Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak. - Presiden Joko Widodo, 2019
Begitulah pandangan data kekinian yang dinyatakan dalam pidato kenegaraan presiden Agustus lalu. Pandangan ini menggambarkan data merupakan salah satu unsur kebijakan yang harus lebih diperhatikan.
Begitulah pandangan data kekinian yang dinyatakan dalam pidato kenegaraan presiden Agustus lalu. Pandangan ini menggambarkan data merupakan salah satu unsur kebijakan yang harus lebih diperhatikan.
Selama ini, pentingnya data lebih melekat pada dunia usaha dibandingkan pemerintahan. Penggunaan data berkualitas dalam pengembangan usaha menjadi satu harga mati. Kini, perhatian tersebut semakin besar akibat tambah melimpahnya sumber informasi dibanding era sebelumnya.
Di berbagai negara maju, pandangan ini bukanlah hal yang baru. Perusahaan teknologi dunia seperti Google, Amazon, Facebook dapat tumbuh begitu besar karena besarnya perhatian mereka terhadap data. Biaya pengelolaan data di berbagai perusahaan tersebut dapat bernilai hingga miliaran dolar Amerika.
Bukan hanya perusahaan, pemerintah mereka juga telah lebih dulu menilai data merupakan aset baru negaranya. Pengelolaan data yang baik diyakini menjadi salah satu kunci kesuksesan pembangunan.
Belum Sempurna
Pentingnya data dalam pembangunan di Indonesia sebenarnya telah mendapat perhatian sejak pemerintahan Presiden Soekarno, pun sejak zaman Hindia-Belanda. Bahkan, di zaman Presiden Soeharto, data statistik mendapat perhatian lebih dibanding era sebelumnya.
Pentingnya data, terutama statistik, dikuatkan melalui UU No.16 tahun 1997 tentang Statistik. UU tersebut menjelaskan beberapa hal mengenai asas, arah, dan tujuan kegiatan statistik, jenis, cara pengumpulan, dan penyelenggaraan statistik, hingga tindak pidana dalam penyelenggaraan statistik.
UU tersebut diperkuat kembali melalui Peraturan Pemerintah No.51 tahun 1999 di era Presiden B.J. Habibie. Tetapi, dalam praktiknya beberapa penyelenggaraan statistik tersebut masih belum sempurna hingga sekarang.
Beberapa penyebab hal tersebut antara lain masih banyaknya penduduk yang kurang memiliki literasi statistik, belum terintegtasinya pengumpulan dan pengelolaan data pemerintah, belum meratanya SDM statistik dan kurangnya anggaran pengelolaan data, dan belum optimalnya penggunaan teknologi khususnya di instansi pemerintah daerah.
Atensi dan Polemik
Transparansi di era digital saat ini menjadikan data sebagai objek yang lebih diamati dibanding era sebelumnya. Atensi ini akhirnya menimbulkan beberapa polemik data di Indonesia beberapa tahun terakhir.
Transparansi di era digital saat ini menjadikan data sebagai objek yang lebih diamati dibanding era sebelumnya. Atensi ini akhirnya menimbulkan beberapa polemik data di Indonesia beberapa tahun terakhir.
Polemik data tersebut berkaitan dengan data-data strategis pemerintah seperti data produksi padi yang dinilai terlalu tinggi, standar kemiskinan yang terlalu rendah, pertumbuhan ekonomi yang terlalu flat, hingga persoalan mikro mengenai keresahan data pribadi yang dapat diakses beberapa lembaga keuangan.
Perdebatan terkadang timbul bukan karena kelirunya data yang dikumpulkan, tetapi karena kurangnya literasi statistik masyarakat pada umumnya. Munculnya beberapa polemik tersebut dan semakin sadarnya pentingnya data berkulitas, menyebabkan pemerintah saat ini memberikan perhatian lebih pada pengelolaan data.
Penguatan Peraturan
Pada Juni 2019, pemerintah menerbitkan Perpres 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). Perpres ini membentuk suatu kolaborasi antarinstansi untuk mengintegrasikan seluruh data Indonesia dalam satu wadah. Tetapi, tampaknya masih banyak hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Pertama, perlunya penguatan peraturan lanjutan mengenai penyelenggaraan pengumpulan data, terutama data statistik. Penguatan peraturan diperlukan dalam tindak lanjut penolakan responden dalam pengumpulan data statistik dasar.
Pada Juni 2019, pemerintah menerbitkan Perpres 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). Perpres ini membentuk suatu kolaborasi antarinstansi untuk mengintegrasikan seluruh data Indonesia dalam satu wadah. Tetapi, tampaknya masih banyak hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Pertama, perlunya penguatan peraturan lanjutan mengenai penyelenggaraan pengumpulan data, terutama data statistik. Penguatan peraturan diperlukan dalam tindak lanjut penolakan responden dalam pengumpulan data statistik dasar.
Walaupun terdapat hukuman yang diatur dalam UU No.16 tahun 1997 mengenai penolakan ini, teknis bagaimana hal tersebut dilakukan belum memiliki pedoman yang jelas. Hal ini menyebabkan dalam praktiknya pengenaan hukuman belum dapat dilakukan sehingga kerap kali petugas BPS ditolak, terutama oleh perusahaan.
Padahal, statistik dasar merupakan data strategis yang digunakan dalam pembangunan dan evaluasi kebijakan. Amanat UU pun menegaskan setiap responden wajib berpartisipasi dalam pengumpulan data dasar yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Selain itu, penguatan peraturan mengenai teknis pelaporan data sektoral ke walidata hingga ke BPS juga perlu mendapat perhatian. Belum adanya peraturan tata laksana mengenai hal ini membuat pengumpulan data menjadi tidak efesien dan efektif.
Berdasarkan perpres, data sektoral akan dikolektifkan kepada walidata, namun peraturan mengenai cara, waktu, dan format pelaporan belum ditentukan. Hal ini membuat praktik yang ada belum berjalan dengan maksimal.
Kedua, penguatan literasi data dan teknologi. Penguatan ini dapat dimulai dengan penerimaan SDM statistik di setiap instansi pemerintah, pembinaan mengenai data dan payung hukum secara merata dan kontinu, serta eksternalisasi untuk meningkatkan literasi seluruh masyarakat di luar pemerintahan.
Penguatan teknologi dalam pengumpulan data juga dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi lag periode publisitas. Perpaduan literasi data dan penggunaan teknologi yang tinggi nantinya dapat menjadi pendorong peralihan metode pengumpulan data secara tradisional ke metode registrasi seperti yang dilakukan di beberapa negara maju.
Ketiga, dukungan anggaran yang kuat. Selain minimnya SDM, anggaran yang disediakan untuk pengelolaan data sektoral di berbagai instansi pemerintah daerah masih minim.
Anggaran yang digunakan terkadang hanya dimaksimalkan pada pengadaan barang jasa dan program bantuan. Sedangkan, pengumpulan data dan pengelolaan database yang seharusnya menjadi dasar program masih dikesampingkan.
Keempat, penguatan koordinasi dan kerja sama antarinstansi pemerintah serta hilirisasi koordinasi hingga tingkat daerah. Hal ini mencegah adanya duplikasi data dan memudahkan data sharing yang dilakukan antarinstansi. Selain itu, salah kaprah mengenai pengelolaan seluruh database instansi di Indonesia hanya menjadi tanggung jawab BPS menjadikan instansi pemerintah menjadi abai dalam mengelola data sektoralnya masing-masing.
Secara tertulis, perpres telah mengatur mengenai solusi hal ini. Bappenas memiliki andil besar sebagai koordinator forum satu data Indonesia di tingkat pusat, begitu pun Bappeda pada tingkat daerah.
Forum ini dapat menjadi wadah pembinaan yang baik bagi instansi pemerintah. Forum yang dilakukan secara kontinu mulai tahun ini juga dapat memupuk rasa tanggung jawab bersama dalam pengelolaan data.
Beberapa upaya tersebut harus memiliki road map yang jelas dan evaluasi secara kontinu. Terbentuknya perpres satu data Indonesia membawa angin segar menuju pengelolaan data yang lebih baik. Namun, instruksi sekadar instruksi tentunya tidak dapat memperbaiki tanpa nyatanya aksi. Dan, data sebagai kekayaan baru pun bisa jadi hanya akan menjadi sebuah fiksi.
Febria Ramana, SST Statistisi BPS Kabupaten Kaur
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini