaringan sosial yang berorientasi bisnis dan profesi dengan jutaan pengguna. Menurut analisis dari situs jejaring tersebut, perusahaan sekarang banyak membutuhkan kombinasi dari keterampilan teknis dan non-teknis, dengan "kreativitas" berada di puncak daftar keterampilan paling dibutuhkan. Temuan ini sejalan dengan laporan Future of Jobs dari Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) yang menyimpulkan "keterampilan manusia" seperti orisinalitas, inisiatif, dan pemikiran kritis cenderung sangat dibutuhkan seiring kemajuan teknologi dan otomatisasi.
Memperkuat soft skills adalah salah satu investasi pendidikan terbaik yang dapat dilakukan dalam karier karena kemampuan ini tidak pernah ketinggalan zaman, tulis editor edukasi LinkedIn, Paul Petrone. "Ditambah lagi, kebangkitan AI (kecerdasan buatan) justru membuat soft skills semakin penting karena sebenarnya soft skills ini tidak mampu diotomatisasi oleh robot," tegas Paul.
Menurut LinkedIn, lima keterampilan non-teknis yang paling dibutuhkan adalah kreativitas, persuasi, kolaborasi, adaptasi, dan manajemen waktu. Mungkin ini pula yang menjadi penyebab mengapa sejumlah perusahaan global berani membuka lapangan pekerjaan untuk mereka yang bukan sarjana, sepanjang mereka memiliki keterampilan nonteknis yang bisa menguntungkan perusahaan.
Menyiapkan lulusan yang kompetitif dalam pengetahuan dan keterampilan teknis adalah salah satu tugas kampus. Namun, Gerakan Kampus Merdeka akan bermakna jika mampu menciptakan atmosfer pendidikan yang mampu membangkitkan kemandirian dan segi-segi baik manusia yang bersifat non-teknis. Karena ini juga menjadi tugas kampus yang tak kalah pentingnya.
Liliana Muliastuti Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta