Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang sudah menjadi salah satu Prolegnas 2020 di DPR tampaknya memicu perdebatan publik. Ada sejumlah pasal yang dianggap kontroversial sehingga dikritisi banyak kalangan. Salah satunya adalah tentang istri wajib mengurus rumah tangga.
Secara terperinci, pasal tersebut menyebutkan kewajiban istri antara lain wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga, memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, ada pula pasal-pasal lain yang juga dianggap kontroversial oleh publik. Tetapi tulisan singkat ini hanya akan membahas pasal yang terkait dengan kewajiban istri untuk mengurus rumah tangga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Domestikasi
Kalau dicermati, pasal di atas secara jelas menghendaki agar perempuan lebih banyak berperan di dalam rumah atau di ruang domestik/privat ketimbang di luar rumah atau ruang publik. Sementara urusan luar atau wilayah publik diberikan kepada suami sebagai kepala keluarga.
Isu tentang wilayah privat dan publik cukup lama berlangsung dalam studi tentang gender di Indonesia. Para aktivis gender sudah sering melakukan sosialisasi dan advokasi bahwa sekarang sudah tidak relevan lagi ada dikotomi antara kedua ruang tersebut bagi laki-laki dan perempuan. Masing-masing pihak bisa mengisinya sesuai dengan kapasitasnya.
Dan saat ini boleh dikatakan,bahwa studi gender di negeri ini cukup berkembang pesat. Apa yang disebut dengan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) telah banyak dilakukan, sehingga dipandang cukup berhasil. Kian banyaknya perempuan Indonesia yang masuk ke ruang-ruang publik dapat dikatakan sebagai salah satu indikator.
Dalam dunia politik, untuk menyebut salah satu contoh, melalui gerakan affirmative action --kuota 30% perempuan di partai politik dan parlemen-- keterlibatan perempuan Indonesia cukup baik. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap gerakan tersebut, kenyataan memperlihatkan bahwa perempuan di republik ini sudah tidak ragu lagi untuk masuk ke dalam dunia politik.
Oleh karena itu, pasal yang menyatakan bahwa istri wajib mengurus rumah tangga bisa dipahami sebagai langkah mundur. Frasa tersebut mengandaikan bahwa perempuan harus tetap berada di dalam rumah agar dapat mengatur rumah tangganya. Dengan kata lain, beban internal keluarga diberikan kepada istri saja.
Hal ini tentu akan menjadi persoalan ketika tidak sedikit dari perempuan zaman sekarang yang berperan di ruang-ruang publik, yakni bekerja di berbagai bidang kehidupan. Bahkan ada pula istri yang lebih sibuk dari suaminya dan menjadi tulang punggung keluarga. Tentu saja pasal di atas akan sulit diterapkan pada kasus seperti itu.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pasal tersebut hendak melakukan domestikasi terhadap perempuan atau istri. Gerakan istri dibatasi hanya di sekitar rumah dengan alasan mengatur rumah tangga. Istri, dengan demikian, menjadi tidak leluasa untuk bergerak di ruang publik sekalipun memiliki kemampuan.
Seharusnya persoalan kewajiban mengatur urusan rumah tangga menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Dan penerapannya tidak perlu dilakukan secara rigid, hanya menjadi tanggung jawab salah satu pihak. Karena boleh jadi di sebuah keluarga, suami yang lebih dominan, tetapi di keluarga yang lain, istri yang lebih dominan.
Tentu saja masalah berbagi tanggung jawab bersama atas urusan rumah tangga bisa dilakukan dengan musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan inilah yang nanti dijadikan komitmen untuk bersama-sama mengatur rumah tangga. Jika memang kesepakatannya istri yang harus lebih banyak di ruang publik karena alasan tertentu, maka demikianlah yang mesti dilakukan.
Kalau kecenderungan seperti ini yang terjadi di dalam keluarga, secara tidak langsung keluarga telah menanamkan nilai-nilai demokrasi di dalam rumah. Segala keputusan terbiasa diambil melalui musyawarah, dan setelah dicapai kesepakatan kemudian berkomitmen untuk melakukannya. Jelas ini sebuah proses demokrasi yang sangat penting.
Model keluarga-keluarga seperti inilah yang justru diperlukan oleh negeri ini untuk semakin memperkuat demokrasi. Hal ini karena, orang-orang yang lahir dari keluarga demokratis, cenderung akan bisa menerapkan nilai demokrasi dalam kehidupan yang lebih luas, misalnya, dalam konteks bangsa dan negara. Dan demikian pula sebaliknya.
Dari sudut pandang ini, menurut saya, pasal yang mewajibkan istri sebagai mengurus rumah tangga dapat menegasikan nilai-nilai demokrasi. Sejak awal, RUU ini telah memosisikan istri sedemikian rupa tanpa ada kemungkinan untuk musyawarah atau negosiasi dengan suami. Istri seolah-olah dibiarkan menanggung beban sendirian untuk mengurus rumah tangga.
Oleh karena itu, para anggota DPR yang akan membahas RUU ini mesti lebih mencermati lagi pasal demi pasal dari setiap RUU. Jangan sampai sebuah undang-undang lahir, tetapi tidak lama kemudian mendapatkan reaksi keras dari publik.
Iding Rosyidin Sekretaris Jenderal Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (Apsipol) dan Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mmu/mmu)