Sektor yang menjadi primadona untuk PMA adalah Listrik, Gas, dan Air dengan nilai investasi sebesar USD 1.350,5 juta. Dengan demikian RUU Omnibus Law merupakan kekuatan supra-struktur untuk menarik investor sebanyak mungkin untuk berinvestasi di Indonesia.
Ada beberapa poin yang menjadi substansi dalam rancangan undang-undang Omnibus Law; penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi (menghapus pidana), pengadaan lahan, serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi. Kesembilan aspek tersebut menjadi pokok usulan yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan yang besar dengan harapan mampu mengurangi jumlah angka pengangguran terbuka sebesar 6,82 juta jiwa (data BPS 2019).
Pertanyaan mendasar, mampukah RUU Omnibus Law menjadi pemecah kebuntuan ihwal pengangguran di Indonesia? Serta, sejauh mana Omnibus Law mampu memberikan harapan bahwa investasi kelak akan berdampak pada masyarakat kecil --atau, investasi hanya dapat dinikmati oleh elite dan segelintir orang saja? Bukankah investasi sejatinya bermuara pada penciptaan lapangan pekerjaan yang kelak berdampak pada peningkatan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat?
Melihat tren data yang ditunjukkan oleh BKPM bahwa sektor industri di tahun 2016 hanya mampu menyerap sebesar 15,8 Juta tenaga kerja, tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 10% yaitu di angka 17,4 juta tenaga kerja. Tetapi di tahun 2018 peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja tidak mengalami jumlah yang signifikan yaitu sebesar 18,1 juta tenaga kerja atau hanya mengalami peningkatan sebesar 4% dari tahun sebelumnya. Sedangkan nilai investasi tahun 2018 mencapai Rp 361,6 triliun, artinya pertumbuhan investasi di sektor industri tak selamanya berbarengan dengan penyerapan jumlah tenaga kerja di sektor industri tersebut.
Alih-alih membela kepentingan buruh, Omnibus Law justru dapat menjadikan buruh tak ubahnya seperti mesin-mesin produksi. Adanya usulan dalam draf tersebut seperti yang pertama adalah hilangnya upah minimum yang diganti dengan upah per jam tentunya memiliki konsekuensi bahwa produktivitas akan diukur dari berapa jam buruh menyelesaikan pekerjaannya. Kedua, hilangnya atau ditiadakannya upah untuk pembayaran pesangon pasti akan menciptakan problematika dan ketidakharmonisan hubungan industrial antara buruh dengan pemilik usaha/perusahaan.
Ketiga, dengan diperbolehkan outsourcing dan pekerja kontrak tanpa batas, dimungkinkan akan membuat perusahaan dengan mudah untuk membuat kebijakan yang banyak merugikan buruh. Perusahaan akan dengan mudah untuk menempatkan banyak alokasi SDM melalui model outsourcing dan pekerja kontrak tanpa batas artinya jenjang karier seorang pekerja atau buruh ada di wilayah abu-abu.
Selain itu juga, yang keempat, dengan adanya kebijakan pembukaan kran yang selebar-lebarnya untuk tenaga kerja asing dimungkinkan menyebabkan berkurangnya kesempatan bagi tenaga kerja dalam negeri untuk bersaing di pasar kerja, mengingat SDM kita juga masih membutuhkan peningkatan skill dan kompetensi. Kemudian yang kelima, dihilangkannya jaminan pensiun dan kesehatan juga akan melahirkan persoalan di kemudian hari. Hingga yang keenam, ditiadakannya sanksi pidana pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan dan sanksi terhadap pengusaha yang melanggar ketentuan lingkungan juga akan menciptakan persoalan ke depan.
Simalakama
Di sisi lain, dalam draf RUU Omnibus Law terdapat pasal-pasal yang tidak berpihak pada isu-isu lingkungan, sosial, dan budaya. Salah satu usulan dalam draf RUU tersebut adalah bagaimana mekanisme penilaian mengenai analisis dampak lingkungan (Amdal) yang tertuang dalam Pasal 29 UU Nomor 32 tahun 2009 akan diubah melalui mekanisme assessment yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan cara penunjukan langsung oleh pelaku usaha.
Dengan demikian, adanya perubahan tersebut sangat rentan terjadinya praktik-praktik manipulatif dalam mengukur dampak lingkungan, bahkan dimungkinkan pelaku usaha dapat memesan hasilnya sesuai dengan permintaan serta kebutuhan mereka demi kelancaran investasi dan menjalankan usaha.
Selain itu juga, RUU Omnibus Law dapat menjadi celah kepada para pelaku usaha yang melakukan kejahatan lingkungan (illegal logging, deforestasi, dan aktivitas perusakan hutan lainnya). Pelaku usaha dengan mudah melenggang untuk mengeksploitasi lingkungan demi akumulasi capital. Salah satunya adalah dengan memberi kemudahan penggunaan kawasan hutan, kemudahan dan percepatan Izin Penggunaan Kawasan Hutan (IPKH), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan pelepasan Kawasan hutan.
Seperti yang tertuang dalam UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 26, 27, 28 dan 29, yang mengatur pemanfaatan hutan lindung, usulan Omnibus Law seolah memberi angin segar bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan izin pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan lindung. Jika usulan perubahan UU No 41 Tahun 1999 tersebut disepakati, maka keberlanjutan serta keanekaragaman hayati dan lingkungan menjadi pertaruhan.
Sementara di satu sisi berdasarkan data Kementerian Kehutanan Republik Indonesia sepanjang 2000-2019, sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Kondisi ini apabila tidak ada kekuatan supra-struktur yang mengatur tentang konservasi, terkhusus hutan lindung akan menjadi mimpi buruk bagi keanekaragaman hayati serta flora dan fauna yang ada di hutan-hutan di Indonesia.
Upaya advokasi terhadap satwa-satwa yang rentan (vulnerable animals) sangat mendesak. Menurut data yang disajikan oleh Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020, hutan Indonesia menjadi tempat berkembang biak 12 persen spesies mamalia dunia, 7,3 persen spesies reptil dan amfibi, serta 17 persen species burung dari seluruh dunia. Selain itu juga riset yang dilakukan oleh WWF menunjukkan, antara tahun 1994-2007 telah ditemukan lebih dari 400 spesies baru dalam dunia sains di hutan Pulau Kalimantan.
Bahkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah merumuskan framework untuk melakukan monitoring terhadap isu perubahan iklim melalui Green Growth Framework yang terbagi dalam empat indikator. Pertama, lingkungan produktivitas sumber daya; kedua, aset sumber daya alam; ketiga, dimensi lingkungan dan kualitas hidup; keempat, peluang ekonomi dan respons kebijakan.
Poin krusial Omnibus Law sebetulnya merupakan bagian dari dimensi green growth yang ada pada indikator ke empat, di mana ikhtiar untuk menciptakan akselerasi ekonomi melalui penyederhanaan izin berusaha harus tetap berpegang teguh pada kesadaran ekologi, keanekaragaman hayati, dan local wisdom.
Lebih lanjut lagi, OECD memproyeksikan bahwa polusi udara luar ruangan dapat menyebabkan antara 6 dan 9 juta kematian prematur per tahun pada tahun 2060 dan menelan biaya 1% dari PDB global sekitar USD 2,6 triliun per tahun. Pencemaran lingkungan dan polusi udara menjadi permasalahan serius. Pemerintah, industriawan, investor, bahkan masyarakat umum perlu menyadari bahaya tersebut. Untuk itu perlu regulasi yang tepat dan kontekstual guna merespons problem tersebut. Jika problem-problem ihwal lingkungan kita anggap sebagai persoalan yang remeh, maka kita dapat menjamin bahwa target yang ditetapkan oleh UN melalui SGDs hanya isapan jempol.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan akan selalu menempatkan ekonomi sebagai pemimpin tertinggi dalam setiap dimensi. Tetapi pembangunan ekonomi yang digerakkan oleh sumber daya manusia guna mengelola sumber daya alam acap menyebabkan konflik di berbagai bidang seperti kerusakan lingkungan, keanekaragaman hayati, bahkan mengusik nilai-nilai kearifan lokal.
Dengan demikian RUU Omnibus Law ibarat dua sisi mata pisau --payung hukum tersebut di satu sisi dapat memacu laju investasi, tetapi di sisi lain dapat menjadi bom waktu yang dapat mengancam keberlanjutan lingkungan, keanekaragaman hayati, bahkan budaya dan kearifan lokal. Jadi kata simalakama mungkin istilah yang tepat apabila pemerintahan Presiden Joko Widodo kelak mengesahkan RUU tersebut.
Omnibus Law dimungkinkan menjadi alat untuk mengendalikan kuasa modal para elite. Oleh karena itu semua eksponen harus melihat secara kritis di balik diusulkannya RUU tersebut. Jangan sampai atas nama investasi dan cipta lapangan kerja banyak hal-hal yang dikorbankan.
(mmu/mmu)