Orang-Orang Kebumen Perantauan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Orang-Orang Kebumen Perantauan

Senin, 27 Jan 2020 11:00 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Saya lahir dan besar hingga tamat SD di sebuah pulau di pesisir selatan Kalimantan Barat. Namanya Pulau Padang Tikar. Satu pulau ini dikelola sebagai sebuah kecamatan, yaitu Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya. Jaraknya tak terlalu jauh sebenarnya, hanya sekitar 80 km dari Pontianak. Hanya saja, tempat ini adalah sebuah pulau. Satu-satunya cara untuk menjangkaunya adalah dengan kapal.

Kapal yang dimaksud adalah kapal kayu bermesin diesel yang mengarungi sungai Kapuas, kemudian menyeberangi selat untuk tiba di pulau tempat kami tinggal. Perjalanan itu menghabiskan waktu sehari penuh. Itu pun baru sampai di kota kecamatan. Untuk sampai ke kampung kami harus naik kapal yang lebih kecil lagi, menempuh perjalanan 1 jam, atau naik sampan selama 2 jam.

Ketika saya mulai bisa mengingat, di usia kanak-kanak saya, di kampung kami bermukim beberapa keluarga orang Jawa. Mereka tinggal tak jauh dari rumah kami, dan hubungan kami dengan mereka pun sangat dekat. Ketika saya sudah lebih besar emak saya sering bercerita tentang asal muasal keberadaan mereka di sana.

Kampung ini dibuka sekitar tahun 1955. Keluarga kami, waktu itu ayah dan emak baru punya anak dua, pindah dari kampung lain yang lebih besar. Keluarga kami pindah karena tidak punya lahan untuk berkebun. Untuk punya kebun harus membeli lahan punya orang, atau menebang hutan untuk membuka lahan baru. Karena tak punya uang untuk membeli lahan, ayah saya memilih jalan kedua.

Saat datang untuk membuka lahan itu, bersama keluarga kami ada beberapa keluarga yang datang dari Jawa. Seperti keluarga kami, mereka juga datang untuk tujuan sama, membuka lahan untuk membangun kebun. Bersama mereka ayah dan emak saya bahu membahu bekerja menebang pohon, menggali saluran air untuk mengeringkan lahan gambut, menanam padi untuk makan, kemudian menanam kelapa dan kopi.

Emak dan ayah saya pindah kampung agar memiliki lahan dan kebun sendiri. Sebelum pindah pekerjaan ayah saya adalah buruh di kebun kelapa. Ia bekerja memanjat dan memetik kelapa milik orang, lalu mendapat upah dari situ. Upahnya jauh dari cukup untuk menghidupi keluarga. Karena itulah emak mendorong ayah untuk pindah kampung.

Sekitar 10 tahun setelah pindah, keluarga kami sudah bukan lagi keluarga miskin. Kami punya dua bidang kebun kelapa, satu bidang ladang padi, yang hasilnya cukup untuk menghidupi keluarga besar kami. Tidak miskin, tapi juga tidak bisa dikatakan kaya. Untuk menyekolahkan anak-anaknya Emak mesti bekerja tambahan lagi. Tapi setidaknya kehidupan kami sudah jauh lebih baik daripada ketika ayah masih jadi buruh tani dulu.

Orang-orang Jawa tadi juga begitu. Mereka hidup berkecukupan untuk ukuran kampung kami. Di dekat kampung kami ada dua kampung lain yang penduduknya 100% orang Jawa. Nama kampungnya pun memakai nama Jawa, yaitu Bangun Harjo dan Sidodadi. Di kampung ini orang-orang punya kebun yang luas, dengan rumah-rumah besar bertembok semen. Kalau sedang punya hajatan mengawinkan anak, mereka membuat pesta tiga hari tiga malam, lengkap dengan pagelaran wayang semalam suntuk.

Dibanding dengan kebanyakan orang-orang pindahan dari kampung sekitar, keadaan mereka boleh dibilang cukup makmur. Banyak orang pindahan dari kampung sekitar yang tak kunjung jadi kebunnya. Lahan mereka dipenuhi rumput. Rumah mereka gubuk.

Ketika saya sudah cukup besar saya diberi tahu bahwa orang-orang Jawa tadi datang dari Kebumen. Beberapa orang pergi merantau dari Kebumen untuk mencari lahan untuk hidup. Entah bagaimana ceritanya, mereka tiba di kampung kami, yang untuk mencapainya memerlukan perjalanan cukup panjang tadi. Beberapa orang ini bekerja keras membuka kebun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika sudah sedikit mapan, mereka pulang kampung untuk mengajak orang-orang lain melakukan hal yang sama. Gelombang perantauan kedua inilah yang membangun dua kampung tadi.

Orang-orang Jawa ini memang berbeda dengan orang kebanyakan, atau orang-orang yang pindah dari kampung sekitar. Keuletan mereka dua kali lipat. Selain berkebun kelapa, mereka juga menanam sayur. Sayur itu mereka jual ke kota kecamatan, sebagian dijajakan berkeliling di kampung kami. Kota kecamatan di tahun 70-an marak dengan industri penebangan dan penggergajian kayu (sawmill).

Dari kampung Jawa tadi mereka mikul sayur, berjalan kaki selama dua jam untuk pergi berjualan di kecamatan. Subuh-subuh mereka berangkat, siang mereka kembali. Sore mereka bekerja lagi di ladang sayur.

Di pekarangan rumah kami juga menanam sayur, tapi tidak untuk dijual. Sekadar dipakai untuk makan sehari-hari. Sebagian kebutuhan sayur kami didapat dari daun-daunan liar yang tumbuh di kebun. Boleh dikata kami tak pernah membeli sayur dari orang Kebumen tadi. Paling-paling sesekali kami membeli tempe.

Tapi cukup banyak orang kampung yang membeli sayur dari mereka. Orang-orang kampung kami yang punya kebun, tapi tidak menanam sayur di pekarangan mereka. Juga para nelayan yang tak punya kebun, tapi sebenarnya lahan di pekarangan mereka cukup luas kalau mau ditanami sayur.

Ada kesenjangan ekonomi di kampung kami antara pendatang orang-orang Kebumen tadi dengan "penduduk asli", yaitu orang-orang yang yang pindah dari kampung sekitar. Orang-orang Kebumen tadi lebih kaya. Sedangkan "penduduk asli" banyak yang tidak bisa beranjak bangkit meninggalkan garis kemiskinan.

Dalam berbagai skala kita bisa melihat keadaan ini. Orang-orang pendatang umumnya lebih berhasil daripada penduduk setempat. Keadaan itu sering memicu kecemburuan. Tak jarang sampai menjadi kebencian dan kerusuhan.

Mengapa sampai ada kesenjangan? Jawabannya sudah tertera dalam cerita saya tadi. Keberhasilan seseorang atau sekelompok orang berbanding lurus dengan kerja kerasnya. Pada level yang lebih tinggi, keberhasilan berbanding lurus dengan kerja cerdik, mengolah berbagai peluang menjadi bisnis yang mendatangkan uang. Orang-orang Kebumen tadi jelas bekerja lebih keras daripada orang-orang setempat.

Tapi kenapa terjadi kesenjangan motivasi antara pendatang dan penduduk setempat? Apa yang membuat pendatang lebih tinggi motivasinya? Sebenarnya bukan keadaan di tempat baru dan status pendatang yang merupakan elemen utama. Sebelum pergi orang-orang ini sudah punya tekad dan motivasi tinggi. Motivasi tinggi itu membuat mereka sanggup melewati rintangan apapun.

ADVERTISEMENT

Jarak dari Pulau Jawa ke Kalimantan di tahun 50-60 bukanlah jarak pendek. Perlu setidaknya 3-4 hari naik kapal untuk tiba di Pontianak dari Jawa. Belum lagi perjalanan dari Kebumen ke pelabuhan, yang setidaknya memerlukan satu hari. Sebelum berangkat mereka mungkin harus menunggu beberapa hari menyesuaikan dengan jadwal kapal.

Tiba di Pontianak mereka tentu tak langsung menemukan tujuan. Mereka harus mencari informasi di mana mereka bisa membuka lahan. Mungkin lebih dari sebulan sejak mereka meninggalkan Kebumen, barulah mereka sampai ke tujuan. Di situ mereka mulai berjuang.

Perlu energi yang sangat besar bagi orang-orang itu untuk bisa beranjak meninggalkan kampung mereka. menuju negeri antah-berantah. Energi besar itu sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari energi yang mereka miliki. Bagian terbesarnya mereka pakai untuk membangun kebun tadi.

Secara fisik orang-orang Kebumen tadi tak berbeda dengan orang-orang penduduk asli. Potensi energi mereka sama. Tapi motivasi membuat mereka mampu mengeluarkan energi berlipat-lipat. Perbedaan tidak terletak pada otot, tapi pada otak yang menggerakkan otot-otot itu.

Yang bisa kita pelajari dari cerita orang-orang Kebumen ini adalah, kita sebenarnya bisa punya energi sebesar apapun, untuk keperluan apapun. Penggeraknya ada di otak kita. Pikiran kita mengendalikan produksi energi kita. Modal utama kita untuk sukses sebenarnya ada pada pikiran. Sebaliknya, yang tidak membuat apapun, masalah utamanya ada pada pikiran pula. Emak saya menyebutnya miskin pikiran.

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads