Menarik untuk mencermati hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dilakukan Bappenas pada 2019 yang lalu. Badan think-tank pemerintah ini memprediksi Indonesia akan kehilangan 8,15 juta hektar luas tutupan hutan primer atau setara dengan 14 kali luas pulau Bali dalam 25 tahun ke depan. Angka ini didapat setelah mempelajari tren penurunan luas tutupan hutan primer dalam dua dekade terakhir.
Hasil studi mereka menyimpulkan bahwa upaya moratorium pemerintah sejak 2011 tidak cukup efektif mencegah penurunan luas tutupan hutan primer yang ada. Sedikitnya 3 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut telah habis dikonversi untuk Area Penggunaan Lain (APL) selama 8 tahun terakhir.
Hasil studi mereka menyimpulkan bahwa upaya moratorium pemerintah sejak 2011 tidak cukup efektif mencegah penurunan luas tutupan hutan primer yang ada. Sedikitnya 3 juta hektar hutan alam primer dan lahan gambut telah habis dikonversi untuk Area Penggunaan Lain (APL) selama 8 tahun terakhir.
Padahal hutan adalah "aktor utama" pencegah bencana erosi dan banjir. Hutan jugalah yang menjadi benteng terakhir bagi daya dukung dan daya tampung (DDDT) di daratan. Kejadian bencana banjir di awal tahun yang melanda sejumlah kawasan Jabodetabek dan sempat melumpuhkan aktivitas perekonomian ibu kota, seharusnya bisa menjadi refleksi bahwa bencana yang terjadi tidak terlepas dari fakta telah terjadi alih fungsi hutan secara masif.
Hal itu pun terkonfirmasi dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Saat ini kawasan hutan yang ada di DAS Ciliwung hanya tersisa 8%, sementara 92% lainnya telah menjadi APL. Sementara untuk DAS Cisadane, kawasan hutannya hanya tersisa 17%, sedangkan 83% lainnya telah terkonversi menjadi APL. Pun begitu dengan kondisi di DAS Kali Bekasi, kawasan hutannya saat ini hanya tersisa 38% saja.
Sebenarnya beberapa upaya untuk melindungi tutupan hutan telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sebagai contoh beberapa provinsi telah mengembangkan inisiatif "Provinsi Hijau". Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) pun telah coba diadopsi dengan mengusung konsep tata kuasa, tata usaha, dan tata niaga.
Hanya saja sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan sektoral terkait dengan isu lingkungan selalu terkendala dengan prinsip tata kelola dan regulasi yang acap dinomorduakan. Padahal implementasi tersebut butuh dukungan dan komitmen yang kuat dalam mencapai target pembangunan hijau yang diinginkan bersama.
Bercermin dari kondisi yang ada, mungkin sudah selayaknya pemerintah mempertimbangkan inisiatif baru yang bisa menjadi "pelecut" semua pihak untuk turut berkontribusi mendukung isu pembangunan berkelanjutan.
Insentif Fiskal Berbasis Ekologi
Kita bisa mem-benchmark negara-negara yang berhasil mengembangkan skema insentif berbentuk ecological fiscal transfer (EFT). Di Brazil, EFT diberikan dalam bentuk transfer fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintahan di bawahnya (negara bagian) yang telah melakukan upaya perlindungan lingkungan dan memberikan manfaat (spillover) positif bagi daerah lain. Skema ini terbukti meningkatkan lebih dari 165% luas kawasan hutan lindung di Negara Bagian Parana dari 637 ribu hektar menjadi 1,69 juta hektar hanya dalam kurun waktu delapan tahun.
Di Indonesia sendiri, EFT dalam dua tahun ini sering diadvokasi oleh The Asia Foundation (TAF) beserta Jaringan Masyarakat Sipil. Tiga skema insentif fiskal yang ditawarkan berupa Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE), dan Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE) sangat bisa menjadi referensi bagi seluruh pemangku kebijakan. Bahkan implementasi TAPE dan TAKE sudah mulai diadopsi oleh Provinsi Kalimantan Utara dan Kabupaten Jayapura. Sinyalemen positif ini kita harapkan dapat terus berlanjut sehingga dapat mendorong daerah-daerah lainnya untuk menduplikasi skema serupa.
Sebagai skema insentif-disinsentif ekologi, wajib dipastikan kehadiran regulasi dan tata kelola demi menjamin keberlanjutan komitmen dan dukungan pemerintah. Dalam konteks pengembangan TANE, kita harapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang hubungan keuangan pusat dan daerah yang saat ini sedang digodok dapat mengakomodasi skema Dana Perlindungan Lingkungan (DPL). Apalagi dalam berbagai diskusi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa DPL akan digagas dalam bentuk instrumen pembiayaan yang akan diberikan kepada pemerintah provinsi sebagai bagian dari insentif hijau.
Selain itu, "celah" pengimplementasian insentif fiskal berbasis ekologi juga terbuka setelah pemerintah di tahun ini mengubah formula dana desa (DD) dengan memasukkan alokasi kinerja sebagai salah satu pertimbangan. Kriteria lingkungan hidup tentunya diharapkan dapat menjadi bagian dari indikator kinerja yang diukur dari 74 ribu desa yang mendapatkan DD tahun ini.
Dalam konteks pengembangan TAPE, beleid berupa Peraturan Gubernur dapat diterbitkan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. TAPE dapat dikembangkan sebagai bantuan keuangan bersifat khusus (BKK) sebagai manifestasi dukungan pemprov ke pemerintahan di bawahnya dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Inisiatif ini akan sangat efektif mendorong pemkab/kota dan desa untuk turut berkontribusi mendukung pembangunan berkelanjutan di level provinsi.
Sedangkan untuk skema TAKE, Peraturan Bupati/Wali Kota bisa mengakomodasi Insentif TAKE sebagai bagian dari formula Alokasi Dana Desa (ADD) yang merupakan transfer wajib pemkab/kota kepada setiap desa di wilayahnya. Penting untuk juga menjelaskan kepada setiap pemda bahwa skema TAPE dan TAKE pada prinsipnya hanya mereformulasi mekanisme pemberian bantuan dengan menyertakan indikator ekologi dalam formula alokasi sehingga tidak menambah besaran total dana yang diberikan. Hal ini dapat menjadi jawaban atas permasalahan "klasik" sempitnya ruang gerak fiskal pemda dimana APBD tidak punya space yang cukup untuk dialokasikan dalam isu lingkungan.
Sebagai skema insentif, TAPE, TAKE, dan TANE membutuhkan indikator-indikator ekologi eksplisit yang dapat menunjukkan kinerja pemerintah dalam melindungi lingkungan hidup. Indikator ini perlu tersedia sehingga kinerja masing-masing level pemerintahan dapat diukur. Untuk skema TAPE, pemprov dapat menyertakan kriteria seperti Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH), pengelolaah persampahan, sampai dengan pencegahan dan pencemaran udara sebagai indikator keberhasilan pemerintah kab/kota dan desa sehingga layak mendapatkan BKK.
Dalam kaitannya dengan skema TAKE, pemkab/kota dapat menambahkan Alokasi Berbasis Kinerja ekologi dalam Formula Alokasi yang selama ini digunakan untuk menentukan besaran ADD bagi setiap desa. Kriteria Indeks Desa Membangun (IDM) yang didalamnya sudah memuat indikator ketahanan lingkungan dapat digunakan untuk menentukan desa dengan kinerja ekologi terbaik. Sedangkan untuk skema TANE, indikator yang bisa dipertimbangkan adalah perubahan luas kawasan lindung (protected areas) yang meliputi hutan dan laut dan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) di daerah.
Formula EFT ini dapat menjadi obat mujarab dalam meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan hidup. Tentunya dengan prasyarat hadirnya good governance dalam tataran implementasi kebijakan. Jangan sampai inisiatif ini lagi-lagi hanya terbatas pada hal yang berbau administrasi atau bahkan "pencitraan" belaka.
Aulia Rahim Head of Budget Execution Section Treasury Regional Office of West Sumatra, Direktorat Jenderal Perbendaraan Kementerian Keuangan
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini