Kini, aku ingin melenyapkan kucing dari hidup dan pikiranku, tapi kenapa sulit sekali? Aku berusaha dan masih terus berusaha, dengan mengalihkan perhatianku, misalnya menyibukkan diri membaca kembali buku-buku puisi. Tapi, semakin aku berusaha, rasanya justru semakin terbayangi. Kucing memberiku kebahagiaan, mengisi sebagian kekosongan dalam hidupku, tapi sekaligus juga memberiku rasa kehilangan yang sebelumnya tak pernah kurasakan.
Awalnya aku berpikir, aku ini hanya terlalu sentimentil. Aku membesar-besarkan perasaan yang sebenarnya bisa kuenyahkan dengan mudah. Aku membuat sesuatu yang abstrak menjadi nyata. Tapi, beberapa hari lalu, sepulang kantor, ketika hendak naik ke jembatan penyeberangan menuju ke halte bus Transjakarta, aku melihat selebaran yang ditempel di tiang.
Selebaran itu dicetak dengan baik, dengan warna dan desain yang cukup mencolok untuk membuat orang memperhatikan. Isinya pengumuman tentang seekor anjing yang hilang, lengkap dengan gambar binatang peliharaan itu, dalam berbagai pose yang lucu. Tercantum nomor telepon untuk dihubungi "bila ada yang menemukan". Seniat dan seserius itu orang berusaha menemukan kembali anjingnya yang telah hilang.
Aku bayangkan, ia menempelkan selebaran itu di seluruh penjuru kota. Selain, tentu saja, ia pasti juga membuat "woro-woro" di media sosial. Dari situ aku berpikir, rasanya memang mustahil menganggap remeh perasaan kehilangan, walaupun itu hanya pada seekor binatang peliharaan sekalipun. Walaupun kasusnya tidak sama persis, kurang lebih begitulah hubunganku dengan si kucing yang telah menyita banyak energi mentalku.
Dalam hidup ini, kadang kita tak hanya dibikin bahagia dan sedih oleh hal-hal yang "besar". Hal-hal yang kelihatannya sepele pun juga punya pengaruh terhadap kejiwaan kita. Yang "besar" bagi seseorang, belum tentu sama dengan orang lain, begitu pun sebaliknya, yang "sepele" bagi orang lain, bisa jadi justru merupakan persoalan yang serius bagi kita.
Seiring perjalanan waktu, hidup tidak semakin mudah dan ringan melainkan semakin berat saja rasanya. Banyak orang mengeluhkan hal-hal yang kadang-kadang bagi orang lain bukanlah sumber keluhan. Banyak hal yang dulu tidak pernah menjadi perhitungan dan pemikiran kita, kini tiba-tiba hadir menjadi bagian dari hari-hari kita. Leluhur kita dulu misalnya, cemas oleh ancaman binatang buas; kini, seperti yang terjadi hari-hari ini, kita cemas oleh virus yang tak kelihatan.
Leluhur kita dulu tak memikirkan penampilan, tapi kini sebagian dari kita merasa tidak cantik, tidak tampan, tidak menarik. Kita membanding-bandingkan diri dengan orang lain, lalu merasa tidak percaya diri, tidak kompeten, tidak berprestasi, tidak sukses. Kita merasa diri dan hidup kita standar, biasa-biasa saja, dan menganggap orang lain istimewa, hidupnya penuh warna.
Anak-anak muda mengalami kesakitan, baik fisik maupun jiwa, bahkan ada yang sampai bunuh diri karena di-bully oleh teman-temannya, karena tekanan lingkungan sosial dan pergaulan. Ada yang dengan enteng berkata, ah, dasar lemah, masak gitu aja bla bla bla....Padahal, yang tidak bisa kita pahami, bukan berarti tidak nyata bagi orang lain. Yang tidak kita alami dan rasakan, bukan berarti tidak merupakan "isu" besar bagi orang lain.
Yang tidak pernah kita pikirkan, yang tidak menjadi perhatian kita, bukan berarti tidak ada. Manusia modern gelisah, cemas, takut, sedih oleh hal-hal yang barangkali dulu, di masa lalu, yang jauh maupun yang dekat, tidak dianggap sebagai "masalah", atau setidaknya bukan "masalah besar". Dewasa ini kita semakin sering mendengar atau membicarakan tentang mental illness, health mental issues, dan buku-buku tentang depresi pun laris, teks-teks klasik psikoanalisis diterbitkan ulang, dibaca dan dipelajari kembali.
Rasanya ada yang baru saja hilang dari diri kita, dan kita berusaha untuk mencari, menemukan, dan menggenggamnya lagi. Rasanya ada bagian-bagian yang semakin tidak kita kenali dalam diri kita, dan kita berusaha untuk menyapanya lagi, mengajaknya bicara, dan membawanya ke keadaan semula. Kita ingin menjumpai diri kita di masa lalu, ketika segalanya masih polos, sederhana, dan naif. Ketika hanya ada diri kita seorang diri di sana, berdiri gamang, menatap nanar, ragu melangkah, dan tak tahu ke mana harus berjalan.
Kita, yang tiba-tiba seolah baru saja tersadar dan mendapati diri kita telah berjalan jauh, merindukan diri kita sepuluh atau dua puluh atau bahkan tiga puluh tahun yang lalu. Dari "atas" masa kini, kita tatap diri kita di "bawah" masa lalu, untuk melihat kembali apa yang dulu telah kita lakukan, dan apa yang tidak kita lakukan. Lalu, kita pun berpikir --atau rasanya ingin berteriak-- mestinya hal-hal itu dulu tidak kita lakukan, atau mestinya aku dulu melakukan ini, ini, dan ini sehingga sekarang aku tidak begini.
Kita pandang hidup ini sebagai rentetan sebab-akibat, lalu kita menyesali banyak hal. Dulu, kita tak punya apa-apa, tak tahu mau ke mana, dan tak punya gambaran jelas tentang kehidupan seperti apa yang akan kita jalani di masa depan. Kini, ketika masa depan yang dulu hanya bisa kita bayangkan itu telah menjadi tempat kita berpijak, rasanya kita masih saja mencari-cari arah: mau ke mana lagi; setelah ini apa?
Mungkin, setelah kita menyadari telah berjalan sejauh ini, sudah saatnya kita berhenti bertanya. Sudah saatnya kita berhenti berpikir, berhenti ragu-ragu, berhenti cemas, berhenti takut. Sudah saatnya kita mengikhlaskan, apa pun yang terjadi, apapun yang kita rasakan, apapun yang menimpa kita, apapun! Sudah saatnya kita membiarkan --rasa kehilangan, juga rasa sakit, kemalasan, kebosanan, perasaan gagal; kesedihan dan ketidakbahagiaan.
Biarkan saja segala sesuatunya. Apapun yang terjadi, tidak masalah. Apapun yang kita alami, terima saja, tanpa perlawanan --tidak ada preferensi, tidak ada pilihan, tidak ada yang baik dan buruk, tidak ada argumen, dan tidak ada komentar. Sambil sesekali mendengarkan suara batin kita, selebihnya: merelakan.
Aku telah mencoba satu hal sederhana. Ketika berbaring di tempat tidur pada malam hari, dan mata begitu sulit terpejam: biarkan saja. Tidak perlu menghindar, tidak perlu berusaha keras. Ketika ketinggalan bus Transjakarta karena aku berjalan terlalu lambat, atau antrean sedang panjang, atau mesin kartu pembayaran lemot bahkan ngadat: biarkan saja. Tunggu saja bus berikutnya.
Dalam Alice in Wonderland karya Lewis Carol, yang pernah difilmkan antara lain oleh sutradara Tim Burton, Alice terkejut melihat Chesire Si Kucing duduk di atas cabang pohon di dekatnya sambil menyeringai lebar. Layaknya semua makhluk di Wonderland, Chesire pandai bicara seperti netizen. Kucing itu tidak hanya membuat Alice terkecoh dalam percakapan mereka, tetapi ia juga tiba-tiba menghilang, lalu tanpa tanda-tanda muncul lagi secara tiba-tiba pula.
"Kuharap kau tidak terus-terusan muncul dan menghilang tiba-tiba. Kau membuatku pusing," keluh Alice. "Baiklah," kata si kucing, dan kali ini menghilang agak perlahan, dimulai dari ujung ekornya, dan berakhir dengan "meninggalkan" seringai, sampai beberapa saat setelah seluruh tubuhnya menghilang dari pandangan. Wah, sudah sering aku melihat kucing tanpa seringai, batin Alice. Tetapi, ini, seringai tanpa kucing! Itu hal paling aneh yang pernah kulihat dalam hidupku.
Hidup kita akan terus berjalan, dengan rasa bahagia dan sedih berdampingan; dengan luka, rasa sakit, kehilangan, penyesalan, dan kehampaan yang menyertainya --akan selalu ada kucing-kucing yang datang dan pergi; akan selalu ada anjing-anjing yang hilang. Meninggalkan seringainya.
Aku ingin mengalami kegagalan. Tidak apa-apa kalau aku merasa kehilangan. Biarkan saja segala kegelisahan, cemas, dan rasa bosan. Aku tak akan melawan kemalasan. Yang kuperlukan hanya duduk sejenak, tidak berpikir, mengabaikan semua suara batin dan berdiam dalam keheningan momen saat ini, untuk menyadari betapa menyenangkan keadaan tersebut, dan berkata pada diriku sendiri, ini sudah cukup baik --atau, kalau kata seorang teman, semua akan baik-baik saja-- kemudian mengarahkan kembali pandangan, pikiran, dan perhatianku ke jalan yang lebih baik lagi.
Agar seperti Alice, aku bisa merasakan yang aneh, yang ajaib, yang indah, dari yang tertinggal.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)