Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.32/ Menlhk/ Setjen/ KUM.1/ 1/ 2020 Tentang Akhir Kerjasama Antara Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Dengan Yayasan WWF Indonesia patut kiranya diapresiasi. Ini bukan saja kebijakan yang berani mengingat WWF Indonesia merupakan NGO besar, dipandang berintegritas, dan memiliki jaringan international dan nasional, melainkan juga adalah warning bagi NGO-NGO lingkungan lain yang bekerja sama dengan pemerintah dan pemerintah daerah yang dalam ruang lingkup bidang tugas, urusan, dan kewenangan KLHK untuk berkinerja baik, logis, dan terukur.
Keputusan itu juga sebenarnya semakin mempertegas banyak hasil penelitian yang menyatakan kinerja LSM lingkungan di Indonesia sangat buruk. Misalnya saja penelitian Rabiali (2017) yang menyimpulkan bahwa Efektifitas dan Sustainabilitas Kinerja LSM Lingkungan Dalam Kegiatan Penghijauan sangatlah buruk, baik dari sisi hukum, teknis maupun sosial.
Selanjutnya, terlepas dari keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu, patut kiranya kita sadari bahwa LSM lingkungan termasuk WWF --terlepas dari kesalahannya-- pada dasarnya merupakan salah satu aktor penting dalam pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia NGO lingkungan sudah dianggap sebagai inti dari masyarakat sipil yang tidak saja aktif dalam mendorong gerakan konservasi, tetapi lebih dari itu mengawasi dan mengkritisi berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkeadilan.
Pertumbuhannya pun cukup pesat; pada 1990 jumlahnya berkisar 8.720, dan pada tahun 2000 jumlahnya melonjak mencapai 13.400. Meskipun demikian, di balik pertumbuhannya yang pesat itu dan dengan eksistensinya di Indonesia yang dimulai sejak 1970-an, jika mau dikritisi mereka sesungguhnya belum mampu memberikan prestasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Di satu sisi, hasil-hasil kerja LSM sejauh ini tidak terlihat atau terukur, sedangkan di sisi yang lain yang terjadi laju deforestasi pada periode 1997-2000 malah terus meningkat mencapai 3,8 juta ha per tahun.
Kondisi ini cukup memprihatinkan jika mengingat dana yang telah digunakan oleh LSM sangat besar, baik yang bersumber dari pemerintah, swasta ataupun lembaga donor. Pada 2013 saja misalnya, Scanlon dan Alawiyah (2014) dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa sektor LSM di Indonesia secara keseluruhan memiliki pendapatan sebesar AU$ 340 juta atau 3,4 triliun, di mana 73% sumber dananya berasal dari donor atau LSM internasional.
Walaupun dana bantuan yang diberikan pada LSM lingkungan sebagaimana paparan di atas sangat besar, namun patut kita sadari juga bahwa sejauh ini mereka belum bisa memberikan kinerja yang efektif dan sustainable untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada masa kini dan masa depan. Sebagai contoh, pada kasus perhutanan sosial yang pada prosesnya banyak melibatkan pendampingan LSM lingkungan; jika KLHK mengkaji lebih jauh lagi bahwa SK Perhutanan Sosial yang telah dibagikan oleh Presiden Joko Widodo pada 2019 di beberapa daerah di Indonesia sesungguhnya penuh dengan rekayasa.
Saya temukan di satu daerah --kasus Sumatera Selatan-- bahwa sangat banyak nama masyarakat yang ada dalam SK Perhutanan Sosial, tetapi tidak ada satu pun dikenal oleh warga dan pemerintah desa. Selain itu, banyak lokasi yang menjadi peruntukan perhutanan sosial tidak diketahui oleh masyarakat.
Di kasus yang lain, buruknya kinerja LSM lingkungan dapat dilihat dari program Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan. Dalam program TFCA itu, administrator TFCA memaparkan bahwa mereka telah menyelesaikan Seleksi Hibah Siklus II, dengan ditandatanganinya Perjanjian Penerimaan Hibah (PPH) kepada 16 mitra, dengan total komitmen senilai Rp 52.884.876.000, setara dengan USD 4.407.073.
Selanjutnya dilaporkan juga bahwa sampai akhir 2015, TFCA Kalimantan telah memiliki 25 mitra untuk mendukung Program HoB (Heart of Borneo) dan PKHB (Program Karbon Hutan Berau) dengan total komitmen sebesar Rp 92.630.719.000 atau setara dengan USD 7.117.830 (Kehati, 2015). Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (Pasal 9 ayat 1,2,3,4; Pasal 11 ayat 1a, 1b, 1c, 1d, 1e, 1f; dan Pasal 16 huruf b, d, dan g) dan Undang-Undang nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Pasal 21 huruf e dan Pasal 51 huruf e dan f), maka seharusnya LSM penerima bantuan TFCA ini berkewajiban menginformasikan berbagai bentuk penggunaan dananya pada publik atau stakeholders terkait.
Hanya saja faktanya, LSM-LSM lingkungan itu tidak pernah mempublikasikan kinerja mereka secara detail dan objektif, baik melalui media massa, elektronik, atau minimal melalui website lembaga.
Memperhatikan berbagai paparan di atas dan untuk menjadi pembelajaran bersama atas kasus pemutusan kontrak kerja sama KLHK pada WWF Indonesia, maka hal mendasar yang penting untuk didiskusikan adalah upaya menciptakan good NGO performance. Dalam konteks itu, maka ada empat hal utama yang barangkali harus direstrukturisasi, yaitu (1) peran institusi, (2) sumber daya manusia, (3) kinerja, dan (4) pola-pola bertindak.
Dalam konteks peran institusi, LSM lingkungan harus memiliki organisasi payung atau asosiasi yang merepresentasikan pemikiran dan gerakan LSM lingkungan. Asosiasi ini dapat difungsikan untuk mewakili komunitas LSM dalam berbagai forum multipihak, membela nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan LSM lingkungan, mengembangkan kerja sama program di antara jaringan, dan membantu pengembangan kapasitas serta pelayanan pada berbagai anggotanya.
Selanjutnya, dalam hal sumber daya manusia LSM lingkungan harus mampu menciptakan kualitas sumber daya manusia yang bermoral dan bermental baik, berintegritas tinggi serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermutu, berdaya saing dan berdaya guna dalam bidang hutan dan lingkungan. Hal ini dapat diwujudkan melalui perbaikan pada dua hal, yaitu (1) pengadaan sumber daya manusia, dan (2) pengembangan sumber daya manusia. Dalam banyak kasus, kedua hal itu dilakukan "asal-asalan" dan bahkan terkesan dilakukan berdasar pada nilai-nilai hubungan interpersonal dan atau kedekatan.
Dalam konteks kinerja, hal penting yang perlu dipikirkan adalah terkait dengan sertifikasi. Dalam perspektif itu, LSM lingkungan harus membentuk Lembaga Sertifikasi Nasional yang bukan saja sebagai alat jaminan mutu kelayakan LSM dalam berkinerja melainkan juga sebagai rangsangan LSM untuk berprestasi. Dalam hal ini, Dewan Sertifikasi LSM Filipina (the Philippine Council for NGO Certification atau PCNC) bisa dijadikan sebagai pembelajaran.
Di antara peran PCNC di Filipina: (1) Menerbitkan sertifikat status pengurangan pajak bagi lembaga penerima donasi, (2) Bantuan PCNC kepada LSM menghasilkan dukungan keuangan dalam situasi di mana bantuan dana asing terus berkurang, (3) Menerbitkan sertifikat untuk para donor asing dan domestik untuk memastikan bahwa LSM dalam keadaan baik, (4) Memunculkan dan/atau menghilangkan regulasi pemerintah yang berlebihan terhadap LSM.
(5) Menghambat aliran dana bagi organisasi teroris dan kegiatan-kegiatan kriminal lainnya, (6) Memperkuat struktur, operas,i dan profesionalisme LSM, (7) Pemberian kesempatan insentif kepada LSM untuk menilai dan meningkatkan diri sendiri, dan (8) Memfasilitasi kontak antar-LSM dari berbagai sektor dan paham pemikiran yang berlainan, yang dapat memperluas perspektif dan penguatan masyarakat sipil.
Dalam konteks pola-pola bertindak, LSM lingkungan perlu memiliki kode etik yang dibentuk, diimplementasikan, dan diawasi bersama. Kode etik merupakan kumpulan aturan yang berisikan prinsip-prinsip moral yang diyakini sebagai yang benar atau salah, baik atau buruk untuk dilakukan. Jika itu disepakati, maka perlu ada badan pengawasan kode etik yang bisa saja kita sebut dengan nama Lembaga LSM Lingkungan Watch sebagai pemantau kinerja-kinerja LSM lingkungan yang bekerja sama dengan pemerintah dan pemerintah daerah, yang dalam ruang lingkup bidang tugas, urusan, dan kewenangan KLHK.
Hal ini bukan saja penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas LSM lingkungan, melainkan juga sebagai perwujudan LSM lingkungan dalam mengimplementasikan semangat filantropi dan altruisme dalam berbagai kegiatan konservasi. Dengan keberadaan Lembaga LSM Lingkungan Watch, maka diharapkan pola pikir dan perilaku LSM lingkungan lebih terarah, terukur dalam batas-batas kewajaran untuk kepentingan masyarakat sipil dan cita-cita nasional sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945.
La Ode Muhammad Rabiali, S.Hut, M.Sc CEO Yayasan Kelompok Aliansi Rimbawan Solidaritas Terpadu (KARST)
(mmu/mmu)
Keputusan itu juga sebenarnya semakin mempertegas banyak hasil penelitian yang menyatakan kinerja LSM lingkungan di Indonesia sangat buruk. Misalnya saja penelitian Rabiali (2017) yang menyimpulkan bahwa Efektifitas dan Sustainabilitas Kinerja LSM Lingkungan Dalam Kegiatan Penghijauan sangatlah buruk, baik dari sisi hukum, teknis maupun sosial.
Selanjutnya, terlepas dari keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu, patut kiranya kita sadari bahwa LSM lingkungan termasuk WWF --terlepas dari kesalahannya-- pada dasarnya merupakan salah satu aktor penting dalam pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia NGO lingkungan sudah dianggap sebagai inti dari masyarakat sipil yang tidak saja aktif dalam mendorong gerakan konservasi, tetapi lebih dari itu mengawasi dan mengkritisi berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkeadilan.
Pertumbuhannya pun cukup pesat; pada 1990 jumlahnya berkisar 8.720, dan pada tahun 2000 jumlahnya melonjak mencapai 13.400. Meskipun demikian, di balik pertumbuhannya yang pesat itu dan dengan eksistensinya di Indonesia yang dimulai sejak 1970-an, jika mau dikritisi mereka sesungguhnya belum mampu memberikan prestasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Di satu sisi, hasil-hasil kerja LSM sejauh ini tidak terlihat atau terukur, sedangkan di sisi yang lain yang terjadi laju deforestasi pada periode 1997-2000 malah terus meningkat mencapai 3,8 juta ha per tahun.
Kondisi ini cukup memprihatinkan jika mengingat dana yang telah digunakan oleh LSM sangat besar, baik yang bersumber dari pemerintah, swasta ataupun lembaga donor. Pada 2013 saja misalnya, Scanlon dan Alawiyah (2014) dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa sektor LSM di Indonesia secara keseluruhan memiliki pendapatan sebesar AU$ 340 juta atau 3,4 triliun, di mana 73% sumber dananya berasal dari donor atau LSM internasional.
Walaupun dana bantuan yang diberikan pada LSM lingkungan sebagaimana paparan di atas sangat besar, namun patut kita sadari juga bahwa sejauh ini mereka belum bisa memberikan kinerja yang efektif dan sustainable untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada masa kini dan masa depan. Sebagai contoh, pada kasus perhutanan sosial yang pada prosesnya banyak melibatkan pendampingan LSM lingkungan; jika KLHK mengkaji lebih jauh lagi bahwa SK Perhutanan Sosial yang telah dibagikan oleh Presiden Joko Widodo pada 2019 di beberapa daerah di Indonesia sesungguhnya penuh dengan rekayasa.
Saya temukan di satu daerah --kasus Sumatera Selatan-- bahwa sangat banyak nama masyarakat yang ada dalam SK Perhutanan Sosial, tetapi tidak ada satu pun dikenal oleh warga dan pemerintah desa. Selain itu, banyak lokasi yang menjadi peruntukan perhutanan sosial tidak diketahui oleh masyarakat.
Di kasus yang lain, buruknya kinerja LSM lingkungan dapat dilihat dari program Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan. Dalam program TFCA itu, administrator TFCA memaparkan bahwa mereka telah menyelesaikan Seleksi Hibah Siklus II, dengan ditandatanganinya Perjanjian Penerimaan Hibah (PPH) kepada 16 mitra, dengan total komitmen senilai Rp 52.884.876.000, setara dengan USD 4.407.073.
Selanjutnya dilaporkan juga bahwa sampai akhir 2015, TFCA Kalimantan telah memiliki 25 mitra untuk mendukung Program HoB (Heart of Borneo) dan PKHB (Program Karbon Hutan Berau) dengan total komitmen sebesar Rp 92.630.719.000 atau setara dengan USD 7.117.830 (Kehati, 2015). Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (Pasal 9 ayat 1,2,3,4; Pasal 11 ayat 1a, 1b, 1c, 1d, 1e, 1f; dan Pasal 16 huruf b, d, dan g) dan Undang-Undang nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Pasal 21 huruf e dan Pasal 51 huruf e dan f), maka seharusnya LSM penerima bantuan TFCA ini berkewajiban menginformasikan berbagai bentuk penggunaan dananya pada publik atau stakeholders terkait.
Hanya saja faktanya, LSM-LSM lingkungan itu tidak pernah mempublikasikan kinerja mereka secara detail dan objektif, baik melalui media massa, elektronik, atau minimal melalui website lembaga.
Memperhatikan berbagai paparan di atas dan untuk menjadi pembelajaran bersama atas kasus pemutusan kontrak kerja sama KLHK pada WWF Indonesia, maka hal mendasar yang penting untuk didiskusikan adalah upaya menciptakan good NGO performance. Dalam konteks itu, maka ada empat hal utama yang barangkali harus direstrukturisasi, yaitu (1) peran institusi, (2) sumber daya manusia, (3) kinerja, dan (4) pola-pola bertindak.
Dalam konteks peran institusi, LSM lingkungan harus memiliki organisasi payung atau asosiasi yang merepresentasikan pemikiran dan gerakan LSM lingkungan. Asosiasi ini dapat difungsikan untuk mewakili komunitas LSM dalam berbagai forum multipihak, membela nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan LSM lingkungan, mengembangkan kerja sama program di antara jaringan, dan membantu pengembangan kapasitas serta pelayanan pada berbagai anggotanya.
Selanjutnya, dalam hal sumber daya manusia LSM lingkungan harus mampu menciptakan kualitas sumber daya manusia yang bermoral dan bermental baik, berintegritas tinggi serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermutu, berdaya saing dan berdaya guna dalam bidang hutan dan lingkungan. Hal ini dapat diwujudkan melalui perbaikan pada dua hal, yaitu (1) pengadaan sumber daya manusia, dan (2) pengembangan sumber daya manusia. Dalam banyak kasus, kedua hal itu dilakukan "asal-asalan" dan bahkan terkesan dilakukan berdasar pada nilai-nilai hubungan interpersonal dan atau kedekatan.
Dalam konteks kinerja, hal penting yang perlu dipikirkan adalah terkait dengan sertifikasi. Dalam perspektif itu, LSM lingkungan harus membentuk Lembaga Sertifikasi Nasional yang bukan saja sebagai alat jaminan mutu kelayakan LSM dalam berkinerja melainkan juga sebagai rangsangan LSM untuk berprestasi. Dalam hal ini, Dewan Sertifikasi LSM Filipina (the Philippine Council for NGO Certification atau PCNC) bisa dijadikan sebagai pembelajaran.
Di antara peran PCNC di Filipina: (1) Menerbitkan sertifikat status pengurangan pajak bagi lembaga penerima donasi, (2) Bantuan PCNC kepada LSM menghasilkan dukungan keuangan dalam situasi di mana bantuan dana asing terus berkurang, (3) Menerbitkan sertifikat untuk para donor asing dan domestik untuk memastikan bahwa LSM dalam keadaan baik, (4) Memunculkan dan/atau menghilangkan regulasi pemerintah yang berlebihan terhadap LSM.
(5) Menghambat aliran dana bagi organisasi teroris dan kegiatan-kegiatan kriminal lainnya, (6) Memperkuat struktur, operas,i dan profesionalisme LSM, (7) Pemberian kesempatan insentif kepada LSM untuk menilai dan meningkatkan diri sendiri, dan (8) Memfasilitasi kontak antar-LSM dari berbagai sektor dan paham pemikiran yang berlainan, yang dapat memperluas perspektif dan penguatan masyarakat sipil.
Dalam konteks pola-pola bertindak, LSM lingkungan perlu memiliki kode etik yang dibentuk, diimplementasikan, dan diawasi bersama. Kode etik merupakan kumpulan aturan yang berisikan prinsip-prinsip moral yang diyakini sebagai yang benar atau salah, baik atau buruk untuk dilakukan. Jika itu disepakati, maka perlu ada badan pengawasan kode etik yang bisa saja kita sebut dengan nama Lembaga LSM Lingkungan Watch sebagai pemantau kinerja-kinerja LSM lingkungan yang bekerja sama dengan pemerintah dan pemerintah daerah, yang dalam ruang lingkup bidang tugas, urusan, dan kewenangan KLHK.
Hal ini bukan saja penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas LSM lingkungan, melainkan juga sebagai perwujudan LSM lingkungan dalam mengimplementasikan semangat filantropi dan altruisme dalam berbagai kegiatan konservasi. Dengan keberadaan Lembaga LSM Lingkungan Watch, maka diharapkan pola pikir dan perilaku LSM lingkungan lebih terarah, terukur dalam batas-batas kewajaran untuk kepentingan masyarakat sipil dan cita-cita nasional sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945.
La Ode Muhammad Rabiali, S.Hut, M.Sc CEO Yayasan Kelompok Aliansi Rimbawan Solidaritas Terpadu (KARST)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini