Judul Buku: 300 Hari di Bumi Syam (Perjalanan Seorang Mantan Pengikut ISIS); Penulis: Febri Ramdani; Penerbit: Milenia, 2020; Tebal: 392 halaman
Ketika sedang hangat-hangatnya wacana pro-kontra pemulangan ISIS eks WNI ke Indonesia, publik disuguhkan dengan hadirnya buku memoar berjudul 300 Hari Perjalanan di Negeri Syam yang ditulis oleh mantan pengikut ISIS, Febri Ramdani.
Secara reflektif, Febri mengisahkan perjalanan hijrahnya ke Suriah dan Irak. Buku ini menarik dan mampu menjadi kontra-narasi terhadap propaganda ISIS di internet untuk masyarakat. Febri telah "insaf" dan berupaya untuk membantu pemerintah dalam mendekonstruksi narasi propaganda ISIS di Indonesia.
Masifnya narasi propaganda ISIS di Internet sebagai alat untuk mencuci otak masyarakat telah berhasil menggaet para pengikutnya dari berbagai negara. Ternyata, propaganda persuasif ini mampu menarik perhatian; ISIS juga mengiming-imingi para pengikutnya dengan kesejahteraan ekonomi dan negara yang aman damai serta memodifikasi secara apik bahwa di sana hidup terjamin, aman, dan tentram di bawah syariat Islam.
Selain itu, terdapat fasilitas pendidikan dan pengobatan gratis, sembako murah, bisa bebas memilih ikut perang atau tidak, misalnya ingin menjadi rakyat sipil biasa, bekerja dan membuka usaha diperbolehkan. Pokoknya tidak ada paksaan (hlm. 23). Ternyata sampai di sana, kondisinya berbeda dengan apa yang dijanjikan oleh ISIS di internet. Terjadi berbagai peperangan dan porak-porandanya berbagai wilayah di Irak dan Suriah.
Febri serta para pengikut yang lain dari berbagai negara bersama-sama masuk ke zona konflik Suriah melalui Turki sebagai negara yang berbatasan langsung. Meskipun juga ada beberapa yang masuk melalui Iran. Proses masuknya pun penuh dengan berbagai hambatan, karena mereka masuk secara illegal. Mendaki gunung atau bukit dan menuruni lembah berpasir-batu.
Begitu miris dan menyayat hati membaca perjalanan yang dilalui oleh para korban yang tergambar dalam buku ini. Tetapi semua tindakan pasti ada konsekuensinya masing-masing. Hijrah sebagai motivasi mereka banyak terinspirasi dari Al Quran, Surat An-Nisa (4) ayat 97 dan 100. Pemaknaan hijrah yang dipahami mereka masih tekstualis dan dikotomis. Hijrah sebagai bagian dari dari sejarah Islam selayaknya dikontekstualisasikan, bukan divisualisasikan dengan konstruk lama.
Hijrah idealnya bermakna "hari ini lebih baik dari kemarin"; ada reformasi dalam diri kita untuk menjadi insan yang lebih baik. Perlunya hijrah untuk transformasi dan peningkatan kualitas diri dari segi pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.
Kota Idlib, Raqqah, Tell Abyad, Ebril merupakan wilayah yang menegangkan penuh konflik yang banyak disinggahi para pehijrah sebagaimana dijelaskan dengan gamblang oleh Febri. Selain itu, kondisi komplotan jihadis ISIS ternyata terpolarisasi menjadi berbagai macam kelompok, yang memiliki visi dan ideologi tersendiri. Dan, seringkali saling berperang dengan berbagai kelompok yang lain.
Modus romanstisme masa lalu Islam yang digalakkan di internet oleh ISIS telah banyak menipu, yang akhirnya berujung penyesalan. Meskipun tidak dapat dipungkiri, kita banyak yang percaya bahwa mereka hijrah atas dasar motif diri sendiri. Selain itu, para pengikut baru juga dianjurkan untuk menikah dan memiliki keturunan yang banyak, agar kelak nantinya bisa dikader untuk meneruskan perjuangan dan membela agama Islam. Tetapi mereka harus menyiapkan dana 2000 dolar AS untuk mahar (hlm. 134). Hal ini menunjukkan suatu komodifikasi serta komersialisasi dalam berdakwah dan ibadah.
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang genealogi-historis perjalanan Febri hingga sampai hijrah ke negara konflik (ISIS) dengan lika-liku perjalanan yang ditempuhnya. Bagian kedua banyak membahas tentang kejadian di lokasi konflik dari Suriah hingga Irak. Dan, pertemuan dengan keluarganya yang merasa telah tertipu, dan menyesalkan Febri mengapa juga menyusul mereka.
Sedangkan bagian ketiga menjelaskan seputar detik-detik terakhirnya di kamp pengungsian hingga jalan kebebasannya. Selain itu, bagian ini menarasikan tentang kembalinya mantan jihadis ini ke pangkuan Ibu Pertiwi serta upaya deradikalisasi ideologi dan pembinaan yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kepada Febri dan keluarganya. Pelayanan yang dilakukan oleh BNPT menyadarkan para mantan kombatan ini bahwa ternyata negara sangat baik memperlakukan rakyatnya. Berbeda dengan apa yang dipikirkan sebelumnya.
Dijelaskan di awal pembuka buku ini bahwa Febri berasal dari keluarga broken-home dan cukup eksklusif dalam beragama, sehingga menjadikannya sosok yang kaku nalar keberagamaannya dan cenderung abai terhadap realitas sosial.
Sebelumnya, keluarga Febri sudah mendahuluinya hijrah ke ISIS. Untuk itu, kehendak Febri berhijrah juga dimotori oleh keberadaan keluarganya di sana, sehingga menambah semangatnya untuk terus bergerak. Karena secara psikologis, hal ini menghantui Febri, apakah harus bertahan di Indonesia atau pergi menuju sebuah negeri yang katanya menegakkan syariat Islam.
Kondisi tersebut menyadarkan kita untuk menguatkan pemahaman kita dalam memahami inti ajaran beragama. Kita perlu belajar dengan para ustaz atau ulama yang memiliki kapasitas keilmuan mumpuni, bukan justru ustaz yang tidak memiliki dasar keilmuan agama yang jelas, yang hanya belajar agama di Google. Selain itu, sikap inklusif dan wawasan keberagaman perlu ditingkatkan dalam ranah keluarga agar tidak mudah menuduh orang lain sesat dan kafir.
Dengan demikian, buku ini menjadi representasi narasi untuk menyadarkan kita agar tidak mudah terperdaya oleh propaganda romantisme Islam yang tidak memiliki akar historis, hingga akhirnya hanya ada penyesalan. Berhijrah harus melihat output baik apa yang akan dihasilkan, sebagaimana hijrahnya Rasulullah SAW, bukan justru hijrah untuk menjadi teroris. Sebab, hal ini justru bukan menjadikan persatuan dalam bingkai keislaman, tetapi perpecahan di tengah konsensus perdamaian.
Ferdiansah mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini