Yang Membela Diri Harus Berhadapan dengan Hukum
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Yang Membela Diri Harus Berhadapan dengan Hukum

Kamis, 30 Jan 2020 14:41 WIB
mrezabaihaki19
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Masih ingat dengan ZL (17), pelajar yang menikam begal hingga tewas untuk melindungi sang pacar. Kasusnya kini bergulir di Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang.
ZA diadili karena membunuh begal untuk membela diri (Foto: Muhammad Aminudin)
Jakarta - Nurani dan naluri publik kembali terusik dengan cara bekerjanya sistem peradilan pidana Indonesia. Seorang pelajar, ZA, yang semula menjadi korban dari kejahatan pembegalan di Malang (8 September 2019), namun kini telah bergeser statusnya menjadi pelaku pembunuhan akibat melindungi dirinya dan seorang teman perempuannya dari pembegalan.

Dalam persidangan pertamanya di Pengadilan Negeri Kepanjen (14 Januari 2019), ia justru menghadapi Jaksa Penuntut Umum yang melemparkan dakwaan secara berlapis berupa Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian, dan tuduhan atas kepemilikan senjata tajam dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang kesemuanya memuat ancaman di atas 5 tahun.

Potret penegakan hukum tersebut nyatanya menyita perhatian masyarakat secara luas. Pasalnya kasus serupa juga pernah terjadi. Ingatkah kita dengan sosok M Irfan Bahri, seorang santri Madura yang kemudian melawan pelaku begal dengan membunuhnya? Sempat menjadi tersangka dalam waktu 2 x 24 jam, namun kemudian M Irfan terlepas dari berbagai proses hukum. Belakangan, dalam suasana yang masih diramaikan oleh aksi pembegalan di berbagai daerah, aksi M Irfan justru mendapatkan penghargaan dan apresiasi dari pihak kepolisian maupun masyarakat, seperti ustaz kondang Adi Hidayat yang memberikan hadiah berupa uang pendidikan Rp 25 juta.

Pembebasan status tersangka M Irfan tidak terlepas dari terusiknya rasa keadilan masyarakat, termasuk Guru Besar Hukum Tata Negara Mahfud Md yang dalam kesempatan dialognya dengan Presiden Joko Widodo mengungkapkan rasa ketidaknyamanannya melihat kasus tersebut. Bahkan dengan nada polos Presiden secara spontan mengatakan, "Maaf, saya peristiwa gini tidak baca, kalau saya dengar langsung saya tangani, saya catat, saya selesaikan."

Di satu sisi, secara awam, orang yang mendengar pemaparan dari percakapan tersebut akan memberikan hipotesis, bahwa frasa dalam ucapan Presiden yang mengatakan "saya selesaikan" dapat diterjemahkan dengan pembebasan status tersangka M Irfan selaku korban yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian.

Di lain sisi, jika memang hipotesis tersebut benar demikian, maka dapat dikatakan Presiden melakukan intervensi terhadap penegakan hukum --apakah preskriptif tersebut dapat dibenarkan? Apakah Presiden Jokowi ingin mengikuti langka Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga pernah melakukan intervensi terhadap Bibit S. Rianto-Chandra M. Hamzah, dengan menganjurkan konsep out of the court settlement dalam penyelesaian Kasus Cicak vs Buaya Jilid I?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, kiranya perlu direfleksikan kembali serpihan pemikiran Satjipto Rahardjo, yang dalam posisi intelektualnya mengkritisi bahwa potret penegakan hukum modern (hukum tertulis) yang hanya didasari pada rasionalitas dan menafikan aktor hukum (masyarakat) justru menciptakan bifurkasi terhadap esensi keadilan.

Lebih dari itu, penegakan hukum yang hanya didasari pada logika hukum tanpa memberikan ruang logika keadilan justru memberikan ruang untuk menjadikan hukum sebagai arena tinju untuk menentukan yang menang dan kalah. Celakanya, pada praktiknya, fakta hukum yang netral tidak selalu menjamin yang menang adalah benar dan kalah adalah salah (law is the art of the interpretation). (Satjipto Rahardjo, 2005)

Jika bersandar pada pandangan Satjipto tersebut, maka dapat dikatakan langkah yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo tersebut adalah bagian dari campur tangan manusia sebagai aktor hukum untuk turut mengintervensi dan menterjemahkan konsep keadilan dari fakta hukum yang netral. Bahkan dalam pandangan yang optimis, dapat dikatakan langkah presiden (kendati dirinya bukan merupakan bagian dari Lembaga Yudikatif) seakan hendak mempraktikkan apa yang pernah diungkapkan Oliver Wendel Holmes yang mengatakan bahwa titik gravitasi hukum bukan berada dalam parlemen, peradilan, maupun ruang-ruang diskusi hukum, melainkan di masyarakat.

Jika memang demikian, lalu mengapa untuk kasus yang menimpa AZ, Presiden tidak memberikan titah seperti apa yang terjadi pada M Irfan Bahri? Dalam pandangan yang pesimistik dapat dikatakan bahwa hal ini belum sampai pada meja Presiden, dikarenakan kompleksitas permasalahan negara yang juga mencakup ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sehingga jika sewaktu-waktu Presiden mendengar hal demikian mungkin akan berlaku postulat di awal dengan mengatakan "saya selesaikan". Jika demikian, alangkah mahalnya keadilan di negara ini.

Dalam pandangan yang optimistik, hemat saya, Presiden "mengabaikan" kasus ini karena hendak memberikan pelajaran (legasi) seperti apa yang pernah dilakukan Presiden SBY, dengan melihat apakah kepolisian, kejaksaan, dan hakim akan berlaku progresif, dan menjadikan tindakan Presiden sebagai yurisprudensi dengan memberikan dakwaan yang tidak sumir, serta putusan yang bersifat magnitudo, dengan harapan dapat mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

Jika demikian hiptotesis yang diinginkan, lalu mengapa Jaksa Penuntut Umum justru mendakwa terdakwa dengan dakwaan berlapis layaknya residivis, serta mengapa justru Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen justru menolak eksepsi terdakwa yang secara faktual benar-benar adanya?

Hemat saya, hal demikian paling tidak yang sampai saat ini masih mengusik nurani dan naluri masyarakat dalam berhukum (bukan berundang-undang). Sehingga dapat dimaklumi jika ada yang mengekspresikan kekecewaan penegakan hukum yang demikian dengan cara yang melawan hukum, seperti meretas website Pengadilan Negeri Kepanjen seraya menuliskan rasa kekecewaannya.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads