Awal 2020 menjadi awal tantangan baru bagi para buruh. Kemajuan teknologi membuat nasib para buruh dalam ketidakpastian. Belum selesai Indonesia beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0, negara maju seperti Jepang telah menggagas konsep Society 5.0.
Revolusi Industri 4.0 menghadirkan teknologi baru berupa internet of things (IoT), big data, dan artificial intelligence, sedangkan Society 5.0 adalah konsep untuk menggunakan teknologi modern dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi. Melalui penerapan teknologi modern, sektor industri tidak lagi semata-mata berfokus pada pengembangan usaha dan peningkatan laba, melainkan juga pada pendayagunaan dan optimalisasi setiap aktivitas kerjanya. Mulai dari pengadaan modal, proses produksi, hingga layanan kepada konsumen harus dilakukan secara optimal.
Bertambahnya fokus dalam sektor industri menimbulkan dampak berupa culture shock dalam sektor ketenagakerjaan. Pendayagunaan serta optimalisasi aktivitas justru kontradiktif dengan kondisi Indonesia saat ini yang masih terkena bayang-bayang konsep padat karya. Hadirnya teknologi dan fokus baru dalam sektor industri menggeser peranan para buruh dalam dunia kerja. Oleh karenanya, buruh harus siap untuk dimutasi, dirumahkan, hingga pemutusan hubungan kerja.
Tentu hal ini akan sangat merugikan bagi para buruh. Lantas timbul pertanyaan mendasar, apakah hadirnya teknologi akan selalu berimbas buruk kepada buruh? Dan, apakah yang harus dilakukan pemerintah dalam menghadapi hal tersebut?
Revolusi Industri 4.0 menghadirkan teknologi baru berupa internet of things (IoT), big data, dan artificial intelligence, sedangkan Society 5.0 adalah konsep untuk menggunakan teknologi modern dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi. Melalui penerapan teknologi modern, sektor industri tidak lagi semata-mata berfokus pada pengembangan usaha dan peningkatan laba, melainkan juga pada pendayagunaan dan optimalisasi setiap aktivitas kerjanya. Mulai dari pengadaan modal, proses produksi, hingga layanan kepada konsumen harus dilakukan secara optimal.
Bertambahnya fokus dalam sektor industri menimbulkan dampak berupa culture shock dalam sektor ketenagakerjaan. Pendayagunaan serta optimalisasi aktivitas justru kontradiktif dengan kondisi Indonesia saat ini yang masih terkena bayang-bayang konsep padat karya. Hadirnya teknologi dan fokus baru dalam sektor industri menggeser peranan para buruh dalam dunia kerja. Oleh karenanya, buruh harus siap untuk dimutasi, dirumahkan, hingga pemutusan hubungan kerja.
Tentu hal ini akan sangat merugikan bagi para buruh. Lantas timbul pertanyaan mendasar, apakah hadirnya teknologi akan selalu berimbas buruk kepada buruh? Dan, apakah yang harus dilakukan pemerintah dalam menghadapi hal tersebut?
Pendayagunaan
Hadirnya teknologi tidak selalu berakibat buruk bagi buruh. Tenaga kerja dan teknologi dapat diselaraskan melalui pendayagunaan yang tepat. Revolusi industri tidak hanya memunculkan teknologi baru, namun di sisi lain memunculkan pula sektor kerja yang baru.
Perusahaan tentunya dapat mendayagunakan para pekerjanya untuk mengisi sektor kerja yang baru seperti pengembang perangkat lunak, pengembang aplikasi, social media strategist, content writer, search engine optimization, data trainer, dan conversation designer.
Sayangnya pendayagunaan tidak dapat serta-merta dilakukan. Hal yang menjadi permasalahan adalah apakah tenaga kerja Indonesia sudah mampu dan siap untuk menghadapi peralihan sektor kerja tersebut? Tentu jawabannya adalah belum. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pendayagunaan tersebut terhambat.
Pertama, sempitnya paradigma pendidikan bagi buruh dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kedua, sarana dan prasarana pendidikan bagi angkatan kerja yang tidak optimal. Ketiga, peraturan yang tidak sesuai perkembangan jaman dan saling tumpang tindih.
Paradigma hak pendidikan yang dimiliki oleh buruh sangatlah sempit, yakni masih berkaitan dengan pelatihan kerja sesuai dengan bidang/sektor kerjanya. Pelatihan kerja diatur dalam pasal 11 UU Ketenagakerjaan. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.
Sayangnya pasal tersebut sudah tidak relevan lagi. Hal ini dibuktikan dengan Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang masih berkutat pada hard skill. Padahal dewasa ini, yang dibutuhkan para buruh tidak hanya hard skill terkait sektor pekerjaan mereka saat ini, namun soft kill dan pengetahuan terkait sektor kerja yang akan hadir pun menjadi hak dan kebutuhan bagi buruh.
Sarana dan prasarana pendidikan bagi angkatan kerja memiliki permasalahan yang sama. Seperti halnya Balai Latihan Kerja (BLK), pelatihan yang diberikan hanya terkait hard skill mendasar. Padahal dalam sarana BLK angkatan kerja perlu dikenalkan terkait dengan hak-haknya, soft skill seperti public speaking, kewirausahaan, dan kepemimpinan perlu juga dimasukkan dalam materi pendidikan.
Hal ini semata-mata untuk meningkatkan kemampuan angkatan kerja untuk menghadapi era teknologi serta menguatkan bargaining position di mata perusahaan nantinya.
UU Ketenagakerjaan masih menyisakan kekosongan hukum. Sebagai contoh pengaturan terkait kemitraan dan perlindungan terhadap antarmitra masih belum diatur. Padahal kemitraan merupakan sebuah pola hubungan kerja baru yang telah berlangsung di Indonesia.
Selain itu, peraturan yang tumpang tindih akibat banyaknya peraturan turunan terhadap UU Ketenagakerjaan menjadikan permasalahan ketidakpastian hukum terhadap buruh. Oleh karena itu, perlu adanya penyelarasan kembali terhadap seluruh peraturan tentang ketenagakerjaan. Untuk itu, pemerintah sedang gencar dalam menggodok RUU Cipta Lapangan Kerja dengan skema omnibus law atau undang-undang sapu jagat.
Hadirnya UU dengan skema sapu jagat diharapkan dapat menghentikan permasalahan tumpang tindih aturan dan kekosongan hukum. Selain itu, materiil dari RUU tersebut diharapkan dapat menuntaskan permasalahan perburuhan terkhusus permasalahan jaminan terhadap hak buruh.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini