Hakim konstitusi Saldi Irsa menanyakan tentang teori yang membenarkan pemilu nasional dan pemilu daerah dalam membentuk pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah yang efektif. Sementara hakim konstitusi Eny Nurbaningsih meragukan; sepertinya bukan soal pemilu yang jadi masalah politik kita, melainkan sistem kepartaian.
Pertanyaan Saldi dan Eny seakan dua hal yang terpisah, namun sesungguhnya isu efektivitas pemerintahan dan sistem kepartaian saling terkait. Keterkaitan ini bisa dijelaskan dengan teori sistem politik yang diperkenalkan oleh David Easton (1984).
Mengadopsi teori sistem, Easton menyederhanakan sistem politik dengan model yang terdiri dari masukan (input), yang diproses dalam kotak hitam (black box), lalu menjadi keluaran (output). Selanjutnya output memberikan feed back kepada input, sehingga input menyesuaikan dengan tuntutan black box. Demikian seterusnya siklus terus bergerak dinamis dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan alam.
Dalam kerangka teori sistem politik, sistem kepartaian merupakan input, sistem pemilu merupakan black box, dan sistem pemerintahan merupakan output. Singkatnya, partai-partai politik mengikuti pemilu, berkompetisi untuk membentuk atau menduduki jabatan-jabatan pemerintahan.
Posisi sistem pemilu sebagai black box yang memroses input menjadi output tentu sangat menentukan, baik bagi sistem pemerintahan maupun sistem kepartaian. Sebab black box itulah yang menentukan bagi terciptanya bentuk-bentuk pemerintahan, sementara sistem kepartaian lama-lama akan menyesuaikan dengan mesin black box sehingga tercipta sistem kepartaian yang sesuai dengan sistem pemilu.
Sebagai ilustrasi mari kita ikuti bekerjanya sistem politik di Inggris dan Afrika Selatan. Kedua negara ini sama-sama menganut sistem pemerintahan parlementer. Namun karena sistem pemilunya berbeda, maka sistem kepartaiannya pun menyesuaikan sistem pemilu.
Inggris menggunakan sistem pemilu mayoritarian di mana besaran daerah pemilihannya tunggal (satu kursi di setiap daerah pemilihan) dengan hitungan kursi menggunakan formula mayoritas sederhana (simple majority: A>B>C>D, di mana A pemenang). Artinya, berapa pun persentase yang diperoleh Partai A bersama Calon A, maka dia dinyatakan menang apabila raihan suaranya paling tinggi di antara partai-partai lain.
Secara alamiah sistem tersebut memaksa partai-partai berkoalisi bahkan meleburkan diri. Di Inggris dalam beberapa dekade terakhir hanya dikenal tiga partai besar, yaitu Partai Konservatif, Partai Buruh, dan Partai Liberal. Tentu saja setiap warga negara Inggris bebas mendirikan partai dan mengikuti pemilu, namun kehadiran mereka belum menggoyahkan dominasi dua atau tiga partai tersebut. Makanya sistem kepartaian di Inggris dikenal dengan nama Sistem Dua Partai atau Sistem Tiga Partai.
Sistem Dua Partai terjadi manakala pemilu menghasilkan satu partai yang menguasai 50 persen lebih kursi parlemen. Dalam situasi ini satu partai bisa membentuk pemerintahan sendiri, sedangkan partai lainnya bertindak selaku oposisi. Tetapi pemilu kadang gagal menghasilkan partai yang menguasai mayoritas parlemen, sehingga partai yang perolehan kursinya paling besar harus menarik partai lain untuk membentuk pemerintahan, sehingga tercipta Sistem Tiga Partai.
Sama-sama menganut sistem pemerintahan parlementer, apa yang terjadi di Inggris berbeda dengan di Afrika Selatan. Di negeri ini wilayah negara dibagi menjadi sejumlah daerah pemilihan yang masing-masing tersedia kursi jamak. Afrika Selatan menggunakan sistem pemilu proporsional daftar tertutup: partai mengajukan daftar calon, pemilih memilih partai, calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut calon.
Penggunaan sistem proporsional membuat jumlah partai di Afrika Selatan banyak. Di Afrika Selatan, Partai Kongres Nasional dalam tiga dekade terakhir menguasai parlemen, namun di negara pengguna sistem pemilu proporsional sering terjadi partai peraih kursi terbanyak gagal mendapatkan mayoritas parlemen sehingga harus berkoalisi dengan partai lain untuk membentuk pemerintahan.
Sistem multipartai di Afrika Selatan dan beberapa negara lain tidak saja tercermin dari koalisi pemerintah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari di mana setiap saat partai lahir, tumbuh, berkembang, atau mati.
Lantas bagaimana dengan sistem pemilu membentuk sistem kepartaian di negara-negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial? Di sini akan dicontohkan Amerika Serikat dan Brasil, yang sama-sama menganut sistem pemerintahan presidensial namun berbeda sistem pemilu dan sistem kepartaiannya.
Sebagaimana diketahui, sistem pemerintahan presidensial mengenal dua pemilu, yaitu pemilu presiden dan pemilu parlemen. AS memiliki dua kamar parlemen, yaitu Senat dan DPR. Kekuasaan DPR dan Senat di AS hampir seimbang.
Masa jabatan Senat enam tahun, tapi pemilihan dilakukan tiga gelombang sehingga setiap dua tahun sekali dipilih satu per tiga anggota Senat. Pemilihan satu per tiga anggota Senat tersebut berbarengan dengan pemilihan anggota DPR yang masa jabatannya dua tahun. Setiap negara bagian memiliki dua kursi Senat, sedangkan DPR dipilih berdasarkan daerah pemilihan sehingga kursi DPR setiap negara bagian berbeda sesuai dengan jumlah penduduk.
Baik untuk memilih anggota Senat maupun DPR, pemilu AS menggunakan sistem mayoritarian, di mana setiap daerah pemilihan hanya tersedia satu kursi. Dengan menggunakan formula mayoritas sederhana, secara alamiah sistem pemilu hanya menghidupkan dua partai, yakni Partai Republik dan Partai Demokrat. Itu bukan berarti tidak ada partai lain, hanya saja mereka tidak berdaya menghadapi dominasi kedua partai tersebut.
Sistem dua partai tersebut juga diperkuat oleh sistem pemilu presiden, yang juga menggunakan sistem mayoritarian meskipun pemilihannya tidak langsung. AS menggunakan model electoral college, di mana wilayah AS dibagi menjadi 538 daerah pemilihan, yang masing-masing menyediakan satu kursi perwakilan untuk memilih presiden. Artinya, calon presiden yang meraih 270 kursi perwakilan, dengan sendirinya menjadi presiden terpilih.
Di Brasil setiap partai politik bisa mengajukan calon presiden, bahkan calon independen juga dipersilakan. Sistem pemilu presiden Brasil menggunakan rumus formula mayoritas mutlak (A>B+C+D+E). Jika tidak ada calon yang meraih lebih dari 50% suara maka dilakukan pemilu putaran kedua yang menyertakan pemenang pertama dan pemenang kedua.
Brasil memiliki Senat dan DPR, namun peran Senat sangat terbatas sehingga tidak diperhitungkan dalam konfigurasi politik. Untuk memilih anggota DPR, wilayah Brasil dibagi menjadi banyak daerah pemilihan, yang masing-masing menyediakan kursi jamak, tetapi jumlahnya tidak sama. Ada daerah pemilihan dengan jumlah kursi besar hingga 87 kursi, namun ada juga daerah pemilihan yang hanya menyediakan 3 kursi. Karena DPR dipilih dari daerah pemilihan berkursi jamak, maka DPR Brasil dipilih dengan menggunakan sistem proporsional.
Dalam hal ini Brasil memilih sistem proporsional daftar terbuka, di mana partai politik mengajukan nama-nama calon, lalu pemilih diminta untuk memilih nama calon saat memberikan suara, selanjutnya calon terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Adapun formula perolehan kursi partai politik menggunakan Formula Divisor d'Hont.
Sebelum 1984, Brasil memisahkan penyelenggaraan pemilu presiden dengan pemilu DPR. Presiden terpilih pertama bernasib buruk, karena dalam pemilu DPR dua tahun berikutnya, partai presiden gagal menguasai mayoritas DPR. Akibatnya tidak beberapa lama kemudian presiden dijatuhkan DPR. Inilah problem sistem pemerintahan presidensial dengan sistem pemilu proporsional yang menghasilkan sistem multipartai.
Semula ada anggapan bahwa sistem pemerintahan presidensial tidak kompatibel dengan sistem pemilu proporsional yang menghasilkan multipartai. Pemerintahan tidak hanya tidak efektif (karena tidak mendapat dukungan DPR) tetapi sewaktu-waktu bisa dijatuhkan DPR sebagaimana terjadi di Brasil pasca Pemilu 1984. Namun ketidakefektifan sistem presidensial ternyata juga terjadi di negara yang menggunakan sistem pemilu mayoritarian yang menghasilkan sistem dua partai seperti di AS.
Meskipun peta politik AS sangat sederhana, yakni hanya ada dua partai politik dominan, namun pemerintahan belum tentu berjalan efektif. Ini terjadi manakala presiden terpilih tidak mendapat dukungan Senat atau DPR, karena dua parlemen tersebut atau salah satunya dikuasai oleh partai politik yang berbeda dari partainya presiden. Di AS fenomena government shutdown sering terjadi karena kebijakan presiden tidak mendapatkan persetujuan DPR dan/atau Senat akibat partai presiden tidak menguasai mayoritas DPR dan Senat.
Jadi, meskipun sistem pemerintahan presidensial memiliki periode tetap (4, 5, atau 6 tahun), dalam praktik pemerintahannya belum tentu stabil dan efektif. Ini terjadi manakala presiden terpilih tidak mendapat dukungan mayoritas parlemen.
Dukungan parlemen menentukan, sebab dalam sistem presidensial semua kebijakan presiden harus mendapat persetujuan parlemen. Jika parlemen menolak rancangan kebijakan presiden maka pemerintahan mandek seperti government shutdown di AS. Lebih dari itu, kegagalan partai presiden mengusai kursi parlemen, bisa menjatuhkan kedudukan presiden melalui mekanisme pemakzulan.
Didik Supriyanto peminat ilmu kepemiluan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini