Ricuh Kongres PAN dan Potret Buram Demokrasi Internal Parpol

Kolom

Ricuh Kongres PAN dan Potret Buram Demokrasi Internal Parpol

Desi Ratriyanti - detikNews
Kamis, 13 Feb 2020 15:50 WIB
Kongres PAN di Kendari, Sulawesi Tenggara, kembali ricuh. Para peserta bahkan saling melempar kursi.
Kongres PAN di Kendari diwarnai kericuhan (Foto: Lamhot Aritonang)
Jakarta -

Kongres Partai Amanat Nasional (PAN) yang berlangsung di Kendari pada 10-12 Februari diwarnai sejumlah kericuhan. Seperti ramai diwartakan media, kongres yang agenda utamanya ialah memilih ketua umum itu diwarnai oleh saling serang antarkader. Bahkan, dari foto-foto yang beredar di media massa maupun media sosial, tampak sejumlah kader saling lempar kursi dan suasana ruang kongres yang kacau balau.

Kericuhan di arena kongres partai politik (parpol) tentu bukan fenomena baru di negeri ini. Saban penyelenggaraan kongres partai dengan agenda pemilihan ketua umum, nyaris bisa dipastikan terjadi kericuhan. Namun, kericuhan yang melibatkan baku hantam tampaknya baru terjadi pada Kongres PAN tersebut. Secara umum, peristiwa kericuhan ini menggambarkan betapa parahnya dinamika demokrasi di internal parpol. Saking parahnya, perbedaan pendapat tidak bisa lagi dinegosiasikan alih-alih diselesaikan dengan jalan kekerasan.

Jika dilihat secara objektif, kericuhan di arena kongres parpol hanyalah satu dari sekian tanda bobroknya demokrasi di internal parpol. Setidaknya masih ada dua lagi fenomena yang menunjukkan betapa lemahnya demokrasi di internal parpol.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, fenomena mandeknya regenerasi kepemimpinan di sejumlah parpol yang ditandai dengan suksesi kepimpinan yang didominasi oleh isu keturunan, trah atau keluarga. Alhasil, kursi pimpinan sejumlah parpol nyaris selalu diduduki oleh elite politik yang itu-itu saja. Mandeknya regenerasi pimpinan parpol ini juga diperparah dengan tidak diterapkannya sistem meritokrasi di dalam birokrasi internal parpol. Imbasnya, banyak kader parpol yang cakap dan berintegritas justru tidak mendapat kesempatan untuk masuk dalam bursa pemilihan ketua umum.

Kedua, fenomena pengelolaan parpol yang jauh dari manajemen dan birokrasi modern yang bertumpu pada asas profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas, dan transparansi. Nyaris semua parpol mengumbar retorika bahwa mereka adalah institusi politik modern yang menjadi pilar demokrasi. Namun, pada kenyataannya retorika itu justru berbanding terbalik dengan realitas sesungguhnya.

ADVERTISEMENT

Hampir semua parpol di Indonesia saat ini dikelola dengan manajemen yang tidak modern dan tidak demokratis. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana keputusan-keputusan dalam internal parpol dibuat secara tertutup dan tidak bisa diakses publik, apalagi melibatkan partisipasi publik. Salah satu contohnya ialah kandidasi calon kepala daerah yang lebih sering dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik. Michael Gallagher sebagaimana dikutip Gun Gun Heriyanto mengistilahkannya fenomena ini sebagai "the secret garden of politics".

Belum lagi menyoal transparansi keuangan parpol. Berasal dari mana sumber keuangan dan bagaimana mereka mengelola keuangan benar-benar menjadi hal yang misterius bagi publik. Rumor bahwa parpol adalah institusi paling korup pun merebak di publik. Dalam banyak hal, rumor itu menemukan pembenarannya ketika banyak kader parpol terlibat dalam kasus korupsi. Dalam sejumlah kasus korupsi yang melibatkan kader parpol, terungkap di persidangan bahwa uang hasil korupsi itu sebagian mengalir ke parpol.

Praktik-praktik yang demikian ini bisa dibilang lazim dalam konteks politik Indonesia. Maka, menjadi wajar jika parpol menjadi salah satu institusi politik yang paling tidak dipercaya publik, selain DPR. Menurunnya kepercayaan publik itu lantas berimbas pada munculnya fenomena deparpolisasi (emoh-partai). Deparpolisasi yang mewujud pada tingginya angka golongan putih (golput) dalam setiap gelaran pemilu adalah bukti tidak terbantahkan bagaimana masyarakat mengalami kekecewaan pada parpol.

Kondisi ini tentu ironis. Parpol yang idealnya menjadi saluran aspirasi publik sekaligus institusi politik yang berfungsi menjadi pilar demokrasi justru mengalami pembusukan demokrasi dari dalam. Parpol yang idealnya menjadi institusi paling penting dalam agenda pendidikan politik justru tampil sebagai trouble maker dalam sistem demokrasi itu sendiri. Lantas, bagaimana mereka mau mengajari publik tentang praktik demokrasi modern yang sehat, jika di lingkup internal saja mereka gagal mempraktikkan demokrasi?

Reformasi Sistemik

Kericuhan terjadi di Kongres PAN beberapa waktu lalu tidak diragukan merupakan pendidikan politik yang buruk bagi publik. Kekerasan di arena kongres partai yang selalu mengklaim sebagai partai yang mewakili aspirasi umat muslim adalah sebuah preseden buruk. Tidak hanya bagi PAN, namun juga bagi semua parpol di Indonesia. Peristiwa itu, sekaligus menyodorkan fakta bahwa ada banyak hal yang perlu dibenahi di lingkup internal parpol. Salah satunya ialah bagaimana mengelola dinamika demokrasi internal agar tidak bereskalasi menjadi konflik.

Lebih dari itu, parpol-parpol di Indonesia juga harus berbenah agar bertransformasi menjadi institusi politik yang dikelola dengan manajemen dan birokrasi yang modern. Dalam konteks inilah diperlukan reformasi sistemik yang mampu mengubah kultur parpol yang dekaden, tertutup dan korup menjadi lebih moderat, demokratis, dan profesional. Mula pertama yang harus dilakukan parpol tentunya ialah melakukan konsolidasi demokrasi di lingkup internal. Salah satunya dengan membebaskan parpol dari jerat kekuasaan oligarkis yang cenderung mementingkan kehendak segelintir elite ketimbang melayani kepentingan publik.

Sebagai sebuah organisasi besar, parpol tentu tidak lepas dari potensi dikuasai oleh elite oligarkis yang membajak organisasi untuk mewujudkan kepentingan diri dan golongannya. Watak kepemimpinan oligarkis inilah yang saat ini mendominasi hampir semua parpol di Indonesia. Akibatnya, pemimpin partai memiliki kekuasaan absolut yang tidak terbatas dan leluasa mengendalikan parpol sesuai dengan hasrat politik pribadi.

Untuk itu, parpol perlu membangun satu manajemen kepemimpinan demokratis yang memungkinkan terciptanya mekanisme check and balances di internal parpol. Secara sederhana, demokratisasi internal parpol ialah upaya agar proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan dilakukan dengan terbuka, melibatkan partisipasi seluruh kader parpol dan sesuai dengan aturan yang tertuang dalam AD/ART parpol.

Demokrasi internal parpol ini akan menganulir kemungkinan munculnya kekuatan oligarkis yang mendominasi kekuasaan di internal parpol dan akhirnya menimbulkan kecemburuan yang kerap berujung pada munculnya faksionalisasi. Jika dilacak lebih lanjut, perpecahan dan konflik di internal parpol umumnya berakar dari munculnya faksionalisasi yang lahir karena ketidakpuasan atas kepemimpinan satu kelompok di dalam sebuah parpol.

Langkah selanjutnya ialah memodernisasi manajemen dan birokrasi parpol. Sudah saatnya parpol meninggalkan pola birokrasi lama yang bertumpu pada kharisma tokoh, trah keluarga atau keturunan. Sebaliknya, parpol idealnya mengembangkan corak birokrasi modern ala Weberian yang bertumpu pada aspek profesionalitas, efektivitas, akuntabilitas, dan transparansi.

Untuk itu, segala ihwal yang berhubungan dengan rekrutmen kader, kandidasi calon legislatif atau calon kepala daerah, suksesi kepemimpinan sampai pendanaan hendaknya dilakukan dengan mengedepankan asas keterbukaan dan profesionalitas. Sistem meritokrasi harus diterapkan agar para kader yang memiliki kinerja dan integritas menjanjikan dapat melakukan mobilitas vertikal tanpa terbentur oleh tembok oligarki. Begitu pula manajemen keuangan parpol wajib dibenahi agar jebakan korupsi dapat diminimalisasi.

Demokratisasi dan modernisasi parpol ialah etape penting dalam proses konsolidasi demokrasi di sebuah negara, termasuk Indonesia. Keberadaan parpol yang sehat adalah modal penting dalam proses konsolidasi demokrasi. Sebaliknya, dekadensi parpol akan menjadi beban bagi demokrasi. Maka, sudah selayaknya kericuhan di Kongres PAN beberapa waktu lalu dijadikan momentum bagi semua parpol untuk merefleksikan diri sekaligus mengambil langkah reformasi sistemik untuk membenahi kelemahannya selama ini.

Desi Ratriyanti lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads