Keraton Agung Sejagat dan MeMiles, dua kasus ini meskipun terjadi di lokasi dan pada orang-orang berbeda namun memiliki kesamaan: ada motif ekonomi di baliknya. Banyaknya kasus dengan motif serupa sebelumnya membuat kita bertanya-tanya: kok bisa terjadi lagi? Mengapa masih ada orang bisa tertipu dengan cerita dan skema yang (bagi kita) tidak masuk akal?
Apakah masih kurang pemahaman dari banyaknya kasus penipuan berkedok investasi sebelumnya? Mengapa orang-orang dengan status sosial-ekonomi-intelektual yang memadai masih rentan menjadi korban? Sebelum menjawabnya, saya ingin mengajak Anda melihat, bagaimana cara kerja pikiran kita memahami-memproses informasi, dan membuat keputusan.
Harus diakui, banyak hal keliru yang sudah telanjur kita percayai. Prof. Bobby Duffy, penulis buku The Perils of Perception: Why We're Wrong About Nearly Everything (2018) menjelaskan betapa mudahnya mispersepsi terbentuk oleh pikiran manusia ketika melihat berbagai peristiwa. Jika seseorang secara acak mengajukan pertanyaan, "Apakah Tembok Besar Cina terlihat dari luar angkasa?" dan Anda adalah bagian dari populasi umum saat ini, maka ada 50% kemungkinan Anda akan menjawab, "Ya."
Jawaban itu mungkin berasal dari beberapa kemungkinan. Pertama, mungkin selama ini Anda tidak benar-benar memperhatikan data tentang Tembok Besar Cina. Sesekali Anda mungkin pernah mendengar tentang "betapa megah dan panjangnya" tembok itu sehingga membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyusurinya. Selama data permanen tidak tersedia, Anda akan menyerap informasi ini dan membuat gambaran mental tentang ukuran Tembok Besar Cina yang sesungguhnya.
Padahal faktanya, lebar tembok warisan budaya itu hanyalah seukuran 9 meter! tidak lebih besar dari ukuran rumah di Indonesia. Dengan fakta ini saja, melihat Tembok Besar Cina dari luar angkasa sudah menjadi ide yang absurd.
Kedua, Anda bisa saja merasakan unsur emosional yang lebih kuat jika berkaitan tentang pencapaian manusia dalam jutaan tahunnya berkoloni di bumi. Anda ingin mempercayainya karena kemungkinan itu begitu mengagumkan, dan respons emosional ini mudah sekali mengubah persepsi manusia dari realitas sesungguhnya. Hal ini bukan berarti faktor emosi "mengganggu" rasionalitas pikiran. Serangkaian studi dalam bidang afektif justru menunjukkan peran emosi yang saling bersilangan dengan faktor kognisi dalam memahami lingkungan yang kompleks. Namun, hal ini sulit terjadi ketika melihat data yang tumpang-tindih dalam waktu singkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Studi yang dilakukan Royal Statistical Society di United Kingdom menemukan bahwa manusia lebih menaruh perhatian pada penguasaan kata-kata daripada angka. Lebih lanjut lagi, ketika ditanyakan pada orangtua, hanya 13% yang menyatakan bangga pada pencapaian anak mereka pada kemampuan matematika, sementara 55% menyatakan lebih bangga pada kemampuan membaca dan menulis anak.
Frame yang sama dapat digunakan untuk melihat dua kasus yang menjadi narasi awal tulisan ini. Informasi yang saya himpun dari beberapa media menunjukkan tidak adanya data riil dan akurat yang menjawab: how, when, who, why, where. Sebelum seseorang bergabung dalam komunitas atau kegiatan tertentu, idealnya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dasar ini berfungsi sebagai pengaman.
Tidak jelasnya informasi itu akhirnya menjadikan keraton agung dan investasi MeMiles berkembang hanya dari asumsi liar berbasis kepercayaan. Sama halnya dengan otak kita yang terburu-buru mengambil kesimpulan tentang besaran tembok Besar Cina dari data yang kurang akurat, begitu pula para korban kasus ini mempercayai klaim palsu hanya dari data-data acak.
Kalaupun ada informasi spesifik yang tersedia, seperti iuran keanggotaan sebesar Rp 3 sampai Rp 30 juta untuk menjadi pengikut kerajaan, atau besaran top-up tertentu sebagai bentuk investasi member, angka-angka itu bisa jadi tidak terlalu diberi makna oleh penerima informasinya. Padahal jika mau memeriksa keterkaitan antardata tadi, akan tampak jelas bahwa angka 3 juta untuk membayar seragam itu tidak masuk akal. Begitupun top-up dengan nilai ratusan ribu untuk kembali berupa reward seharga ratusan juta adalah perhitungan yang tidak rasional. Kegagalan memahami informasi numerik memang potensial mengubah titik fokus dari permasalahan sebenarnya.
Terakhir, semua informasi kabur itu disampaikan oleh leader kharismatik dan memiliki gaya komunikasi menarik. Testimoni dari saksi menyebutkan "raja" keraton agung cenderung "melebih-lebihkan" ketika melakukan persuasi kepada calon pengikut, sementara para member investasi juga menggambarkan leader mereka sebagai "guru" yang memiliki ide-ide visioner. Aspek emosi ini yang kemungkinan menjadi kunci lumpuhnya nalar sehingga enggan memeriksa data. Dalam situasi normal, nalar dan data biasanya bekerja dengan sinergis. Nalar memeriksa data, dan data memperkuat nalar. Proses ini akan sulit terjadi ketika emosi mengambil alih kendali.
Sistem berpikir semacam itu dijelaskan oleh peraih Nobel Daniel Kahneman (2011) sebagai mode fast-thinking, ditandai dengan karakteristik intuitive, associative, automatic, dan impressionistic. Mode ini melihat informasi hanya dari kulit terluarnya saja. Karena cara kerjanya yang kurang dapat dikontrol, seringkali dari sinilah muncul penilaian (judgement) dan respons-respons reaktif pada proses pengambilan keputusan. Pikiran manusia menjadi mudah mengasosiasikan informasi satu dengan lainnya padahal sebenarnya informasi itu tidak saling berhubungan.
Jika ia menyampaikan hal ini benar adanya, maka benar juga untuk hal lainnya.
Ia kharismatik, maka ia kompeten dan bertanggung jawab.
Sebenarnya manusia juga memiliki mode berpikir slow-thinking, ditandai dengan karakteristik yang lebih memerlukan usaha, runtut, dan membutuhkan perhatian pada tingkat yang lebih tinggi. Pengambilan keputusan idealnya menggunakan mode slow-thinking karena proses ini lebih reliabel dalam memahami titik temu antardata. Sayangnya mode ini juga memiliki kecenderungan mudah lelah, sehingga seringkali menerima apa adanya informasi yang disampaikan mode fast-thinking.
Bisa dibayangkan ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang membutuhkan analisis numerik untuk membuat keputusan yang baik seperti pada kasus di atas, otaknya justru melompati serangkaian proses berpikir logis dan langsung membuat kesimpulan. Tanpa sadar, pikiran sedang melakukan confirmation bias --proses seleksi informasi agar hanya informasi yang memiliki kesesuaian dengan kepercayaan awalnya saja yang diterima sebagai kebenaran.
Kedua kasus ini pada akhirnya bisa menjadi contoh sempurna bahwa kemampuan literasi dan numerik memang saling berkorelasi satu sama lain. Literasi bukan sekedar membaca dan numerik bukan sekedar menghitung. Lebih lanjut lagi kedua kemampuan itu bertujuan membangun nalar yang sehat sehingga mampu memahami konsep di balik simbol-simbol huruf dan angka. Penguasaan literasi dan numerik akan memungkinkan seseorang mengakses informasi lebih luas karena keduanya termasuk kemampuan dasar yang terkait dengan hampir semua lini kehidupan.
Baru-baru ini laporan dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 justru kembali menyadarkan kita tentang rendahnya kemampuan siswa Indonesia dalam hal matematika, sains, dan literasi. Penurunan skor bahkan sudah menunjukkan trend sejak beberapa periode asesmen sebelumnya. Fakta ini mestinya bukan hanya menjadi salah satu tolak ukur kualitas pendidikan Indonesia, namun bisa jadi adalah muara dari banyaknya kasus "kelumpuhan nalar" yang terus-menerus terjadi.
Ega Asnatasia Maharani psikolog, dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta